Home Ekonomi Pengamat Pajak soal Kenaikan PPN 12%: Kalau Dampaknya Kecil, Ya Tak Masalah

Pengamat Pajak soal Kenaikan PPN 12%: Kalau Dampaknya Kecil, Ya Tak Masalah

Jakarta, Gatra.com – Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di tahun 2025 mendatang dari yang sebelumnya 11% di April 2022 memang merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Memang benar, kata Fajry, bahwa kenaikan tarif PPN akan mengerek harga barang dan jasa. Namun ia masih mempertanyakan efeknya sebesar apa. Ia beralasan, masih ada fasilitas PPN dan ambang batas Perusahaan Kena Pajak (PKP), yang memungkinkan dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi tidak akan signifikan.

“Hasil kalkulasi tahun 2022 lalu hanya 0,4% itu pun sudah memasukkan faktor kenaikan harga BBM pada tahun 2022,” ujar Fajry kepada Gatra.com, Kamis (14/3/2024).

Lebih lanjut, Fajry menjelaskan bahwa nilai C-efficiency ratio Indonesia masih sekitar 63%. Dengan kata lain, dari seluruh nilai transaksi konsumsi masyarakat Indonesia, yang masuk ke dalam sistem PPN hanya 63% saja.

“Itu pun sudah memasukan faktor restitusi PPN. Dan kalau dilihat dari jumlah transaksi, harusnya jauh lebih kecil lagi. Mungkin bisa di bawah 50%. Inilah salah satu penyebab tax ratio kita rendah, banyak transaksi ekonomi kita yang tak masuk dalam sistem PPN,” tutur Fajry.

Mengutip laman resmi Kemenkeu, C-efficiency ratio menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja dalam perhitungannya. Indikator ini dinilai lebih tepat untuk menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya.

“Kalau dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin dampak kenaikan tarif PPN sebesar 1% bisa berdampak besar ke ekonomi masyarakat? Memang betul jika kelompok menengah paling terdampak di antara kelompok pendapatan lainnya. Namun seberapa besar? Kalau dampaknya kecil, ya tak masalah,” kata Fajry.

Terlebih lagi, kata Fajry, penghasilan pajak yang diterima pemerintah akan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk public spending seperti pembangunan infrastruktur, bansos, dan program makan siang gratis kalau jadi dijalankan. “Artinya, uang tersebut pada akhirnya kembali ke masyarakat. Ada dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat,” ujarnya.

Lebih jauh lagi, kata Fajry, karena kenaikan PPN ini merupakan amanat UU, maka pertanyaan soal apakah kebijakan ini mendesak atau tidak sudah tidak lagi relevan. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi dampak-dampak dari kebijakan ini. “Kita dapat pelajari cerita sukses pengelolaan kebijakan kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11%,” katanya.

Pertama, kata Fajry, yang harus diantisipasi dari berjalannya kebijakan ini ialah dampak terhadap inflasi. Di satu sisi, ia meyakini dampak terhadap inflasi tidak akan besar mengingat banyaknya fasilitas PPN bagi objek tertentu dan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masih tinggi. “Tapi kita perlu waspada. Hasil estimasi dahulu kisarannya akan berkontribusi 0,4%,” ujarnya.

Oleh karena itu, Fajry berpandangan perlu koordinasi antara Menteri Keuangan (Menkeu), Bank Indonesia (BI), Menteri Dalam negeri (Mendagri), dan pemerintah daerah (pemda) untuk menstabilkan harga. Menurutnya, sosok pemimpin menjadi penting dalam menentukan efektivitas kebijakan. “Untuk itu tak boleh salah pilih Menkeu baru,” wanti Fajry.

Kedua, menurut Fajry, hal lain yang harus diantisipasi ialah dampak kebijakan ini terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal itu disebabkan karena PPN merupakan pungutan yang bersifat regresif. Oleh karenanya, ia meyakini kebijakan ini berpotensi memunculkan dampak sosial bagi masyarakat kelas bawah.

“Meski kami sendiri melihat dampaknya akan terbatas mengingat banyaknya fasilitas PPN bagi objek tertentu, terutama sembako, erlebih ada fasilitas PKP PPN sebesar Rp4,8 miliar. Untuk itu pemerintah bisa berikan bantuan sosial sebagai bantalan sosial bagi masyarakat bawah,” ujar Fajry.

Namun, Fajry menegaskan bahwa ada beberapa hal yang sejatinya bisa membuat cukup lega orang banyak di tengah wacana kenaikan PPN ini. Pertama, masih banyak barang atau jasa yang tidak dikenai kenaikan tarif PPN. Salah satu contohnya adalah sembako. Kedua, hanya pengusaha besar saja yang memungut PPN.

“Di Indonesia ada aturan ambang batas PKP PPN, jadi pengusaha yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar setahun tidak kena PPN,” kata Fajry.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% pada tahun 2025, setelah naik menjadi 11% pada April 2022 lalu.

Alasan utama kenaikan PPN itu adalah karena kenaikan tersebut merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 UU tersebut, tarif PPN yang sebelumnya berada di tingkat 10% diubah menjadi 11% pada April 2022 lalu, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 12% pada tahun depan.

Airlangga mengatakan bahwa kenaikan ini sudah selaras dengan konsep keberlanjutan kebijakan pemerintah saat ini dengan pemerintah baru nanti. Ia pun mengindikasikan bahwa masyarakat sudah setuju dengan konsep keberlanjutan ini, termasuk kebijakan-kebijakannya.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN [12%],” kata Airlangga, seperti dilansir Antara, Jumat pekan lalu.

99