Home Hukum Otto Duga 'Price Control' Sebabkan Kelangkaan Migor

Otto Duga 'Price Control' Sebabkan Kelangkaan Migor

Jakarta, Gatra.com – Kuasa hukum Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA, Otto Hasibuan, menduga pengendalian harga pada era Menteri Pedagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menjadi biang kerok kelangkaan minyak goreng (Migor).

Otto dalam keterangan pers, Sabtu (10/12), mengatakan, hal tersebut berdasarkan keterangan saksi ahli Lukito ketika ditanya soal hasil studi analisis ekonomi Amerika Serikat, James K. Galbraith di New York Times, menyebutkan bahwa “Price controls still a bad idea”.

Menurutnya, saksi ahli sependapat bahwa pengontrolan harga bisa membuat kelangkaan migor. Sebab, penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang dikeluarkan membuat produsen enggan menjual produknya.

Sedangkan soal kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan migor dalam perkara yang didakwakan kepada kliennya, Otto menyampaikan, sampai saat ini tidak ada kejelasan rumusan untuk menyatakan itu nyata terjadi.

“Saksi ahli menyatakan, indikator kerugian perekonomian negara diakibatkan naiknya inflasi dan tingginya tingkat kemiskinan,” ujarnya.

Saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu pekan ini, lanjut Otto, mengatakan, tidak ada yang menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara diakibatkan karena kelangkaan migor. “Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan dari para ahli terkait hal tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, dalam kasus ini tidak ada penegasan yang menyatakan bahwa ada kerugian perekonomian negara. “Kalau hukum itu masih labil, dengan kata lain pasal karet, ya tidak bisa diterapkan dong,” ujarnya.

Otto juga menyampaikan bahwa peraturan Mendag yang berubah-ubah telah melahirkan kekacauan. Misalnya, pada pukul 00.00 WIB diberlakukan HET migor Rp14.000 per liter. Beberapa jam sebelumnya, barang telah dijual kepada distributor seharga Rp17.000 per liter dan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk selanjutnya dipasarkan.

“Kira-kira mau tidak distributor menurunkan harga menjadi Rp14.000, sementara dia sudah beli dengan harga Rp17.000? Tentu tidak mau,” katanya.

Ia menyampaikan, kalau mau melakukan perubahan harga, aturan harus dikeluarkan setidaknya dua pekan sebelumnya atau tidak bisa mendadak. Ini agar distributor melakukan penyesuaian harga. Kalau mendakan, itu sama saja mau 'membunuh' distributor.

“Jangan bebankan hal ini kepada produsen, padahal yang salah adalah menterinya [pemerintah] sebagai pembuat kebijakan,” katanya.

Otto juga merasa aneh soal perkara migor ini karena hanya menyeret produsen tertentu, padahal banyak produsen besar juga melakukan hal serupa. Menurutnya, kelangkaan migor yang berdampak pada larangan ekspor diakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten atau berubah-ubah.

Terkait ini, Otto, mengatakan, harusnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan mantan Mendag Muhammad Lutfi yang sudah tiga kali mangkir di persidangan untuk memberi kesaksian agar perkara ini semakin terang benderang.

Otto mengatakan bahwa JPU mendakwa Stanley tidak bisa memenuhi domestic market obligation (DMO) sebagai salah satu persyaratan diberikannya izin ekspor. Ia menyebut, pihaknya telah membuktikan bahwa telah memenuhi ketentuan tersebut.

“Kita sudah membuktikan di pengadilan bahwa DMO yang dimaksud sebesar 20 persen dari jumlah ekspor sudah dipenuhi oleh Permata Hijau Group untuk memenuhi pasar domestik. Dengan kata lain, karena DMO sudah dipenuhi, maka izin ekspor sudah bisa diperoleh,” katanya.

Sedangkan soal dakwaan bahwa Stanley memengaruhi Direktur Jenderal Perdagangan Lar Negeri (Dirjen Daglu), Indra Sari Wisnu Wardhana, untuk mengeluarkan Perizinan Ekspor (PE), Otto menyebutkan bahwa tidak ada satu saksi pun yang telah dihadirkan di persidangan menyampaikan hal itu. “Dengan kata lain, dakwaan tersebut harusnya gugur,” katanya.

Adapun dakwaan ketiga soal terjadi perubahan tentang rencana ekspor, Otto menyampaikan, saat ini semua sudah serba daring atau online. Sementara itu, pemerintah tidak menyiapkan sistem atau channel untuk melakukan pelaporan.

“Kalau tidak ada sistemnya, ya mau melapor ke mana? Dan lagi, tidak ada lagi kewajiban untuk melaporkan perubahan rencana ekspor karena peraturannya sudah diubah,” ujarnya.

Atas dasar itu, Otto berpendapat bahwa surat dakwaan JPU terhadap kliennya tidak memenuhi unsur. Ia pun mengharapkan majelis hakim membebaskan klienya. “Sudah sewajarnya bila klien kami dibebaskan dari segala tuntutan hukum,” katanya.

182