Home Kolom Debat Presidensial: Pendidikan Politik Dari, Oleh dan Untuk Pemilih

Debat Presidensial: Pendidikan Politik Dari, Oleh dan Untuk Pemilih

Oleh:
Subagio Aridarmo*


Debat presidensial para kandidat sebagai salah satu metode kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2024 sudah berlangsung empat kali. Sejauh ini, hal penting yang perlu ditinjau dan dicermati adalah format debat, meliputi antara lain materi debat, durasi dan peran panelis; serta citra diri para kandidat. Semua itu merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan bobot debat, yang berelasi dengan pelaksanaan fungsi debat (sebagai pendidikan politik) dan dengan pencapaian tujuan debat (untuk meyakinkan pemilih dan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu).

Hukum kepemiluan, melalui UU Pemilu dan PKPU No. 15/2023, mengatur kampanye pemilu dengan memuat berbagai aturan, prinsip, persyaratan, kewajiban, larangan dan sanksi. Keduanya merupakan landasan hukum untuk melaksanakan kampanye pemilu, termasuk debat capres-cawapres oleh KPU, agar sesuai dengan fungsi dan tujuan debat.

Kampanye pemilu merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab yang dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Kampanye pemilu, termasuk debat capres-cawapres, adalah kegiatan peserta pemilu, atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.

Di negara-negara demokrasi, konsep partisipasi politik bertolak dari paham kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan dan masa depan masyarakat serta untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Partisipasi politik, merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi politik anggota masyarakat bisa dalam bentuk pemberian suara (Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2012: 368-369).

Pilpres merupakan bentuk partisipasi politik sah bagi rakyat berdaulat pemegang hak suara untuk memilih pemimpin nasional. Debat capres-cawapres menjadi sarana demokratis untuk mengampanyekan para kandidat yang bertarung dalam kontestasi pilpres. UU Pemilu mengatur bahwa penyelenggaraan debat dibebankan pada APBN. Biaya debat berasal dari uang rakyat.

Menurut Thomas M. Halbrook (Political Learning from Presidential Debates, 1999: 71), debat calon presiden merupakan salah satu ujian yang paling ketat untuk pengaruh kampanye terhadap pembelajaran politik. Debat masih merupakan salah satu bentuk kegiatan kampanye yang paling visibel yang diharapkan dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi para pemilih. Ada beberapa bukti dari penelitian sebelumnya yang mendukung gagasan bahwa debat berfungsi sebagai pembelajaran yang penting.

Hal-hal di atas -mengenai sumber dana debat capres-cawapres berasal dari APBN; tujuan dan pengaruh debat terhadap pembelajaran/pendidikan politik; serta debat sebagai bentuk kampanye untuk memberikan informasi yang benar dan berguna kepada pemilih sebelum menggunakan hak pilihnya di pilpres- telah mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa debat capres-cawapres adalah debat dari pemilih, dibuat oleh pemilih dan ditujukan untuk pemilih. Oleh karenanya, pemilih berhak atas debat yang memberikan pembelajaran dan pendidikan politik, yang mengedukasi dan mencerdaskan pemilih. Maka, beralasan bagi pemilih untuk menuntut KPU menyiapkan dan menyelenggarakan debat yang demikian.

Aspek Hukum-Politik-Komunikasi Debat

Mencermati prinsip-prinsip kampanye pemilu dalam UU Pemilu dan PKPU No. 15/2023 serta memahami peran penting komunikasi dan penyiaran kampanye pemilu yang dikaitkan dengan fungsi dan tujuan debat, kualitas debat ditentukan oleh aspek-aspek berikut ini: (1). pemenuhan debat atas Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Kampanye Pemilu pada Pasal 2 PKPU No. 15/2023: jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien; (2). format debat yang ideal dari segi lamanya durasi, pengaturan segmen-segmen serta penentuan tugas dan peran panelis dan moderator yang dapat memberikan kesempatan yang layak bagi para kandidat untuk berdebat dan menyampaikan visi-misi-program, gagasan dan citra dirinya secara interaktif dan dinamis; (3). bobot dan kualitas tema, subtema, pertanyaan dan pembahasan panelis kepada para kandidat; (4). bobot dan kualitas materi debat, visi-misi-program dan gagasan para kandidat; (5). kecakapan komunikasi para kandidat; (6). keluasan jangkauan dan cakupan ekspos debat kepada pemilih; serta (7). keluasan dan kemudahan akses debat oleh pemilih.

