Home Ekonomi Sagu Bahan Pangan Aternatif Primadona

Sagu Bahan Pangan Aternatif Primadona

Jakarta, Gatra.com - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., MH, mengatakan, sagu merupakan bahan pangan alternatif primadona di sejumlah wilayah di Tanah Air.

"Hasil penelitian di Papua dan beberapa daerah di Sumatera bahwa sagu merupakan pilihan sebagai pangan di samping beras," kata Laksanto di Jakarta, Rabu (18/12).

Menurutnya, sagu tidak harus diimpor karena tanamannya melimpah ruah di beberapa wilayah Indonesia seperti Papua. Pohon sagu tumbuh secara alamiah sehingga Papua merupakan lumbung pangan terbesar Indonesia untuk sagu.

"Dari sisi kesehatan dan gizi, sagu tidak kalah dengan padi. Karbo yang dihasilkan masih lebih baik sagu," katanya.

Menurut Laksanto, soal sagu ini juga disampaikan Ketua LPPM Usahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. Giyatmi, dalam Fokus Group Discussion (FGD) tentang "Kearifan Lolak Masyarakat Adat dalam Menciptaka Ketahanan Pangan" di Universitas Andi Djemma Palopo baru-baru ini.

"Sagu merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi dibanding beras dan jagung. Bahkan, berlipat dibanding sumber karbohidrat lain," ujar Giyatmi.

Selain itu, lanjut Giyatmi, sagu juga memiliki kadar serat tinggi sehingga mengeyangkan lebih lama dan baik untuk pencernaan. Pati sagu memiliki indeks glikemik rendah sehingga baik bagi penderita diabetes.

Giyatmi yang juga merupakan ahli pangan, lebih jauh menyampaikan bahwa peringkat Indonesia di Global Food Security Index kalah jauh dengan Singapura. Singapura berada di urutan pertama. Sementara Indonesia di urutan 65.

"Bagaimana Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam pangan justru bisa mengalahkan Indonesia? Hal ini karena dalam pengertian Ketahanan Pangan (Food Security) tidak dipermasalahkan sumber bahan pangan tersebut, bisa jadi sumber bahan pangan berasal dari impor," katanya.

Menurut Giyatmi, ketentuan di atas berbeda dengan sistem pangan di Indonesia. Sesuai Undang-Undang (UU) Pangan Nomor 18 Tahun 2012, dinyatakan fondasi ketahanan pangan adalah kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.

"Hal itulah yang jadi mandat UU bahwa bangsa Indonesia harus mampu menggali sebesar-besarnya sumber daya lokal untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan nasional," ujarnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma Palopo, Dr. Abdul Rahman Nur, S.H., MII, menyampaikan, Luwu sempat menjadi eksportir sagu ke sejumlah negara sebagaimana catatan Gubernur Celebes tahun 1888, D.F. Van Braam Morris.

Abdul Rahman Nur mengungkapkan, pada waktu itu, pohon sagu tumbuh subur secara alami. Karena melimpahnya pohon sagu, masyarakat Luwu jarang yang menanam padi dan jagung. Banyaknya pohon sagu menjadikan warga tidak perlu susah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup utamanya.

"Di zaman itu telah dilakukan perdagangan atau ekspor sagu. Adapun hasil bumi yang diperdagangkan sagu dengan taksiran sekitar 15.000 pikul, rotan sekitar 10.000 pukul, dan kopi 6.000 pikul. Tempat-tempat perdagangan yang terpenting pada saat itu adalah Suli, Laropong, Bua, Wotu, Burau, dan Palopo," katanya.

Masyarakat adat di Tana Luwu sangat menjaga alam serta ketahanan pangan sesuai kearifan lokal. Mereka menjaga hutan karena ini merupakan titipan atau warisan para pendahulu. Terlebih untuk hutan larangan, masyarakat dilarang untuk mengambil SDA-nya.

337