Home Ekonomi Seram! Usai Pandemi Covid-19, Menkeu Sebut Tantangan Berat Ini Harus Dihadapi Indonesia

Seram! Usai Pandemi Covid-19, Menkeu Sebut Tantangan Berat Ini Harus Dihadapi Indonesia

Jakarta, Gatra.com - Badan Kesehatan Dunia (WHO) resmi mencabut status kedaruratan untuk Covid-19 sejak 5 Mei 2023 lalu. Meski status darurat pandemi Covid-19 telah dicabut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, masih ada tantangan menyeramkan lainnya yang akan dihadapi Indonesia dalam waktu dekat.

Tantangan pertama, kata Sri Mulyani, adalah konflik geopolitik yang berkepanjangan. Musababnya, tensi geopolitik yang meninggi membuat perubahan signifikan terhadap arah kebijakan ekonomi negara besar.

Baca Juga: Srimul: Berkat Hilirisasi Pemerintahan Jokowi, RI Keluar dari Kelompok Fragile Five Country 

"Negara besar cenderung inward looking, proteksionis, akibatnya dunia akan terfragmentasi, tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23, Jumat (19/5).

Menurut Sri Mulyani, fenomena globalisasi telah terjadi sejak 2017 lalu. Saat itu, Amerika Serikat (AS) telah menerapkan kebijakan untuk mengembalikan sektor manufaktur ke negaranya atau biasa yang disebut dengan istilah reshoring.

"Reshoring pada akhirnya memicu perang dagang antara AS dan Tiongkok," sebutnya.

Sejak reshoring dan terjadi perang dagang antara dua negara ekonomi dunia itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa ketidakpastian global terus berlangsung. Ditambah perang Ukraina dan Rusia pada awal 2022 lalu, juga telah mempertajam polarisasi dan fragmentasi geopolitik.

Sri Mulyani menuturkan bahwa fragmentasi geopolitik telah menimbulkan fenomena dedolarisasi yang berdampak pada perekonomian Negeri Paman Sam asal Greenback itu sendiri maupun ekonomi global.

"Kerja sama ekonomi dan kemitraan strategis semakin terkotak-kotak sesuai dengan kedekatan aliansi atau friend shoring. Akibatnya, aktivitas perdagangan yang bergantung pada pasar ekspor dan aliran modal luar negeri terkena dampak signifikan," tuturnya.

Selain konflik geopolitik, Sri Mulyani menyebut ada tantangan menyeramkan lainnya yang akan dihadapi oleh Indonesia, yaitu digitalisasi. Perkembangan teknologi dan informasi (TI) ternyata bisa menjadi ancaman bagi Indonesia, terutama dalam hal pasar tenaga kerja.

Menurut Sri Mulyani, meskipun perkembangan TI dan digitalisasi membawa manfaat dari sisi efisiensi dan produktivitas kehidupan manusia, namun juga akan mengancam dan berdampak buruk.

"Akan terjadi penghematan tenaga kerja secara masif, ditambah persoalan privasi dan keamanan siber," ujarnya.

Secara jelas, Sri Mulyani mengatakan, ancaman perkembangan digitalisasi akan terjadi bagi negara dengan pasar tenaga kerja yang tidak terampil, rermasuk di Indonesia. Di satu sisi, ketidaksiapan pasar tenaga kerja suatu negara terhadap digitalisasi menjadi faktor kendala dalam menarik investasi masuk ke dalam negeri.

Persaingan ketat sumber daya manusia di sektor TI yang saat ini terjadi, salah satunya adalah AS dengan Tiongkok. Kedua negara, kata Sri Mulyani, tengah berkompetisi untuk menguasai industri semikonduktor atau chip war yang saat ini masih didominasi oleh Taiwan.

"Jika tidak diantisipasi tingkat pengangguran akan meningkat, terutama pada kelompok tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan terbatas," jelasnya.

Sri Mulyani menambahkan, selain tantangan ketegangan geopolitik dan digitalisasi, perekonomian di tahun 2023-2024 ini juga masih akan dihadapkan oleh tekanan berat lainnya. Adapun yang sudah terlihat jelas yaitu laju inflasi global masih belum kembali ke level normal rendah.

Baca Juga: Kepala BIN Sampaikan 4 Potensi Ancaman Global pada 2023 

Hal itu menyebabkan suku bunga acuan global cenderung tertahan di tingkat tinggi membuat sejumlah negara semakin membatasi ruang kebijakan moneternya.

"Ketatnya likuiditas global dan kenaikan suku bunga serta persoalan perbankan di AS dan Eropa juga menyebabkan prospek ekonomi dunia akan cenderung melemah," imbuh Sri Mulyani.

43