Home Ekonomi KSPI: Omnibus Law Akan Hancurkan Kesejahteraan Pekerja

KSPI: Omnibus Law Akan Hancurkan Kesejahteraan Pekerja

Jakarta, Gatra.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, meski omnibus law diciptakan untuk meningkatkan investasi dalam negeri. Namun, kenyataannya Undang-undang sapu jagad tersebut berdampak buruk terhadap masyarakat kecil. Efek itu yang mengancam kesejahteraan pekerja, terutama buruh. 

Menurut Said, salah satu dampak buruk yang akan menimpa para buruh ialah hilangnya upah minimum pekerja. Hal itu terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

"Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan juga tidak akan mendapatkan bayaran. Sebab, dia dianggap tidak bekerja. Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," katanya saat dihubungi Gatra.com, Selasa (31/12).

Namun, ia mengkhawatirkan hal ini merupakan siasat pengusaha untuk meraup untung. Pasalnya, sebenarnya sangat mudah untuk mengurangi jam kerja, sehingga pekerja tidak bertugas selama 40 jam. 

Selain itu, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum; berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam.

"Berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Ke depannya akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.

Selain itu, para pekerja juga berpotensi akan kehilangan pesangon, saat mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebab, di dalam omnibus law tidak diatur masalah pesangon seperti yang terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang mengatur tentang besaran pesangon yang akan diterima para pekerja, jika mereka terkena PHK.

"Di omnibus law adanya tunjangan PHK. Itu besarannya cuma enam bulan upah. Kalau di UU Nomor 13 Tahun 2003, itu besarannya sembilan bulan upah dan bisa dikalikan dua untuk PHK tertentu. Selain itu, mereka juga mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal sepuluh bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja," ujar Said.

Ia menuturkan, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih.

Oleh karenanya, dia kemudian meminta kepada masyarakat, agar lebih memperhatikan perkembangan pembentukan omnibus law. Sebab, jika tidak permasalahan yang akan ditimbulkan oleh peraturan baru tersebut, tidak hanya akan mengancam segelintir orang saja.

"Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalahan pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia," tutupnya.

178