Home Pemilu 2024 APHA: Jangan Pilih Capres-Cawaperes dan Caleg Tak Punya Komitmen Ini

APHA: Jangan Pilih Capres-Cawaperes dan Caleg Tak Punya Komitmen Ini

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia meminta masyarakat tidak memilih calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) dan calon anggota legislatif (caleg) pusat dan daerah yang tidak mempunyai komitmen pada lingkungan dan eksistensi masyarakat adat.

Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.H., dalam konferensi pers sikap APHA Indonesia di Jakarta, Rabu (17/1), mengajak masyarakat untuk menggunakan hak suara pada Pemilu 2024, baik Pilpres dan Pileg.

“Memberikan hak pilih kepada Calon Presiden dan Calon Parlemen yang memiliki komitmen terhadap lingkungan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat,” katanya.

Laksanto lebih lanjut menyampaikan, APHA yang merupakan organisasi beranggotakan para pengajar (dosen), peneliti, dan praktisi yang peduli terhadap keberadaan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat yang merupakan garda terdepan sebagai penjaga dan penyeimbang lingkungan, mendesak presiden-wapres dan anggot legislatif terpilih untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.

Selain itu, siapa pun presiden-wapres dan legislator terpilih harus sungguh-sungguh memosisikan hukum adat dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sebagai sumber hukum nasional dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atau sumber daya alam (SDA).

“Mendesak siapa pun yang menjadi Presiden terpilih untuk serius menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan dan atau mempertahankan hak ulayat dan hak tradisionalnya,” ujar dia.

Kemudian, APHA Indonesia juga mendesak presiden-wapres dan wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah, sungguh-sungguh berkomitmen memperhatikan asas kearifan lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Meminta kepada siapapun yang menjadi Presiden terpilih untuk berkomitmen tinggi dan menindak tegas para perusak lingkungan hidup, baik orang perseorangan maupun korporasi,” ujarnya.

Selanjutnya, APHA Indonesia mendesak presiden-wakil presiden terpilih untuk ?moratorium izin konsesi, hak pengusahan hutan (HPH), dan perkebunan besar di kawasan hutan, terutama yang dekat dengan komunitas masyarakat adat dan permukimannya.

“Kami mendesak dan meminta agar Presiden terpilih memasukkan 6 poin pernyataan sikap tersebut sebagai Agenda atau Program Prioritas 100 Hari, terhitung sejak Presien terpilih mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI,” katanya.

Alasan APHA Indonesia Sampaikan Sikap

Laksanto menjelaskan, pihaknya menyampaikan sikap tersebut karena Presiden dan anggota legislatif terpilih sebelumnya tidak memedulikan masyarakat adat dan menjadikan SDA hanya mengatasnamkan pembangunan dan pendapatan asli daerah (PAD).

“Bahkan kewajiban AMDAL-pun tidak jarang diabaikan. Padahal UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah mengatur sedemikian rupa aturan main dalam pengelolaan lingkungan hidup,” ujarnya.

Belum efektifnya implementasi UU PPLH tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang akhirnya mengganggu keseimbangan lingkungan hidup serta kekayaan alam Indonesia ini hanya dinikmati segelintir orang dan korporasi.

“Sejatinya pengelolaan lingkungan hidup (SDA) seperti usaha pertambangan dan minerba, minyak dan gas, dan lain-lain itu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Laksanto menjelaskan, ini sebagaimana amanat dari Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi faktanya pengelolaan SDA seringkali justru menciptakan penderitaan bagi rakyat, termasuk masyarakat adat.

“Apapun alasannya, pengelolaan SDA telah menciptakan kerusakan dan penderitaan rakyat,” katanya.

Salah satu contohnya, lanjut Laksanto, perkebunan besar kelapa sawit dan HPH telah membuat masyarakat adat terusir dari wilayah dan hutan ulayatnya. Padahal, masyarakat adat dengan kearifan lokalnya selalu menjaga kelestarian alam.

“Sudah saatnya Negara dan Pemerintah mengadopsi hukum adat dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat dalam kaitannya dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” ujarnya.

Pasalnya, kata Laksanto, masyarakat adat dan kearifan lokalnya selama ini berada di garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidupnya. Jika Negara dan pemerintah terlalu berorientasi kepada hukum positif serta mengabaikan hukum adat dan kearifan lokal terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, jelas sebuah kekeliruan besar dan harus dikoreksi.

“Ini urgen dilakukan demi menjaga kelestarian, kesinambungan, dan keseimbangan lingkungan hidup untuk kepentingan generasi yang akan datang. Kerusakan lingkungan hidup harus segera dihentikan dan tidak ada toleransi bagi perusak dan pencemar lingkungan hidup,” katanya.

APHA Indonesia, lanjut Laksanto, menegaskan, pihak yang tidak concern dan tidak menjadikan permasalahan lingkungan hidup sebagai prioritas nasional tidak layak hidup di bumi Indonesia.

Laksanto mengungkapkan, sudah belasan tahun RUU Hukum Adat belum juga disahkan oleh pemerintah dan DPR meskipun sudah berulang kali masuk dalam prolegnas.

Ia menjelskan, dalam kaitannya dengan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

“Sejatinya muatan pasal tersebut menjadi landasan konstitusional bagi pembentukan UU yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti UU PA, UU Pertambangan dan Minerba, UU Pertanahan, UU Kehutanan, UU Investasi, dan sejenisnya, selain berlandaskan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,” katanya.

Terkait itu, sinkronisasi muatan UU dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan SDA dengan hukum adat dan kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah sebuah keniscayaan.

“Negara dan pemerintah harus peka dan sadar bahwa kerusakan lingkungan hidup dari hari ke hari makin parah, sehingga makin mengancam kehidupan setiap warga negara Indonesia, termasuk masyarakat adat,” ujarnya.

Tingginya tingkat kerusakan alam berakibat meningkatnya risiko terjadi bencana alam. Bencana seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dan lain sebagainya adalah buah dari buruknya perilaku perorangan, kelompok orang dan korporasi yang mengelola SDA (profit oriented), serta tidak optimalnya tata kelola dalam pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup oleh pemerintah.

“Banyaknya kasus bencana banjir dan longsor di berbagai wilayah di Indonesia sejatinya membuat Pemerintah Pusat dan Daerah serius terhadap persoalan lingkungan hidup,” katanya.

Sebagai komitmen terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, APHA berkolaborasi dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) Bandung akan menyelenggarakan Seminar bertajuk “Dinamika dan Tantangan Keberadaan Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Diberlakukannya KUHP Baru” di Unpar Bandung pada 17 Februari 2024.

Adapun yang menjadi pembicara dalam acara tersebut, yakni Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H. dari Universitas Udayana Denpasar, Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H. Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Prof. Dr. Dr. Catharina Dewi Wulansari, PhD, S.H., M.H., S.E., M.M. dari Unpar Bandung.

166