Home Hukum Ini Alasan KY Cek Kamar Mandi Calon Hakim Agung

Ini Alasan KY Cek Kamar Mandi Calon Hakim Agung

Jakarta, Gatra.com – Anggota Komisioner Komisi Yudisial (KY) bidang Lembaga dan Informasi, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan, komisioner KY mendatangi rumah calon hakim untuk menggali informasi. Bahkan, sampai masuk dan mengecek kamar mandinya.

“Kita datangi rumahnya, kita masuk rumahnya, masuk kamar mandinya. Mewah enggak. Kelihatan kalau kamar mandinya mewah pasti rumahnya mewah,” katanya saat berbincang dengan wartawan baru-baru ini.

Bukan hanya kamar mandi, lanjut dia, bahkan komisioner KY sampai mengecek hidangan di rumah calon hakim. “Lauknya apa, hidupnya mewah-mewahan enggak. Itu kami lakukan sedetail itu. Jadi kalau misalnya lolos, itu yang terbaik,” ujarnya.

Ia menjelaskan, KY mempunyai mekanisme yang terukur dalam seleksi calon hakim agung, yakni standar penilaian, syarat yang harus dipenuhi, dan sejumlah tes. Semuanya ada skornya.

“Kalau ada yang komplain, kita punya data, ini bukan persoalan suka dan tidak suka. Ini bukan persoalan politis, di KY murni skor menentukan. Enggak lulus ya enggak lulus, pasingrade-nye sekian, untuk jadi hakim itu minimal sekian, di bawah itu tidak lolos,” ujarnya.

Sedangkan persoalan setelah lolos seleksi dan menjadi hakim agung kemudian misalnya terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT), itu harus dilihat dari beberapa faktor.

“Nantinya kembali ke orangnya, keimanan naik turun dan sebagainya. Tahun kemarin kita ada yang bilang itu semua yang ketangkap OTT itu produk KY, memang betul, tapi produk tahun berapa dan sudah berapa tahun. Bisa saja karena tekanan dan sebagainya,” kata dia.

Ketua KY, Amzulian Rifai, turut menyampaikan pandangan. Ia mengatakan, pihaknya melakukan berbagai upaya untuk menghasilkan hakim-hakim agung yang berkualitas dan berintegritas sehingga memutus perkara secara objektif, independen, dan adil.

“Kami secara keras proaktif mencari orang-orang yang pantas menjadi hakim agung,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, bukan pekerjaan gampang atau mudah untuk mendapatkan kandidat yang sesuai kriteria karena sumbernya kebanyakan adalah dari hakim karier. “Resources-nya para hakim karier yang ada. Ya kami mau mencari yang mana lagi, resources-nya ya itulah,” ujarnya.

Menurut dia, kalau publik belum sepenuhnya percaya dengan sumber daya atau resources yang ada, namun itulah sumber daya yang tersedia. “Itulah adanya. Minimal pada waktu tes memenuhi syarat, kan ada tes psikolgi. Tes psikologinya memenuhi misalnya, bukan kami [yang menyatakan itu],” ujarnya.

Begitupun untuk syarat kesehatan. KY melibatkan pihak lain untuk melakukan penilaian. Adapun untuk seleksi tahap ini, KY melibatkan RSPAD. Mereka melakukan asesmen dan kemudian memberikan hasilnya. “Dari sisi kesehatan, RSPAD menyatakan bagus, jadi bukan kami,” ujarnya.

KY juga melibatkan pihak-pihak terkait lainnya untuk menilai calon hakim agung ini memenuhi syarat atau tidak. Pihak lainnya itu, di antaranya akademisi hingga hakim agung senior atau yang telah purnatugas.

Amzulian menyatakan, seleksi calon hakim agung ini berlangsung ketat. “Saya saksikan taman-teman tanpa kompromi, tidak ada titipan, pertaruhannya kami semua. Seleksi calon haikim agung itu sudah dilakukan dengan baik,” ujarnya.

Saking ketatnya, Amzulian mengaku belum tentu lulus jika ia mengikuti seleksi. Pasalnya, ia berasal dari akademisi yang tidak mempunyai pengalaman sebagai hakim meskipun mungkin dari segi integritas punya kapasitas. Untuk membaca suatu perkara, ini memerlukan keahlian atau kecapakan tersendiri.

“Jadi kami mau menyatakan, apa lagi kalau dari psikologi layak dan disarankan, kemudian tes kualitasnya lolos, dan ini tesnya bukan kami. Para akademisi di bidangnya dan hakim agung yang sudah pensiun atau senior itu menyatakan lolos memenuhi kualifikasi yang ada,” katanya.

Dengan demikian, ketika ada oknum hakim agung yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh penegak hukum lain karena menerima suap atau korupsi, atau perbuatan tercela lainnya, maka tidak serta merta bisa langsung menyalahkan KY.

