Home Hukum Komnas Perempuan: Kekerasan Negara pada Perempuan Umumnya terkait Konflik SDA

Komnas Perempuan: Kekerasan Negara pada Perempuan Umumnya terkait Konflik SDA

Jakarta, Gatra.com – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, kasus kekerasan oleh negara terhadap perempuan yang diadukan kepada Komnas Perempuan mayoritas terkait konflik sumber daya alam (SDA) dan perebutan tata ruang.

“Umumnya adalah berkaitan dengan konflik sumber daya alam dan perebutan tata ruang,” kata Siti di Jakarta, Senin (5/12).

Namun, lanjut dia, pihaknya mengembangkan kasus-kasus tersebut dalam analisis gender karena konflik SDA dan perebutan tata ruang ini menyebabkan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Terkait itu, kata Siti, dalam webinar gelaran Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dan Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia (LEHI), pihaknya menyampaikan berbagai contoh kasus terkait dua hal tersebut.

“Contohnya kasus di Jambi, ada petani mengalami penyiksaan ketika ditangkap, ada seorang perempuan juga yang menjadi tersangka. Dampaknya berbeda karena dia sedang hamil,” katanya.

Menurutnya, dalam pendekatan sistem pidana di negeri ini belum mengakui dan memenuhi hak perempuan yang berhadapan dengan hukum, khususnya dalam pengalaman biologis dan ketidakadilan gender.

“Misalkan yang di Jambi, dia hamil, dia ditahan. Oleh YLBHI dan teman-teman yang tergabung dalam kuasa hukum, melakukan advokasi dan Komnas Perempuan meminta agar dilakukan penangguhan penahanan karena dia dalam posisi waktu itu hamil 4 bulan. Tapi itu tidak dikabulkan,” ujarnya.

Penyidik tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan karena alasan normatif, yakni tidak ada alasan kehamilan yang menjadi dasar subjektif seorang perempuan boleh atau tidak ditahan atau menjadi tahanan kota.

“Dia baru bisa penahanannya ditangguhkan itu di tingkat pengadilan. Itu pun setelah YLBHI, Komnas Perempuan bolak-balik membangun komunikasi,” katanya.

Lebih lanjut Siti menyampaikan, kalaupun tidak ada kriminalisi terkait SDA, dampaknya juga akan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Misalkan, di daerah-daerah SDA, perempuan akan kehilangan akses terhadap SDA karena perempuan sangat dekat dengan pengelolaan alam.

“Misalnya, tidak lagi bisa mengakses hutan, pantai karena dikotak-kotak oleh perusahaan, maka ekonomi keluarga juga akan mengalami kemiskinak,” ujarnya.

Selain itu, kadangan kita lupa bahwa perempuanlah penguasa pengetahuan dari obat-obatan, sistem kerajinan, gerabah, dan seterusnya. Selain itu, kita kadang-kadang menganggap bahwa itu bukan sumber pengetahuan.

“Rusaknya SDA, misalnya hutan, itu secara tidak langsung perempuan tidak bisa mengakses dan kehilangan sumber pengetahuan. Misalkan berapa banyak perempuan dari kita yang masih bisa mengayam,” ujarnya.

Menurutnya, itu terjadi karena kita tidak menghargai pengetahuan dan ketarampilan perempuan dan SDA itu dianggap tidak berdampak pada perempuan. “Ternyata berdampak,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, hal tersebut juga terjadi di wilayah-wilayah atau daerah yang terdapat pertambangan yang secara tidak langsung mendorong ketidakadilan gender. Contohnya terjadi perkawinan anak karena arus migrasi, keluarga tidak mendapatkan resources yang cukup, sehingga anak-anak perempuan dikawinkan.

“Atau terjadi tindak pidana perdagangan orang. Disedikan rumah-rumah untuk memberikan layanan seksual kepada para pekerja yang datang dari luar. Ini jelas sangat berbeda dampaknya terhadap laki-laki dan perempuan,” katanya.

Kekerasan negara terhadap warga negara dalam bentuk perampasan tanah atau SDA itu juga memengaruhi laki-laki untuk melakukan kekerasan di ranah personal. “Itu spiral kekerasannya,” ucap Siti.

Adapun hal lain yang dilakukan negara dalam konteks pelanggaran hak asasi perempuan dalam penggusuran terhadap SDA, adalah menempatkan perempuan sebagai subordinat sehingga mereka bukan dianggap sebagai subjek hukum atau bisa dibilang bukan warga negara utuh karena hanya bagian dari keluarga.

“Pengambilan keputusan yang diminta pendapat itu adalah kepala keluarga, laki-laki atau anak laki-laki,” ujarnya.

Dampaknya, lanjut Siti, misalnya ketika ada proses pengurusan amdal atau izin lingkungan, yang diundang adalah kepala keluarga yang biasanya adalah laki-laki. Ini yang menyebabkan perempuan tidak dikenali dan diakui karena mereka tidak dimintai pendapat.

“Contohnya kasus di Sanginge, pertambangan yang sampai sekarang belum seleselai. Kami melakukan pemantauan, kami tanya para ibu-ibu ini diundang enggak ke dalam forum-forum pengambil keputusan untuk amdal. Umumnya kan tidak," katanya.

Kalaupun diundang, itu di satu forum dengan bapak-bapak. Siti pun menanyakan, kalau rapat ibu-ibu dan bapak-bapak itu disatukan, apakah ibu-ibu, khususnya di perkampungan akan bicara, tentunya tidak karena adanya kultur.

”Afirmasinya harus ada forum-forum khusus, tidak hanya bagi perempuan, tapi juga untuk pemuda dan lansia untuk menyampaikan kepentingannya terhadap proses pembangunan,” katanya.

461