Ketujuh aspek di atas dapat disebut sebagai “Aspek Hukum-Politik-Komunikasi Debat”. Pemenuhan aspek-aspek tersebut berelasi logis politis dengan fungsi debat (sebagai pendidikan politik) serta dengan tujuan debat (untuk meyakinkan pemilih dan meningkatkan partisipasi pemilih).

Visi-Misi-Program

Dua hal yang ditawarkan para kandidat dalam debat capres-cawapres kepada pemilih adalah visi-misi-program dan citra diri. Keduanya merupakan modal politik para kandidat.

Tidak semua pemilih sudah mengetahui visi-misi-program para kandidat. Belum tentu pemilih sudah atau mau mendalami dokumen visi-misi-program para kandidat. Juga, meski pemilih sudah membaca visi-misi-program para kandidat, belum tentu pemilih memahaminya. Visi-misi-program disampaikan para kandidat dalam debat pada segmen opening statement berdurasi pendek. Sulit diharapkan itu bisa menjadi pedoman yang cukup untuk memengaruhi dan meyakinkan banyak pemilih. Maka, opening statement yang berbobot, terfokus dan efektif menjadi sangat penting bagi para kandidat untuk meraih impresi positif dari pemilih di awal debat.

Materi debat capres-cawapres ditentukan oleh kedalaman dan ketajaman tema dan subtema serta pertanyaan kepada para kandidat (yang disusun panelis) yang diharapkan menyentuh persoalan riil masyarakat serta merepresentasikan permasalahan dan tantangan bangsa dan negara hari ini dan masa depan. Itu menjadi “ring debat”. Debat ditentukan juga oleh kualitas kecakapan komunikasi para kandidat. Penting untuk menggunakan bahasa sederhana agar debat mudah dipahami karena pemilih kita sangat beragam terutama dari latar belakang dan tingkat pendidikan. Substansi tanya-jawab, visi-misi-program dan gagasan para kandidat juga menjadi faktor penentu, yang seharusnya itu bisa didalami panelis, tapi sayangnya tidak, karena format debat membatasi peran panelis.

Durasi selama 120 menit untuk acara debat yang diikuti tiga pasangan kandidat terbilang relatif pendek. Durasi debat patut dipertimbangkan untuk ditambah secara proporsional. Segmen yang sebaiknya ditambahkan dalam debat adalah adanya segmen di mana panelis mengambil satu-dua bagian materi dari visi-misi-program satu kandidat yang dipandang panelis sebagai bagian paling penting dan menarik dan paling terlihat berbeda dengan visi-misi-program dua kandidat lainnya, untuk kemudian dibahas dan diperdebatkan dengan para kandidat. Hal yang sama dilakukan juga untuk dua kandidat lainnya.

Durasi debat yang relatif pendek, apalagi ada pembatasan peran panelis, telah membuat sempit dan tidak leluasa ruang dialektika dan demokrasi untuk membahas dan memperdebatkan visi-misi-program dan gagasan para kandidat. Hal tersebut dapat menyebabkan: debat sulit menguji kebenaran informasi materi debat; debat kurang bisa menilai visi-misi-program para kandidat; debat kurang bisa menilai rasionalitas gagasan para kandidat; dan bahkan bisa saja substansi materi debat kurang atau tidak dapat dipahami oleh kebanyakan pemilih.

Citra Diri dan Political Show

Penyelenggaraan debat capres-cawapres disiarkan langsung secara nasional oleh media massa elektronik melalui lembaga penyiaran. Penyiaran langsung berperan penting untuk mengekspos seluas-luasnya materi debat dan citra diri para kandidat. Penyiaran langsung membuat debat laksana pertunjukan politik (political show). Dalam political show, para kandidat berupaya menampilkan citra dirinya untuk bisa menarik perhatian pemilih.

