Home Ekonomi Gencarnya Pembangunan Infrastruktur Tak DIimbangi Tenaga Konstruksi Bersertifikat

Gencarnya Pembangunan Infrastruktur Tak DIimbangi Tenaga Konstruksi Bersertifikat

Jakarta, Gatra.com - Pembangunan infrastruktur telah menjadi prioritas pemerintah dalam 10 tahun terakhir. Berbagai proyek strategis nasional bidang infrastruktur ini menandai kemajuan negara ini. Mulai dari jalan tol, LRT, bendungan, energi terbarukan, perumahan, dan infrastruktur lainnya. Tentunya kesuksesan pembangunan ini tidak lepas dari peran tenaga kerja konstruksi yang menjadi garda terdepan dalam pembangunan infrastruktur.

Selaras dengan itu, Presiden Jokowi pada berbagai kesempatan juga menyampaikan bahwa Pembangunan SDM tetap menjadi agenda prioritas kita. Indonesia harus bisa memanfaatkan bonus demografi dan siap menghadapi disrupsi teknologi. Kita harus menyiapkan SDM yang produktif, inovatif, dan berdaya saing global dengan tetap mengamalkan nilai- nilai Pancasila, berakhlak mulia, dan menjaga jati diri budaya bangsa.

Memang, dalam mewujudkan pembangunan SDM hampir di semua sektor ekonomi bukan hanya sektor konstruksi merupakan tantangan yang tidak mudah. Berbagai tantangan yang dihadapi di sektor konstruksi seperti rendahnya tingkat pendidikan, pelatihan, dan tentunya awarenes dari tenaga kerja untuk aktif memperdalam keahlian dan keterampilan hingga sertifikasi kompetensi.

Di sektor konstruksi, sertifikasi kompetensi kerja (SKK) sebagai salah satu langkah konkrit dalam pengakuan kompetensi menuju SDM konstruksi yang unggul dan berdaya saing sudah dimulai dilaksanakan sejak tahun 1999 dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Kemudian pada tahun 2017, perubahan sekaligus penguatan regulasi di bidang Jasa Konstruksi ditandai dengan ditetapkanya UU No. 2 tahun 2017 masih mengusung semangat yang sama dengan UU No. 18 tahun 1999 yaitu pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi melalui proses sertifikasi kompetensi kerja.

“Kepemilikan sertifikat kompetensi kerja merupakan suatu kewajiban bagi Tenaga Kerja Konstruksi mengingat terdapat risiko kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan jika pembangunan infrastruktur dilakukan oleh tenaga kerja yang tidak kompeten dibidangnya,” jelas Dekan Fakultas Teknik dan Teknologi Universitas Tanri Abeng, Dr. Idi Namara, ST, MT.

Menurutnya, tenaga kerja konstruksi yang kompeten juga diharapkan mampu menerapkan standar konstruksi yang sesuai sehingga mutu infrastruktur terbangun terjamin.

Dalam kondisi sekarang, Indonesia masih kekurangan tenaga kerja konstruksi (TKK) yang bersertifikat kompetensi. Hingga pertengahan tahun 2023 ini, jumlah tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat (SKK) hanya 3,95 persen dan sisanya 96,05 persen belum atau tidak bersertifikat dari angkatan kerja konstruksi di Indonesia sebanyak 8.505.542 orang (Sakernas BPS 2023). Jumlah TKK bersertifikat ini mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 688.334 TKK.

Idi menuturkan, dalam rangka peningkatan kemampuan sumber daya manusia di lingkungan industri, pemerintah bersama pihak-pihak terkait telah berupaya menyusun dan menerapkan standar kompetensi kerja SDM industri sesuai dengan tingkat keahlian melalui sertifikasi untuk menjamin keberadaan tenaga kerja dalam negeri yang berkualitas.

“Sertifikasi merupakan bentuk rekognisi sekaligus legitimasi kompetensi yang dimiliki tenaga kerja konstruksi diharapkan menjadi katalis dari pemenuhan gap jumlah tenaga konstruksi bersertifikat yang sangat besar,” tegas Idi Namara yang juga merupakan pengurus Asosiasi Perpakom. Oleh karena itu, penting rasanya untuk membangun sistem sertifikasi yang kuat, adaptif dan terintegrasi di bidang konstruksi.

