Home Nasional Aparat Kurang Paham UU TPKS, Penegakan Keadilan Jadi Tak Maksimal

Aparat Kurang Paham UU TPKS, Penegakan Keadilan Jadi Tak Maksimal

Jakarta, Gatra.com - Komnas HAM dan Komnas Perempuan menyoroti sejumlah alasan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum berjalan secara maksimal. 

Berdasarkan pemantauan yang juga dilakukan bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND), rendahnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap UU TPKS menjadi benang merah dalam upaya pengimplementasikan undang-undang ini.

“Belum semua aparat penegak hukum memahami UU TPKS, bahkan mungkin belum mengetahui ke level yang terbawah,” ucap Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (8/3).

Aminah mengatakan, sejumlah APH juga mengalami kesulitan dalam memahami unsur-unsur tindak pidana dalam setiap pasal UU TPKS. Padahal, pemahaman ini penting karena proses pembuktian sangat bergantung dengan pemahaman terhadap pasal yang ada.

Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, untuk menanggulangi rendahnya pemahaman aparat mengenai UU TPKS, pemerintah memang berencana untuk membuat suatu program pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus.

Namun, pembentukan diklat ini menunggu aturan turunan yang akhirnya diresmikan pada Januari 2024 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 yang membahas Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Anis menyayangkan rendahnya inisiatif institusi-institusi terkait untuk membuat suatu pelatihan mandiri demi menguatkan kapasitas personel mereka untuk memahami UU TPKS yang sudah disahkan sejak Mei 2022 lalu.

Baca Juga: Komisioner Komjak Jelaskan 9 Tindak Pidana Kekerasan Seksual UU TPKS

“Mestinya, tanpa Perpres tentang diklat, itu setiap institusi yang punya mandat untuk menjalankan undang-undang itu punya inisiatif, bisa mendahulukan inisiatif mereka untuk memberikan penguatan kapasitas bagi aparat mereka. Sehingga, siap untuk menjalankan amanat undang-undang TPKS. Sayangnya, itu kan tidak dilakukan,” ucap Anis Hidayah.

Anis menilai, budaya menunggu ini akan menjadi ancaman bagi korban karena dapat terjadi “delay in justice” atau perlambatan dalam proses penegakan hukum.

“Atau kalau tidak, kasusnya berhenti karena alat buktinya dianggap tidak cukup, karena polisinya tidak punya pemahaman yang memadai terkait dengan TPKS gitu,” jelas Anis.

Selain itu, meski Perpres terkait diklat UU TPKS sudah disahkan, pelatihan terhadap aparat penegak hukum juga tidak bisa langsung dilakukan. Pemerintah masih perlu menyusun sejumlah kurikulum dan penugasan kepada pihak-pihak yang dinilai mumpuni untuk membahas tuntas UU TPKS.

“Perpres ini setelah ditandatangani, baru kemudian pemerintah menyusun kurikulum. Biasanya, juga lama gitu, butuh waktu yang lama,” kata Anis lagi.

Untuk saat ini, Komisi Perempuan telah menyusun suatu modul terkait UU TPKS, terutama tentang pencegahan penanganan tidak pidana kekerasan seksual. 

Siti Aminah menyatakan, Komnas Perempuan juga mengimplementasikan modul ini dalam sebuah program yang dinamakan Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS).

“Modul ini sudah kami uji cobakan dengan bentuk pelatihan yang melibatkan elemen sistem peradilan pidana dari Kepolisian, Jaksa, Hakim dengan lembaga layanan,” ucap Aminah lagi.

Ia berharap, modul ini dapat diadopsi oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk selanjutnya diteruskan pada institusi-institusi terkait.

“Kami juga berharap materi-materi ataupun modul APKS itu bisa diadopsi oleh Kementerian dan Lembaga sehingga kita bisa gerak lebih cepat,” kata Aminah.

Meski, Aminah mengaku, modul yang telah diserahkan kepada Kemenkumham belum banyak mendapat atensi.

75