Home Kolom Tambang Pasir Laut dan Bencana Biodiversitas Kita

Tambang Pasir Laut dan Bencana Biodiversitas Kita

Oleh: Budi Setiadi Daryono*

Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 Mei 2023 lalu tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, telah menjadi polemik di masyarakat di tengah munculnya semangat baru pemerintah untuk mengarusutamakan Biodiversitas atau Keanekaragaman hayati dalam pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam INPRES No.1 Tahun 2023.

Meskipun terbitnya PP tersebut awalnya bertujuan untuk menata ulang pengambilan pasir laut, yaitu pasir yang bersumber dari hasil sedimentasi laut, dan pemanfaatannya lebih ditekankan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur, serta prasarana, namun dengan terbitnya PP tersebut secara otomatis mencabut Keputusan Presiden nomor 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan untuk mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.

Pemerintah berdalih bahwa kajian lanjut terkait izin ekspor pasir laut untuk kebutuhan luar negeri akan dikaji dan harus ditentukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementrian Perhubungan. Namun birokrasi dan pengawasannya di lapangan seringkali tidak dapat dilakukan sesuai tujuan dan harapan peraturan tersebut.

Fungsi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Laut

Peraturan mengenai penambangan pasir laut berhubungan dengan fungsi Sumber Daya Alam Laut (SDAL) yang dimuat dalam scientific study bahwa SDAL termasuk ekosistem pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil berfungsi sebagai:

(1) pensuplai sumberdaya bahan baku (raw material) dalam kegiatan industri dan perdagangan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia, kebutuhan ekonomi diantaranya yang utama adalah pangan dan energi,

(2) pendukung sistem kehidupan (life supporting system, ecology function) mempertahankan mata rantai makanan dan keseimbangan alam,

(3) penyedia jasa-jasa lingkungan (amenities) seperti keindahan, estetika lanscape alam, iklim nyaman, suasana nyaman dll.,

(4) ekosistem alam penyedia daya assimilasi, pelarut dan penghancur limbah (waste, residuals) sehingga lingkugan alam tanah, air dan udara tetap bersih.

Pemanfaatan penambangan pasir laut diatur dalam UUD RI 1945 terutama pasal 33 bahwa bumi dan air, yang terkandung didalamnya (sumberdaya alam seperti pasir, ikan, biota laut, ekosistem perairan dan lain-lain) dimanfaatkan bersama untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, bukan untuk kemakmuran orang perseorangan/oknum pejabat negara dan oligarki.

Oleh karena itu sebelumnya penambangan pasir laut yang dilakukan oleh suatu perusahan telah diatur oleh Keputusan Presiden RI Nomor 22 tahun 2002 yang menimbang bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut, yang selama ini berlangsung tidak terkendali, telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, serta jatuhnya harga pasir laut.

Sehingga diperlukan pengendalian dalam Kepres nomor 22 tahun 2002 diatur pada Pasal 2 yaitu pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut meliputi pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha pertambangan, pengerukan, pengangkutan, perdagangan ekspor, pemanfaatan hasil pengusahaan pasir laut, dan pencegahan perusakan laut yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Biodiversitas Pantai Dengan Tipe Substrat Pasir

Pantai berpasir merupakan lingkungan yang sangat dinamis, dimana struktur fisik habitatnya digambarkan dengan adanya interaksi antara pasir, gelombang, dan pasang surut air laut. Pantai berpasir merupakan salah satu jenis pantai yang dinamis karena kemampuannya untuk menyerap energi gelombang.

Penambangan materi sedimen laut dapat mengubah kontur dasar dan profil perairan sehingga berdampak besar pada dinamika oceanografi seperti pola arus dan gelombang laut. Ekploitasi pasir laut juga beresiko mendatangkan bencana biodiversitas seiring meningkatnya kerusakan habitat dan ekosistem pesisir.

Ekosistem pantai berpasir memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan bernilai penting baik secara komersial maupun signifikansi dalam konservasi. Ekosistem pantai berperan penting dalam pemrosesan sejumlah besar materi organik dan daur ulang nutrisi kembali ke perairan pantai. Substrat pasir yang berpori menyimpan organisme interstitial kecil seperti bakteri, protozoa, dan metazoa.

Sementara zona litoral dan intertidalnya menjadi habitat bagi berbagai makroalga dan organisme invertebrata termasuk sejumlah besar kerang, krustasea, dan gastropoda dengan keanekaragaman yang tinggi.

Kelompok makhluk hidup yang mendiami habitat ekosistem pantai berpasir terdiri dari kelompok invertebrate dan makrofauna bentik.

Golongan invertebrate yang umumnya terdapat pada daerah pantai berpasir antara lain golongan hewan dari filum Porifera, Cnidaria, Platyhelminthes, Nemertea, Nematoda, Acanthocephala, Rotifera, Gastrotricha, Kinorhyncha, Loricifera, Annelida, Echiurida, Sipunculoidea, Brachiopoda, Molluskam Tardigrada, Arthropoda, Ectoprocta,Echinodermata dan Hemichordata.

