Home Ekonomi Ekowisata Pulau Tikus Banyuasin Perlu Kajian Tepat

Ekowisata Pulau Tikus Banyuasin Perlu Kajian Tepat

 

Palembang, Gatra.com – Terobosan kabupaten Banyuasin di Sumatera Selatan (Sumsel) guna mewujudkan ekowisata di Pulau Tikus, Pulau Payung dan sekitarnya (Pulau belum ada nama) perlu kajian yang tepat.

Ceo Yayasan Kelompok Aliansi Rimbawan Solidaritas Terpadu (KARST), La Ode Muhammad Rabiali berpendapat perwujudan ekowisata di Pulau Tikus dan sekitarnya sangat penting guna menjaga eksistensi dan sustainability (keberlanjutan) ekosistem magrove melalui kegiatan ekowisatanya. Perencanaan ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem mangrove terbesar di wilayah Indonesia barat ini harus berdasarkan perencanaan yang ilmiah (scientist planning) sehingga menghasilkan konsep yang tidak hanya terjerumus pada promosi wisata.

“Kita ingin ekowisata ini, tidak seperti kata pepatah, indah kabar daripada rupa, yang kecendrungannya hanya berfokus pada aspek kreatifitas desain grafis, fotografi dan sinematografi, namun menjaga ekosistemnya secara berkelanjutan,” ungkapnya kepada Gatra.com belum lama ini.

Sebaiknya, sambung dia, berbagai pihak terutama pemerintah daerah memahami terminologi ekowisata dengan tepat. Ekowisata jangan hanya dianggap sebagai wisata alam di kawasan hutan, di daerah terpencil dan atau daerah yang belum terjamah masyarakat.

Makna ekowisata konvensional tersebut hendaknya diubah dengan memahami wisata dalam tujuh pilar utamanya, yakni pilar ekologi, sosial, budaya, ekonomi, pengalaman, kepuasan, kenangan, sekaligus pilar pendidikan. “Tiga pilar awal ialah paradigma pembangunan berkelanjutan, sedangkan tiga pilar selanjutnya berkaitan dengan kebutuhan dasar wisata dan pilar pendidikan ialah pengejawantahan dari tingginya kebutuhan mendidik semua pihak guna memiliki kesadaran mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara bersama-sama (kolektif) dan serentak,” terang ia.

Karena itu, merujuk pada tujuh pilar tersebut maka jargon ekoeduwisata yang dikembangkan oleh pemerintah daerah hendaknya menegakkan pilar edukasi.

Kata La Ode, pemerintah juga harus memahami konsep ekowisata berbasis pada pendekatan ruang. Aktivitas ekowisata harus diarahkan pada karakter ruangnya (characteristics of the space). Ia mencontohkan beberapa istilah seperti eco-forest tourism, eco-agro tourism, eco-marine tourism, eco-rural tourism, akan membantu steakholder memahami perannya.

“Pendekatan ruang pada konsep ekowisata Pulau Tikus, Payung dan sekitarnya dengan ruang mangrove yang lokusnya berdampingan marga Sungsang (marga tertua di Sumsel) ialah eco-mangrove dan culture tourism. Karena itu, diperlukan studi evaluasi dan potensi ekowisata,” terang La Ode.

Sementara sumber daya wisata memiliki makna ruang apabila memiliki elemen ruang seperti mampu menarik minat wisatawan berkunjung, menampung kegiatan wisata, memberikan kepuasan dan pengalaman serta kenangan dan pendidikan bagi wisatawan.

“Hal tersebut merupakan teori Avenzora. Sementara, sumber daya wisata juga harus mencakup tiga hal, yakni modal dan potensi alam, alam secara fisik, baik fauna, dan flora, lalu modal dan potensi kebudayaan yang diartikan secara luas, yang meliputi adat istiadat dan segala kebiasaan hidup di tengah masyarakat dan ketiga, modal dan potensi manusia yang diartikan bahwa manusia juga dapat menjadi atraksi wisata guna menarik kedatangan wisatawan,” terang dia.

Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah daerah, yakni tahapan kegiatan wisata yang tidak bisa dipisahkan dari setiap perjalanan wisata, seperti tahap perencanaan, tahap perjalanan menuju destinasi, tahap kegiatan di destinasi, tahap perjalanan pulang dari destinasi dan tahap rekoleksi.

Sehingga, sambung La Ode, penilaian suatu konsep wisata menjadi tidak sempurna jika hanya difokuskan pada areal destinasi. Penilaian objek di pulau-pulau tersebut hendaknya tidak hanya dilakukan di tingkat tapak, namun juga semua wilayah yang bersentuhan dan diakses langsung oleh wisatawan yang berkunjung.

“Karena itu, dalam konteks penilaian agar diperoleh nilai yang valid dan objektif, harus dilakukan oleh mereka yang benar-benar ahli di bidangnya, minal tiga orang, yakni ahli ekowisata, ahli sosial budaya dan ahli ekonomi. Jika hasilnya dinyatakan layak, maka perlu penyusunan visi dan misi, yang berisikan tahapan penyusunan rencana induk usaha, penyusunan rencana tapak usaha, penyusunan rancang bangun, dan penyusunan management plan,” terang ia.

Sebaliknya, jika hasil studi evaluasi dan potensi diperoleh belum maksimal, maka diperlukan pengembangan ekowisata dengan kerja ekstra dari semua elemen terutama pemerintah daerah guna memperbaiki dan mendesain seluruh sumber daya wisata secara optimal. “Tentu bukan pekerjaan yang mudah, dibutuhkan komitmen dari semua elemen yang terlibat, termasuk fundingnya,” ujar La Ode.

Sehingga, guna membangun ekowisata di Pulau Tikus, Pulau Payung dan Pulau sekitarnya, pemerintah perlu menginisiasikan perencanaan yang matang dengan pendekatan model integrated planning. Dalam model ini disebutkan lima fase dalam menyusun master plan pengembangan pariwisata alam nasional di kawasan konservasi, yakni fase awal, fase analisa, fase sintesa, fase perencanaan dan fase inplementasi.

 

 

 

600