Home Hiburan Tafsir ala Teater Brecht dalam Pertunjukan Surat-Surat Karna

Tafsir ala Teater Brecht dalam Pertunjukan Surat-Surat Karna

Jakarta, Gatra.com - Komunitas Salihara menggelar pentas teater bertajuk Surat-Surat Karna. Pementasan bagi publik dilaksanakan pada Minggu, 20 November 2022 di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Lakon ditulis dan disutradarai oleh Goenawan Mohamad.

Goenawan menafsirkan kisah Karna dengan memanfaatkan naskah Jawa Kuno. Lakon ini bercerita tentang nasib tragis si anak “rahasia” Kunthi; ibu dari para Pandawa–Arjuna, Bima, dan Yudhistira–tersebut. Seperti diketahui, sebagai tokoh pewayangan, tokoh Karna diceritakan berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya seperti para Kurawa maupun Pandawa. Ia bertempur di pihak Kurawa meski bukan seorang Kurawa; Ia merupakan anak Kunthi meskipun bukan bagian dari Pandawa.

Dalam Perang Bharatayudha, Karna berada di pihak Kurawa yang akan bertempur melawan Arjuna. Sosoknya begitu misterius, asal usulnya tidak jelas. Ia lahir sebelum kelima Pandawa dan hidup jauh dari sorotan keluarga kesatria, ia diasuh oleh keluarga dari kasta Sudra yang merupakan seorang kusir kereta para bangsawan.

Baca Juga: Orang-orang Berbahaya di Pentas Indonesia Kita

Karna tidak tahu bahwa dia adalah seorang anak bangsawan karena ia dibuang setelah ia dilahirkan, ia dipisahkan secara paksa tanpa sepengetahuan Kunthi, ibunya. “Ini sebenarnya adalah cerita tragis. Dibawakan dengan empat monolog dalam sudut pandang empat tokoh,” terang Goenawan saat ditemui seusai gladi resik pementasan, Jumat (18/11).

Kisah dibuka saat semua tokoh berpose bersama di atas panggung, sekilas seperti sedang membuat sebuah foto keluarga. Kemudian, satu persatu dari keempat tokoh yakni Karna, Radha; ibu yang mengasuh Karna, Kunthi; ibu yang melahirkan, dan Parashurama; guru yang melatih dan memberikan pengetahuan, menceritakan kisah sang ksatria misterius tersebut.

Benang merah dari kesemua penuturan tokoh tersebut dipicu surat dari Karna yang tiba pada mereka. Sambil bercerita tentang isi surat tersebut, mereka bercerita tentang Karna dari sudut pandang mereka masing-masing.

Adegan monolog Kunthi pentas teater Surat-Surat Karna (Dok.Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Adegan monolog Kunthi pentas teater Surat-Surat Karna (Dok.Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)

Goenawan Mohamad, selaku Penulis Lakon dan Sutradara menaruh perhatian khusus terhadap tokoh ini. Baginya, Karna bukanlah siapa-siapa, bukan dari kalangan bangsawan dan juga tidak perkasa. Sisi minoritas dalam diri Karna inilah yang diharapkan dapat memantik empati bagi siapa pun yang mendengar kisahnya. Seorang kesatria dari golongan minoritas yang mendambakan status bangsawan.

“Karna ini kan manusia yang tidak perkasa, tidak dalam golongan manapun. Dia minoritas dalam minoritas. Sehingga kita harus punya empati. Dia anak rakyat yang ingin menjadi bangsawan.” ujar Goenawan.

Baca Juga: W.S Rendra di Tangan Iwan Burnani, Suguhkan Karya Teater Film 'Bunga Semerah Darah'

Sosoknya begitu misterius, asal usulnya tidak jelas. Ia lahir sebelum kelima Pandawa dan hidup jauh dari sorotan keluarga kesatria, ia diasuh oleh keluarga dari kasta Sudra yang merupakan seorang kusir kereta para bangsawan. Karna tidak tahu bahwa dia adalah seorang anak bangsawan karena ia dibuang setelah ia dilahirkan, ia dipisahkan secara paksa tanpa sepengetahuan Kunthi, ibunya.

Sebelas tahun lalu, pada pada 17-20 November 2011 Surat-Surat Karna pernah dipentaskan di Teater Salihara dan diproduksi dalam bentuk drama audio pada 2021. Berbeda dengan pementasan di 2011 lalu, pada pertunjukan kali ini produksi Surat-Surat Karna dipentaskan ala teater Brecht yakni menggunakan metode dramaturgi berdasarkan pada ide Bertold Brecht, seorang tokoh teater Marxis terkemuka di tahun 1930-an.

Adegan kematian Karna pentas teater Surat-Surat Karna (Dok.Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Adegan kematian Karna pentas teater Surat-Surat Karna (Dok.Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)

Hendromasto Prasetyo, Kurator Teater Komunitas Salihara, mengatakan bahwa metode Brechtian yang digunakan dalam pertunjukan ini mengusung gaya pemanggungan di mana secara sengaja memperlihatkan kepada penonton bahwa apa yang dipresentasikan di atas panggung adalah peristiwa yang kontras dan berjarak dengan realitas keseharian. Metode ini sangat berbeda dengan ala realisme Stanislavski yang mengejar kewajaran demi menyakinkan penonton lewat pendekatan sehari-hari.

“Brechtian justru secara sengaja menuntun audiens agar sadar bahwa presentasi di atas pentas adalah peristiwa panggung yang berjarak lagi kontras dengan realitas keseharian. Dari sana, pertunjukan di jalan Brechtian diharapkan mampu mengetuk kesadaran penonton dan mengubah kenyataan,” katanya.

Surat-Surat Karna dimainkan oleh sejumlah tokoh seperti Landung Simatupang sebagai Parashurama, Ruth Marini sebagai Kunthi, Syam Ancoe Amar sebagai Karna, dan Rebecca Kezia sebagai Radha. Pementasan ini dimainkan dalam durasi 90 menit sembari menyajikan sudut pandang baru terhadap tokoh Karna yang jarang disorot dalam kisah-kisah pewayangan pada umumnya.

159