Home Kesehatan Merasa Tak Diperhatikan, Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Minta Pertanggung Jawaban Pemerintah

Merasa Tak Diperhatikan, Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Minta Pertanggung Jawaban Pemerintah

Jakarta, Gatra.com - Ratusan anak meninggal dunia akibat kasus gagal ginjal akut. Cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus ini. Sejak awal masuk rumah sakit hingga saat ini, keluarga korban kasus gagal ginjal akut mengaku belum mendapat perhatian dari pemerintah maupun pihak lainnya.

"Hampir tiga bulan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), belum ada dari pihak mana pun, belum ada yang sekadar datang, tanya keadaan gimana, kecuali dari pihak rumah sakit. Sampai saat ini belum ada," kata salah seorang ibu korban, Desi Permata Sari, dalam media briefing Update Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak yang diselenggarakan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) di Jakarta, Rabu (30/11).

Desi turut menyebutkan bahwa sampai saat ini, belum ada bentuk santunan apapun dari pemerintah. Bentuk perhatian dan simpati juga tidak diterimanya, padahal ia mengaku membutuhkan support dalam mendampingi anaknya yang saat ini harus mengalami kerusakan syaraf permanen akibat kerusakan ginjal.

Bayangan apa yang akan dilakukan ke depan masih tidak bisa ia gambarkan. Kondisi anaknya yang masih harus terus melakukan perawatan lanjutan seperti fisioterapi membuatnya menuntut pihak yang bertanggungjawab untuk menunaikan tanggung jawabnya.

"Saya minta pertanggung jawaban pihak terkait. Harus ada yang bertanggung jawab untuk ini karena sampai sekarang tidak ada yang peduli," ucapnya.

Senada, salah seorang ayah korban lainnya, Tay David juga mengaku bahwa belum ada santunan yang diterima. Selain itu, ia turut mengkhawatirkan bagaimana perawatan ke depan karena belum ada kejelasan.

"Ke depan kalau memang sudah rawat jalan, masih harus balik ke poli syaraf untuk tindakan lanjutan. Sekarang kita masih cover BPJS, ke depan kita nggak tahu," ucapnya.

Ia menyebutkan bahwa proses perawatan ke depan membutuhkan akomodasi, serta  sistem rujukan yang jelas. Selain itu, kondisi anaknya yang membutuhkan oksigen sebagai bantuan pernapasan juga memerlukan biaya. Alat terkait pendukung tindakan trakeostomi juga dibutuhkan.

"Untuk perawatan di rumah. Saturasi turun, oksigen harus stand by dan alat lain juga. Untuk trakea, di rumah sakit pakai alat langsung dari gedung, untuk di rumah harus beli portable. Saya pribadi, harga alat nggak bisa saya jangkau," jelasnya.

Kuasa hukum keluarga korban, Awan Puryadi, turut menuturkan bahwa belum ada kekhususan perawatan bagi korban. Ia menyebut tidak ada bantuan sama sekali, termasuk bagi korban meninggal.

"Sebenarnya kesulitan dari awal yang meninggal, ketika dinyatakan meninggal, biaya ambulans ditanggung peibadi. Tidak ada bantuan sama sekali. Semua menanggung sendiri prosesi pengurusan jenazah," ujarnya.

Sementara bagi keluarga korban yang saat ini masih dirawat di rumah sakit maupun rawat jalan, Awan menyebutkan bahwa pembiayaan ditanggung oleh BPJS. Ia menyatakan bahwa skema ini masih merupakan bentuk asuransi sehingga ada kewajiban yang harus dibayarkan. Padahal, seharusnya skema yang diterapkan membebaskan pembiayaan perawatan dalam bentuk apa pun.

Ia menyebut perawatan jangka panjang termasuk biaya, dan kemudahan akses serta administrasi harus diberikan kepada keluarga korban. Kecacatan yang dialami membutuhkan pengobatan intensif sehinga harus terus menjadi perhatian pemerintah.

Awan menuturkan bahwa keluarga korban berharap tidak ada pembedaan perlakuan antara penyakit gagal ginjalnya dengan penyakit setelahhnya yang diakibatkan kerusakan ginjal. Dibutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai, serta tenaga ahli sehingga dukungan penuh pemerintah diperlukan.

132