Dalam membangun sistem sertifikasi bidang konstruksi yang mumpuni diperlukan lembaga sertifikasi profesi (LSP) dalam jumlah yang memadai dengan lingkup layanan di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang dikutip dari web LPJK, setelah 2 (dua) tahun pasca ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2021, terdapat 42 LSP bidang konstruksi yang telah terlisensi, namun baru 28 LSP saja yang sudah beroperasi.

“Jika dibandingkan, jumlah ini sangat jauh dari jumlah LSP yang telah mendapatkan rekomendasi lisensi dari Kementerian PUPR (melalui LPJK) yakni sebanyak 161 rekomendasi,” ungkapnya.

Minimnya jumlah LSP yang beroperasi sangat berkolerasi terhadap layanan sertifikasi sekaligus produktivitas jumlah SKK yang telah terbit. Data tersebut diatas, secara tidak langsung terjadi karena adanya indikasi dualisme kewenangan dalam pengaturan terkait lisensi LSP dibidang konstruksi.

Korelasi minimnya jumlah LSP yang beroperasi disinyalir menjadi penyebab fenomena penurunan sertifikat kompetensi dan pertumbuhan jumlah LSP yang belum memenuhi ekspektasi. “Dua tahun terakhir menjadi bukti bahwa harmonisasi pengaturan BNSP dengan sektor konstruksi tidak secepat kebutuhan industri. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai percepatan sertifikasi bidang konstruksi, perlu ada terobosan atau akselerasi,” jelas Idi Namara.

Satu bentuk akselerasi tersebut adalah, sektor konstruksi harus memiliki kendali penuh dalam pemberian lisensi LSP seperti praktik lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU). “Kontrol penuh dalam sistem sertifikasi akan memudahkan sektor konstruksi untuk mengatur secara mandiri, membina secara langsung dan mengkoordinasikan beragam stakeholders dengan lebih baik,” tambahnya.

Secara historis, sektor konstruksi sudah mandiri dengan melaksanakan sistem sertifikasi selama 21 tahun sejak UU No. 18 Tahun 1999. “Dari pengalaman sebelumnya, jika perlu ada perbaikan atau penguatan terhadap proses yang masih kurang bisa kita lakukan. Kita punya berbagai aturan dan standar, jadi jangan ragukan lagi, sekarang pun sektor konstruksi pasti mampu melaksanakan lisensi LSP dan sertifikasi bidang konstruksi secara penuh dan mandiri,” tutur Idi.

Menteri PUPR sebagai unsur pemerintah pusat merupakan regulator yang memiliki kewenangan dalam pembinaan sektor konstruksi sesuai yang diamanatkan pada UU No 2/2017, Menteri perlu memastikan proses peningkatan dan pengakuan kompetensi SDM konstruksi berjalan dengan baik dalam rangka penguatan daya saing Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK).

Proses sertifikasi TKK perlu dijamin dengan adanya standar kompetensi kerja yang bersifat nasional, perlu dipastikan master asesor dan asesor kompetensi merupakan orang-orang yang kompeten dan berpengalaman pada sektor konstruksi. Uji kompetensi pun wajib dilaksanakan secara objektif dan transparan sesuai kaidah yang berlaku.

Oleh karena itu, jika sistem sertifikasi bidang konstruksi dijalankan dengan peran penuh dari Kementerian PUPR, maka tugas dan tanggungjawab ini akan lebih optimal dijalankan melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, khususnya dengan masyarakat jasa konstruksi yang saat ini diwakili oleh LPJK.

“Dalam membangun sistem sertifikasi yang kolaboratif perlu keterlibatan masyarakat jasa konstruksi. Hal ini tentu dapat diakomodir melalui peran aktif LPJK sebagai bentuk peran serta masyarakat Jasa Konstruksi dalam konteks pemberian lisensi LSP,” ungkapnya.

Peran dan kewenangan LPJK perlu diperkuat dalam kaitannya dengan pemberian lisensi dan sertifikasi bidang konstruksi sehingga jumlah LSP bidang konstruksi dapat bertumbuh dan layanannya mampu mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Harapannya, sektor konstruksi yang mandiri akan mampu mendorong tercapainya salah satu visi sektor konstruksi yaitu seluruh tenaga kerja konstruksi bersertifikat.

358