UU Pemilu dan PKPU No. 15/2023 tidak memberikan definisi hukum “citra diri”. Namun, satu ketentuan dalam PKPU mengatakan citra diri peserta pemilu ditampilkan dalam kampanye pemilu melalui nomor urut dan foto/gambar. Realitas politik menunjukkan citra diri para kandidat selama kampanye pemilu ditampilkan lebih dari sekadar itu, dikarenakan kebutuhan politik.

Fenomena politik yang mengemuka selama kampanye pilpres adalah bagaimana para kandidat berupaya menampilkan citra diri yang positif, mengesankan dan simpatik. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pemilih, mudah diingat pemilih (memorable), mengangkat popularitas para kandidat dan memperoleh banyak suara. Namun, yang terpenting adalah penerapan strategi citra diri para kandidat tidak boleh melanggar Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Kampanye Pemilu pada Pasal 2 PKPU No. 15/2023 sebagai norma hukum kampanye pemilu.

Strategi citra diri para kandidat ditampilkan melalui prinsip dan nilai yang merepresentasikan visi-misi-program yang mereka janjikan akan dilaksanakan dalam masa pemerintahan nanti apabila mereka terpilih sebagai presiden-wakil presiden, yakni: tema “Perubahan” dan “Indonesia Adil Makmur untuk Semua” oleh pasangan Anies-Muhaimin; tema ”Keberlanjutan” dan “Bersama Indonesia Maju” oleh pasangan Prabowo-Gibran; dan tema ”Menuju Indonesia Unggul” oleh pasangan Ganjar-Mahfud.

Para kandidat juga mengampanyekan citra dirinya dengan menggunakan strategi asosiasi para kandidat yang menggambarkan sikap, ekspresi, pembawaan diri ataupun visual para kandidat, yang ditampilkan dalam debat dan berbagai kampanye lainnya. Misalnya, slogan “Aminin aja dulu” dan jurus “slepet” dari pasangan Anies-Muhaimin; sebutan “gemoy”, “santuy” dan “dijogetin aja” dari pasangan Prabowo-Gibran; serta motto “sat set” dan “tas tes” di pakaian kampanyenya pasangan Ganjar-Mahfud.

Apakah strategi citra diri di atas adalah gimik? Menurut KBBI, gimik adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran (dalam seni); sesuatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian. Namun, satu hal yang pasti adalah substansi harus diutamakan, lebih menonjol dan memorable dibanding gimik (yang bisa saja membiaskan, menyamarkan atau mengecoh), sebab substansi-lah yang sesungguhnya mengedukasi pemilih.

Pengertian “citra diri” harus dimaknai lebih substantif daripada yang di atas. Citra diri sebaiknya dimaknai sebagai kapabilitas, kapasitas, kredibilitas, kepemimpinan dan karakter diri serta kepatuhan etik dan moral para kandidat, yang semua itu tertanam dan menyatu pada diri mereka yang terbentuk dari proses cukup panjang dan lama. Citra diri para kandidat yang demikian tercermin dari berbagai hasil dan pencapaian kerja dan kegiatan para kandidat pada berbagai bidang, misalnya sosial, politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, kemanusiaaan, lingkungan hidup, dan lain-lain; pada jabatan publik di pemerintahan atau cabang-cabang kekuasaan; pada jabatan di lembaga atau institusi lainnya; dan sebagainya.

Citra diri para kandidat tersebut ditampilkan dengan terbuka, jujur, alami dan genuine di atas panggung debat dan bentuk kampanye lainnya. Pemilih dapat mengakses, mengidentifikasi dan memahami citra diri para kandidat dari rekam jejak tentang gagasan, prestasi, pencapaian dan pengalaman para kandidat. Citra diri para kandidat dalam pengertian itulah yang seharusnya diekspos seluas-luasnya serta dipahami dan dipegang pemilih.

Mengaktifkan Peran Panelis

Format debat capres-cawapres tidak diatur secara spesifik oleh UU dan PKPU. Hal yang diatur antara lain adalah jumlah debat lima kali, debat disiarkan langsung secara nasional, persyaratan moderator terpilih serta peserta/audiens dalam jumlah terbatas dapat diundang KPU. Perihal segmen, durasi dan panelis tidak diatur.