“Rasa-rasanya tidak bisa juga KY dipersalahkan, karena tentu yang ngetes juga punya keterbatasan dan kami telah melaksanakan kewajiban kami,” katanya.

Terlebih lagi, lanjut dia, ketika mengikuti seleksi, calon hakim itu selain memenuhi syarat dan mempunyai integritas, bisa saja ketika setelah menjadi hakim tidak tahan atau tergiur godaan karena berbagai faktor sehingga menerima suap.

Ia menjelaskan, selain diduga adanya derasnya iming-iming sehingga oknum hakim agung tidak tahan dan akhirnya melakukan korupsi, khususnya menerima suap terkait penanganan suatu perkara, ini juga karena masih lemahnya pengawasan.

“KY punya berbagai keterbatasan di tengah tugas yang tidak ringan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, keterbatasan sumber daya, khususnya SDM seperti juga dialami sejumlah lembaga. Adapun SMD di KY jumlahnya sekitar 300-an orang dan terus berkurang. Sementara jumlah hakim di seluruh Indonesia sekitar 8 ribu.

Terkait itu, KY menggandeng berbagai lembaga penegak hukum, di antaranya KPK, Polri, dan Kejaksaan hingga masyarakat dan media untuk ambil bagian dalam mengawasi hakim.

“Kami sangat berharap teman-teman media membantu KY sama-sama berkontribusi mewujudkan pengadilan yang kuat,” katanya.

KY juga intens melakukan pelatihan bagi hakim untuk meningkatkan kompetensinya serta terus mengingatkan agar tidak terjerumus melakukan tindakan melawan hukum, khususnya menerima suap atau korupsi. “Itu ada pendidikan tiap tahun,” katanya.

SOS Hakim Agung Kamar Pidana

Amzulian juga menyampaikan kondisi darurat (SOS) jumlah hakim agung untuk kamar pidana. Pasalnya, untuk mengganti hakim agung yang purna tugas, setiap kali seleksi tidak dapat memenuhi kuota kekosongan.

Ia menyampaikan, pihaknya telah mengajukan calon hakim agung, namun perlu persetujuan dari DPR. Calon-calon yang telah lolos seleksi, kemudian tidak lolos di Senayan.

“Kita ajukan sembilan, kalau enggak salah cuman lolos tiga. Coba bayangkan, sudah dikeluarkan biaya besar, sambangi rumah, tanya tetangga sekitar, gali informasi supaya tidak salah dan kita pakai informasi intelejen. Kurang apa kita, sudah maksimal sekali,” ujarnya.

Sedangkan mengapa DPR tidak meloloskan calon-calon hakim agung untuk kamar pidana, Amzulian mengatakan, hanya DPR yang mengetahui dan silakan menanyakannya ke Senayan.

“Nanyanya ke DPR, karena di kami lolos, tapi DPR punya penilaian khusus, penilaian khususnya tanya DPR, itu kewenanan bukan pada kami. Kalau pada kami jelas. Defisit hakim pidana,” katanya.

Mukti menambahkan, pihaknya telah mengomunikasikan kepada DPR soal penilaian calon hakim agung yang dilakukan KY. ?KY mempunyai indikator penilaian yang terukur dan jelas.

“Kami juga sudah mencoba mengomunikasikan dengan Komisi III [DPR]. Waktu menyerahkan [calon hakim agung], biasanya ada RDP, di RDP itu kami jelaskan bukan siapa yang lolos, tapi orang-orang ini lolos gimana cara menilainya. Ini yang kami sampaikan,” ujarnya.

Ia menyampaikan, walaupun mungkin DPR mempunyai cara penilaian yang berbeda, KY mengharapkan setidkanya itu sejalan (inline) dengan yang dilakukan KY, sehingga penilaiannya berkelanjutan. “Ada test and proper yang nyambung antara KY dan DPR sehingga mungkin di situ bisa mudah dijelaskan,” katanya.

Sedangkan mengapa tidak lolos atau tidak disetujui DPR, Mukti senada dengan Amzulian?, yakni harus menanyakannya kepada DPR. KY hanya memastikan bahwa terjadi defisit jumlah hakim agung untuk kamar pidana.

“Sangat kurang, karena ketika tidak lolos, KMA [ketua Mahkamah Agung] langsung minta seleksi lagi, enggak diterima lagi, seleksi lagi. Kemarin ada 2,” katanya.

Kurangnya hakim agung di kamar pidana, lanjut dia, ini menjadi persoalan bangsa, bukan hanya KY, MA, dan DPR. Pasalnya, ketika jumlah hakim agungnya sedikit, sedangkan perkara yang masuk terus meningkat, maka rakyat akan lambat mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

“Tugas kami sudah selesai, tetapi ada lembaga lain yang mempunyai kewenangan. Bahwa di situ mungkin ada perbedaan cara penilaian dan sebagainya, ini bisa disuarakan media,” katanya.

Mantan Ketua KY, Eman Suparman, menyoroti perlunya memperjelas status hakim. Profesor yang masuk di Pokja I Tim Percepatan Reformasi Hukum ini menjelaskan, dalam RUU Jabatan Hakim, khususnya mengenai reformasi peradilan, disinggung soal status hakim.

“Status hakimnya harus jelas, dia ini ASN atau pejabat negara, atau dibiarkan begitu. Sekarang rekrutmen aneh, dia diterima analis, kemudian peran aktual KY ini apa. Dianggap benar, jadi jangan semata-mata peran legal saja, improvisasi-improvisasi untuk keadilan publik itu KY harus tampil, jangan jadi lembaga normal, harus abnormal sedikit,” katanya.

Juru Bicara KY, Miko Ginting, menyampaikan, bangun rancang KY di UUD 1945, kalau dalam klausul seleksi hakim agung sudah jelas.

Minimalisir Keterlibatan DPR

Pakar Hukum Tata Negara dari Univesitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, meski seleksi calon komisioner di hampir setiap negara melibatkan DPR, namun untuk meminimalisir unsur politis dalam seleksi calon hakim agung, peran DPR bisa diminimalisir.

“Nyaris tidak ada yang tidak melibatkan kekuatan politik karena dasarnya dianggap untuk upaya check and balances. Jadi kenapa di AS dipilih presiden lalu dibawa ke Senat, itu sebabnya,” ujar dia.

Selain check and balances, lanjut pria yang karib disapa Uceng tersebut, pelibatan DPR sebagai simbolisasi dari rakyat. “Mungkin kadarnya yang bisa kurangi. Saya katakan DPR silakan, tapi kadarnya dikurangi,” katanya.

Ia lantas memberikan contoh bagaimana meminimalisir peran DPR dalam proses seleksi seperti yang pernah diusulan pihaknya dalam RUUD versi DPD RI.

“Kita buat apa, ya dibedain dong, kalau yang penuh kepentingan politik dan hukum, jangan DPR yang fit and proper test, kasih DPD, Senat. Di AS rata-rata yang fit and proper test adalah Senat karena dianggap reprensentasi rakyat itu senat,” ujarnya.

Lebih konkretnya Uceng mencontohkan fit and proper test yang bisa diberikan kepada DPR, misalnya dalam seleksi calon komisioner Ombudsman. “Ombudsman kasih DPR misalkan, karena dia pengawasan langsung,” ucapnya di Yogyakarta.

Menurut Uche, Ombudsman itu sebenarnya kepanjangan tangannya DPR kalau melihat sejarahnya dalam tanda kutip. “BPK kasih DPR, karena BPK sbenarnya kewenangan DPR yang disapih,” ujarnya.

Sedangkan untuk fit and proper test komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) jangan diberikan kepada DPR.

“Ditarik dari DPR. Harusnya senat. Jadi tetap reprensentasi rakyatnya ada tapi bukan DPR, jangan reprensentasi parpol, itu mengurangi kadar politik,” katanya.

Selain itu, Uceng juga mengusulkan agar prosesnya di parlemen atau DPR dikurangi dan votingnya apakah calon hakim agung yang mengikuti seleksi, dapat lanjut atau tidak. Sistem votingnya harus diubah.

“Misal kalau KPK, satu anggota DPR memilih 5. Itu problemnya di situ. Kenapa? Komisi III itu terdiri dari 53 orang, bayangkan kalau 27 oran setengah plus 1 dari 53 itu bersepakat memilih 5 nama yang sama, pemilihan selesai, enggak perlu ada pemilihan karena lima-limanya pasti terpilih. Enggak mungkin enggak terpilih,” kata dia.

Celakanya, lanjut Uceng, 27 orang ini hanya dari dua partai. Apalagi kalau bisa menjalin lobi ke partai lain. “Maka kenapa 2-3 hari jabatan-jabatan itu sebelum pemilihan sudah tahu siapa yang terpilih. Contohnya KPU, nama yang beredar di publik, persis itu yang terpilih, dua hari sebelumnya, KPU juga beberapa di situ,” ujarnya.

Atas dasar itu, kata Uceng, di AS tidak menggunakan sistem blok, tetapi yes or no seseorang itu untuk menjabat. Itu untuk menghilangkan pola blok di atas.

“Anda coba bayangkan kalau misalnya 53 anggota DPR pilih [calon komisioner] KPK, kalau pakai one man one vote atau one man two vote, itu akan kelihatan konfigurasi dukungan politiknya, lebih cair,” ujarnya.

Artinya, kata dia, komisionernya tidak dikuasi oleh satu atau dua partai saja. Enggak ada partai yang bisa menguasi satu komisioner pun, terpaksa dia harus bertarung dengan patai lain. Bahkan partai kecil bisa berpeluang untuk menggagas.

“Partai oposisi masih sangat bisa memenangkan walaupun oposisi. Tapi ini tidak terjadi [di Indonesia],” katanya.

52