Home Gaya Hidup Riset UGM: Guru & Kurikulum Tentukan Sikap Toleransi Siswa

Riset UGM: Guru & Kurikulum Tentukan Sikap Toleransi Siswa

Yogyakarta, Gatra.com - Riset Universitas Gadjah Mada menunjukkan sejumlah isu kontroversial terkait toleransi berkembang di beberapa SMP dan SMA Kota Yogyakarta. Ajaran guru dan longgarnya materi ajar soal toleransi di kurikulum punya peran penting menentukan sikap toleran siswa.

Hal ini terungkap dalam diskusi ‘Bincang Pancasila: Pendidikan dan Demokrasi: Ruang Kelas sebagai Arena Kontestasi Ideologi’. Diskusi ini digelar Pusat Studi Pancasila UGM, Jumat (6/3).

Dosen ilmu politik Mada Sukmajati mengungkap hal itu sebagai temuan awal atas penelitian “Pengajaran Toleransi pada Kurikulum Sekolah Menengah di Yogyakarta” pada 2019

Penelitian yang melibatkan 15 SMP dan SMA di Yogyakarta ini melalui studi dokumen kurikulum tahun 2013, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam ke guru PPKn dan guru agama Islam.

Mada memaparkan, materi ajar soal toleransi dalam kurikulum masih normatif dan umum. Para guru memiliki peran penting dalam pengembangan kurikulum sesuai konteks dan kebutuhan masing-masing.

“Guru memiliki otonomi yang sangat luas dalam menafsirkan materi tentang toleransi, meskipun proses pembuatan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) harus mengacu pada kurikulum 2013, sehingga tidak mengherankan jika persepsi para guru PPKn dan Pendidikan Agama dan Budi Pekerti tentang materi toleransi ternyata berbeda-beda,” ujar Mada.

Penelitian ini kemudian menemukan tiga isu sensitif dan kontroversial soal toleransi yakni pemakaian jilbab sebagai seragam sekolah, boleh tidaknya berjabat tangan dengan lawan jenis, dan boleh tidaknya ucapan selamat hari raya Natal dari siswa muslim ke siswa Kristen.

“Pola kontestasi (isu itu) berlangsung sangat rumit. Kontestasi di tingkatan persepsi toleransi dapat saja berlangsung antar guru di mata pelajaran PPKn, antar guru di mata pelajaran agama dan budi pekerti, maupun antara guru mata pelajaran PPKn dan guru agama dan budi pekerti,” ujar Mada.

Menurutnya, kontestasi terjadi karena kurikulum 2013 membuka ruang yang sangat longgar ke pihak sekolah dan guru untuk menafsirkan konsep toleransi. Kurikulum 2013 juga membuat sekolah sebagai arena kontestasi bagi berbagai persepsi berbeda atas materi toleransi. Guru dan kepala sekolah menentukan wacana tersebut di kalangan siswa.

Faktor kedua, persepsi para guru tentang toleransi sangat menentukan sikap mereka saat mengajar, termasuk saat memberi penilaian ke siswa. Persepsi para guru sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan organisasi keagamaan mereka. Persepsi dan sikap guru terhadap topik toleransi itu sangat mempengaruhi para siswa.

“Hal itu terlihat dari sikap para siswa dalam merespons ketiga isu kontroversial tersebut. Ada sekolah yang memiliki profil siswa yang berjilbab, tidak bersedia berjabat tangan, dan tidak bersedia mengucapkan selamat hari Natal ke guru dan teman beragama Kristen. Namun ada sekolah yang memiliki profil siswa yang berlawanan dengan profil tersebut,” papar Mada.

Kendati demikian, ia menambahkan, profil siswa tidak hanya dipengaruhi oleh para guru, melainkan juga keluarga dan lingkungan pergaulan, termasuk media sosial.

Kepala Bidang Advokasi PSP UGM Diasma Swandaru mengapresiasi pembahasan hasil riset ini dihadiri banyak kaum milenial. “Kaum muda inilah harapan bagi masa depan Indonesia sekaligus jadi masyarakat sipil mempunyai kesadaran publik. Negara akan sehat bila masyarakat sipil hadir membangun kesadaran kepentingan umum,” ujarnya.

Apalagi kata dia, kaum milenial mempunyai minat besar terhadap isu korupsi, penegakan hukum, dan toleransi. “Ini modal sosial yang kuat saat masyarakat sipil terus tumbuh di alam demokrasi,” kata dia dalam rilis yang diterima Gatra.com.

1004