Format pada tiga debat terdahulu tidak memberikan ruang, waktu dan kesempatan kepada panelis untuk aktif berinteraksi dengan para kandidat. Panelis bertugas: (sebelum debat) menyusun pertanyaan dan (dalam debat bolak-balik) mengundi pertanyaan untuk dibacakan moderator kepada para kandidat. Dalam konteks itu, mereka seperti sebagai “pembuat soal/pertanyaan” dan “pengundi pertanyaan” dan karenanya kurang tepat menggunakan istilah “panelis” dalam debat tersebut.

Menurut KPU, pembatasan peran panelis dalam debat capres-cawapres didasarkan pertimbangan waktu/durasi debat dan soal fairness (terkait netralitas KPU dan panelis). Jika panelis diberi ruang untuk bertanya, itu akan menghabiskan waktu debat dan kesempatan antarkandidat berinteraksi berkurang (tempo.co, 11/12/2023). Sistem dengan mengundi pertanyaan sudah fair daripada pertanyaan ditentukan oleh KPU atau panelis, karena pasti-lah ada tuduhan-tuduhan seolah-olah ada di-setting dan lain sebagainya (cnnindonesia.com, 22/12/2023).

Panelis dalam debat capres-cawapres selama ini adalah akademisi, scholar, cendekiawan, serta pakar, yang kita hormati. Panelis seharusnya didudukkan sesuai dengan hakikatnya sebagai panelis. Namun, peran panelis dalam debat seolah-olah “dinonaktifkan” atau tidak utuh dan penuh. Panelis menjadi tidak bisa memengaruhi interaksi dan dinamika debat.

Berbeda dengan “moderator” yang diatur UU Pemilu (Pasal 277 ayat (2) dan (3)) serta PKPU No. 15/2023 (Pasal 52) dan bahkan dengan “peserta/audiens” yang diatur PKPU No. 15/2023 (Pasal 53 ayat (1)), keberadaan panelis dalam debat capres-cawapres justru tidak diatur. Persyaratan, kualifikasi maupun peran panelis tidak ditentukan, padahal panelis termasuk elemen penting untuk dapat memfungsikan debat sebagai pendidikan politik, dan pada faktanya pula, panelis selalu diperlukan dalam setiap debat.

Mempertimbangkan fungsi dan tujuan debat capres-cawapres, peran panelis dalam debat perlu diaktifkan sesuai dengan hakikat panelis. Panelis harus diberi ruang, waktu dan kesempatan sebagai penanya dan pembahas. Tujuannya adalah agar panelis mendalami rasionalitas visi-misi-program dan gagasan para kandidat; menguji kebenaran informasi dan materi debat para kandidat (di mana mereka saling adu klaim kebenaran informasi/data); menghidupkan interaksi dan dinamika debat; sehingga diharapkan kredibilitas, autentisitas dan diferensiasi para kandidat tergambarkan selama debat.

Materi kampanye para kandidat harus memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab sebagaimana diatur Pasal 23 PKPU No. 15/2023. Dengan alasan untuk pendidikan politik, pemilih berhak atas materi kampanye yang informasinya benar dan bertanggung jawab. Pihak yang dapat membahas dan menguji materi debat para kandidat adalah panelis, bukan KPU (karena KPU merupakan penyelenggara serta terikat dengan netralitas dan ketakberpihakan) dan bukan pula moderator (yang oleh UU Pemilu dan PKPU No. 15/2023 dilarang memberikan komentar, penilaian dan simpulan apa pun terhadap penyampaian dan materi para kandidat).

Untuk lebih mengaktifkan peran panelis dalam debat capres-cawapres, penyelenggara debat harus mempercayai sepenuhnya netralitas, integritas, kejujuran dan ketakberpihakan panelis sebagaimana UU Pemilu dan PKPU No. 15/2023 mensyaratkan prinsip tersebut terhadap moderator yang dipilih. Pada faktanya pula, sama seperti moderator, panelis menandatangani Pakta Integritas.

Di masa depan pada kesempatan pemilu berikutnya sebaiknya panelis diberikan landasan yuridis dalam peraturan kampanye pemilu dengan mengatur persyaratan, kualifikasi dan peran panelis sebagai penyusun pertanyaan, pembahas materi debat dan berinteraksi dengan para kandidat, dengan mensyaratkan kepada mereka prinsip netralitas, integritas, kejujuran dan ketakberpihakan.


* Advokat