Home Politik UU Perkoperasian Tak Bertaring, Revisinya Justru Mundur ke Zaman Kolonial

UU Perkoperasian Tak Bertaring, Revisinya Justru Mundur ke Zaman Kolonial

Jakarta, Gatra.com – Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia, Suroto, menilai UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak efektif dan imperatif. Menurutnya, UU tersebut tidak jelas sanksi atau fungsi proteksinya.

UU yang kurang punya ‘taring’ itu dipandang tak serta membaik dengan adanya revisi. Suroto melihat, draf RUU yang diajukan malah mundur ke zaman kolonial.

“Penyusun draf RUU Koperasi tidak memahami teori perkoperasian secara filosofis dan cacat secara epistimologis, metodenya. Tiba-tiba [draf] ini muncul saja,” kata Suroto melalui sambungan telepon pada Selasa malam (10/1).

Baca Juga: Regulasi Pengawasan KSP Diharapkan Masuk dalam RUU Perkoperasian

Dalam pendiriannya, koperasi punya tujuh prinsip, yakni keanggotaan dan sukarela serta terbuka bagi siapa pun; partisipasi oleh anggota; otonomi dan kemandirian; pengawasan demokratis oleh anggota; kerja sama antar-koperasi dengan membentuk jaringan; kepedulian terhadap komunitas dan lingkungan; serta kebebasan yang tak perlu diintervensi banyak pihak selain anggota.

Cukup dengan prinsip itu, Suroto menyebut koperasi seharusnya sudah bisa berjalan dengan baik. Sebab, koperasi adalah organisasi yang mengatur dirinya sendiri, karena lembaga ini dimiliki secara penuh oleh anggotanya.

“Undang-undang harusnya [memasukkan] satu pasal, melarang yang tidak menjalankan prinsip koperasi. Dari situ masyarakat bisa clear melihat mana koperasi, mana rentenir,” dia menerangkan.

Kasus-kasus penipuan atas nama koperasi disebut Suroto sebagai ‘rentenir berkedok koperasi’. Para penipu tak punya modal untuk membangun usaha, walhasil memobilisasikan dana masyarakat dan menipunya.

Ini yang disayangkan Suroto. Masyarakat belum banyak mengetahui tentang koperasi. Justru lebih dikenal sebagai tempat simpan pinjam.

“Padahal koperasi itu model atau sistem perusahaan futuristik. Tidak hanya sektor keuangan, sektor mana pun bisa,” katanya.

Dari kejadian penipuan yang marak itu sebenarnya bisa dijadikan acuan untuk merevisi UU Koperasi dengan tiga hal—selain menerapkan tujuh prinsip utama koperasi. Pertama, memberikan rekognisi dengan mengakui koperasi bisa berkembang dengan baik.

Kedua, diproteksi, supaya tidak sembarang orang mencatut nama atau kegiatan koperasi. Ketiga, distingsi atau pembeda. Suroto menyebut, koperasi dan korporasi adalah hal yang sama sekali beda.

“Koperasi bisa dimiliki pekerja atau nasabah, bukan yang punya uang saja. Keuntungan dibagi ke stakeholder, bukan shareholder. Satu orang satu suara, lebih demokratis. Perusahaan enggak begitu, modal paling besar memberi keputusan,” dia menjelaskan.

Meski harus dibedakan fungsinya, dalam praktiknya koperasi justru sering mendapat diskriminasi. Suroto membandingkan dengan lembaga perbankan.

Dia mengatakan, perbankan kerap diberi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ini membuat nasabah bank merasa aman menaruh uangnya jika terjadi krisis atau gagal bayar dari bank. Sementara koperasi, tidak ada LPS atau dana talangan.

Dengan tidak adanya LPS, Suroto mengatakan, otomatis harus ada insentif atau iming-iming supaya masyarakat mau menyimpan uangnya di koperasi. Bunganya pun harus tinggi. Ini gerbang awal masyarakat tergiur kasus penipuan koperasi.

“Dana penempatan dan modal penyertaan negara. Padahal bank-bank BUMN ini go public, harusnya di pasar modal, bukan ambil uang rakyat. Itu ada alokasi fiskalnya. Malah koperasi yang tidak dapat,” dia menerangkan.

Baca Juga: Marak Koperasi Simpan Pinjam Nakal, Kemenkop UKM Ingatkan Sanksi Pidana

Pengawasan untuk koperasi juga harus dibedakan dengan lembaga lain atau perbankan. Suroto menjelaskan, pengawasan untuk koperasi dilakukan dengan jaringan koperasi. Ada jaringan primer dan sekunder.

Jaringan sekunder, kata Suroto, adalah lembaga badan hukum yang menaungi koperasi yang menjadi anggotanya. Mereka melakukan fungsi audit dan supervisi.

“Pemerintah bisa hadir di sini, [memantau koperasi] menjalankan prinsip koperasi apa enggak,” kata Suroto.

279