Sedangkan komunitas dari kelompok makrofauna bentik umumnya terdiri dari jenis udangudangan, Polychaeta, Moluska, dan lain sebagainya.

Soares (2003) telah berhasil menganalisis komposisi taksonomis dari makrofauna bentik pantai berpasir di berbagai wilayah di belahan dunia. Hasil kajiannya menyatakan bahwa wilayah tropis dengan pantai tipe substrat pasir memiliki jumlah dan kelimpahan jenis yang jauh lebih bervariasi dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Jenis udang-udangan, polychaeta dan moluska mendominasi jenis fauna yang mendiami wilayah pantai berpasir. Udang-udangan adalah salah satu jenis fauna yang paling beragam, sedangkan moluska dan polychaeta tidak menunjukkan pola yang jelas dan baku.

Udang-udangan menunjukkan respon yang paling jelas terhadap berbagai perubahan berbagai jenis pantai, baik itu jumlah dan kelimpahan individunya serta kelimpahan dan jumlah spesiesnya.

Bahaya Kerusakan Pesisir Pantai

Sejak 20 tahun lalu, ekspor pasir laut telah dihentikan sementara melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117 Tahun 2003. Pemberhentian sementara ekspor pasir laut dilakukan sebagai pencegahan kerusakan lingkungan terutama area pesisir dan pulau kecil.

Akibat buruk penambangan pasir laut yang dimaksud adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau.

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lain sudah tenggelam. Sementara itu, lebih dari 115 pulau kecil lainnya juga terancam tenggelam di wilayah perairan dalam Indonesia.

Dibukanya kembali keran ekspor pasir laut menuai setumpuk kritik sebab dikhawatirkan memberikan lampu hijau bagi pelaku usaha tambang pasir laut dan berakhir mengancam masa depan kelestarian laut.

Kerusakan pesisir yang terjadi seperti umumnya diakibatkan oleh proses alami dari pengaruh hidrooceanografi setempat (arus, gelombang, angkutan sedimen) dan juga akibat campur tangan atau intervensi manusia terhadap daerah.

Aspek utama pemicu perubahan di wilayah pesisir adalah proses anthropogenik dan alamiah, seperti juga wilayah pesisir di berbagai belahan bumilainnya, namun Indonesia mengalami konversi lahan pesisir dalam skala besar.

Proses anthropogenik yang dimaksudkan disini adalah adanya tekanan dari manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir, sedangkan proses alamiah adalah seperti bencana alam yang terjadi secara alami.

Abrasi pantai dapat merusak kawasan pemukiman dan prasarana kota, yang berupa mundurnya garis pantai yang disebabkan oleh gelombang, arus, kegiatan manusia seperti penebangan hutan bakau, pengambilan karang pantai penambangan pasir, pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya.

Sedimentasi pada pesisir dapat menyebabkan majunya garis pantai. Majunya garis pantai disatu pihak dapat dikatakan menguntungkan karena timbulnya lahan baru, sementara dipihak lain menyebabkan tersumbatnya muara sungai dan saluran drainase yang mengakibatkan banjir dan genangan.

Pencemaran pesisir laut merupakan proses masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

Pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktifitas di daratan (land-based pollution), maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution).

Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut maupun kelestarian sumber daya alamnya membawa dampak negatif yaitu berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemanfaatan yang berlebih atas sumber daya pesisir dan laut.

Saran untuk Pengendalian Penambangan Pasir Laut

Kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan dan perdagangan pasir laut yang berlangsung tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, sehingga diperlukan strategi pengendalian mengenai penambangan pasir laut yang sesuai.

Permasalahan penambangan pasir laut di wilayah pesisir dan laut tidak dapat diselesaikan secara parsial namun harus dikendalikan dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek yaitu ekonomi, sosial, lingkungan dan pengaturan ruang di laut berupa Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP3K).

Pengendalian penambangan pasir laut seharusnya dapat sejalan dengan yang tercantum pada tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan serta samudera untuk pembangunan berkelanjutan.

Permasalahan penambangan pasir laut seharusnya dipecahkan secara terpadu dan menyeluruh dengan menyertakan masyarakat melalui pendekatan dan edukasi mengenai pentingnya kelestarian pesisir dan bahaya eksploitasi dari penambangan pasir laut.

Karena fitrah Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat kaya biodiversitasnya, khususnya laut, maka jangan sampai dibukanya pemanfatan dan ekspor pasir laut ini akan berdampak dan memperparah krisis ekologis khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat tenggelam akibat abrasi yang ditimbulkannya.

Pemerintah juga perlu mengkaji sekaligus mengatasi sumber penyebab sedimentasi laut yang berasal dari daratan, khususnya aktivitas di hulu sungai dan alirannya, sekaligus juga mempertimbangkan dampat sosial bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan yang akan semakin miskin karena ruang dan sumber kehidupannya rusak akibat penambangan pasir laut.

Sehingga harapan, tujuan dan semangat INPRES No.1/2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Yang Berkelanjutan, benar-benar dapat diwujudkan dan bukan hanya sekedar slogan serta jargon semata.


*Guru Besar dan Dekan Fakultas Biologi UGM serta Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI)