Home Info Sawit Semua Tudingan Miring Soal Sawit Bisa Dipatahkan, Begini Caranya...

Semua Tudingan Miring Soal Sawit Bisa Dipatahkan, Begini Caranya...

Medan, Gatra.com - Sebetulnya, apa yang selama ini dituduhkan oleh dunia barat, khususnya negara-negara di Eropa terhadap sawit Indonesia, masih teramat bisa diatasi dan diberesi.

Misalnya soal tudingan deforestasi. Sejak tahun 2011, Indonesia malah sudah melakukan moratorium perizinan. Alhasil sampai sekarang luas kebun kelapa sawit yang terhampar di Indonesia masih di angka 16,388 juta hektar.

Sebanyak 6,879,4 juta hektar adalah milik petani --- baik swadaya mandiri maupun plasma --- 8,682 juta hektar milik swasta dan sisanya milik BUMN.

Gara-gara moratorium ini pula, tekad untuk menggenjot produktifitas melalui intesifikasi tanaman, terus digemborkan.

Ketua Umum DMSI, Sahat Sinaga saat memberikan paparan terkait kondisi industri kelapa sawit Indonesia. Foto: (GATRA/Aziz)

Untuk tanaman rakyat, pemerintah melakukan upaya melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Program ini sudah berjalan sejak tahun 2017 lalu, namun belum bisa berjalan optimal untuk mencapai target PSR 185.000 hektar per tahun.

Baca juga: Mereposisi Minyak Sawit, Ketum DMSI: Minyak Sawit Itu Emas, Bukan Loyang!

Waktu menjadi pembicara pada Indonesia International Palm Oil Conference ke-9 yang digelar pada 4-6 Oktober 2023 di Santika Premiere Dyandra Hotel & Convention, Medan, Sumatera Utara (Sumut), Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengupas persoalan yang semacam ini juga.

"Dengan program intensifikasi ini, proyeksi kita di tahun 2030, produksi minyak sawit kita dapat mencapai volume produksi 80,8 juta ton per tahun dari yang tadinya 51,25 juta ton di tahun 2022," lelaki 78 tahun ini mengurai.

Angka semacam itu muncul lantaran lewat program intensifikasi tadi, produktifitas Tandan Buah Segar (TBS) para pelaku sawit termasuk milik para petani dapat meningkat.

Katakanlah petani swadaya yang tadinya produktifitas rata-ratanya 9,8 ton per hektar per tahun, naik menjadi 21 ton per hektar per tahun di tahun 2030. Begitu juga dengan BUMN dan swasta, naik menjadi 22,5 ton per hektar per tahun dan 24 ton per hektar per tahun.

"Setelah enam tahun dari sekarang, produktifitas kita bisa naik hingga 31%," ayah tiga anak ini menyodorkan prediksinya.

Lagi-lagi menurut Sahat, semua yang dia hamparkan itu bisa didapat jika Indonesia bangkit dan kemudian memiliki keberanian untuk menghadirkan konsensus bersama dalam mendefinisikan kembali konsep minyak sawit itu.

Soal proses pengolahan yang selama ini dituding menghasilkan emisi karbon yang tinggi, menurut Sahat, itu juga sudah ada solusinya.

"Kita malah sudah siapkan pilot project di Desa Jeluti di kawasan Kabupaten Batanghari, Jambi. Pabrik pengolahan ini enggak hanya menurunkan emisi karbon yang besar, tapi juga tidak menghasilkan 3-monochloropropane diol (3-MCPDE), dan Glycidyl Esters (GE) tak akan ada dalam kandungan minyak makan (edible palm oil) yang dihasilkan," terangnya.

Kalau semua ini sudah berjalan kata lelaki kelahiran Samosir, Sumut ini, pandangan dunia barat yang selama ini mengatakan bahwa minyak sawit Indonesia itu tidak ramah lingkungan dan menimbulkan banyak dampak buruk, akan terpatahkan.

Kalau soal larangan pekerja anak di perkebunan kelapa sawit kata Sahat, orang barat itu saja yang enggak mengerti bahwa ada nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang bahagia dan rela membantu orang tuanya, dan bukan bertujuan mendapatkan upah kerja.

"Bukan anak-anak itu sengaja bekerja biar dapat upah. Tapi lantaran mereka tidak tahu nilai-nilai kearifan lokal kita, mereka kemudian menuduh begitu," katanya.


 

55