Home Hukum Omnibus Law Jadi Ancaman Perlindungan Gambut

Omnibus Law Jadi Ancaman Perlindungan Gambut

Palembang – Topografi gambut memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membutuhkan perlakukan yang sesuai dengan karakteristiknya sebagai upaya perlindungan. Di Sumatera Selatan, luasan kawasan juga cukup besar, yakni mencapai 1,7 hektar (ha). Dengan luasan itu, pemerintah dan pihak terkait (steakholder) memiliki peran dalam upaya pelestarian dan perlindungan. Kuncinya, dengan penegakkan hukum yang tegas.

Semangat penegakkan hukum yang tegas akan berbenturan dengan peraturan yang tengah digodok di DPR RI, yakni Omnibus Law. Rancangan produk hukum yang sedang dibahas ini dipastikan akan berimbas pada penegakkan hukum yang tegas  kepada perusahaan sebagai pemilik hak konsensi dengan kawasan gambut. Omnibus law memberikan celah bagi perusahaan yang berada di kawasan gambut untuk lepas dari tanggungjawabnya, dengan hanya memberikan sanksi adminitratif.

Pengalamannya tahun lalu, di Sumsel meski sudah terdapat perusahaan yang dinyatakan harus bertanggungjawab atas kebakaran hutan namun penegakkan hukum (eksekusi) tegas dari kementrian sebagai yang memberikan izin juga belum jelas hingga saat ini  Apalagi, ketika  rancangan undang-undang Omnibus Law yang malah memberikan kelonggaran sanksi kepada pelakunya.

Omnibuslaw akan makin melepaskan tanggungjawab perusahaan pada perlindungan kawasan gambut. Pemberian hanya pada saksi adminitratif kepada perusahaan akan semakin membuka ruang ketidakpatuhan melindungi kawasan gambut. Sebagai analogi saja, penerapan UU lingkungan hidup tidak taat dipatuhi apalagi adanya peroduk hukum yang mendukung ketidakpatuhan tersebut.

Penegakkan hukum yang tegas menjadi kunci dari perlindungan gambut terutama di lahan konsensi perusahaan. Rancangan undang-Undang omnibus Law akan berimbas pada perlindungan gambut yang semestinya dilaksanakan dengan lebih tegas.

Di penerapan lainnya, rancangan omnibus law juga mendorong perlindungan yang lemah terhadap lingkungan, seperti kepatuhan izin analisis dampak lingkungan (amdal). Hal ini juga menjadi ancaman bagi perlidungan gambut. Pasalnya, perlindungan gambut haruslah dilaksanakan dengan pemahaman bentang alam (landscape). Memahami bentang alam ini menjadikan perlindungan gambut menjadi lebih komperhensif.

Sebagai contoh, saat pemerintah berupaya memulihkan kondisi gambut rusak di kawasan non konsesi, tentu akan bersingguhan dengan bagaimana kondisi gambut di sekitarnya. Jika di bentang alam gambut rusak tersebut, terdapat izin konsesi maka harusnya pelaksanaan pemulihan dilakukan secara utuh.

Rancangan kebijakan omnibus law yang lebih mengedepankan kemudahan investasi menegaskan pemerintah pusat bisa membatalkan kebijakan hukum seperti halnya tata ruang dan wilayah di daerah. Kebijakan penuh di tangan pemerintah pusat juga mengancam upaya-upaya perlidungan kawasan gambut, demi kepentingan investasi semata. Karena itu, upaya perlindungan gambut terutama di Sumsel hendaknya lebih mengedepankan upaya penegakkan hukum yang lebih tegas, baik dari pemerintah daerah dan pusat.

Padahal, jika merunut upaya perlindungan gambut, lahan konsensi yang berada di kawasan gambut hendaknya ditinjau ulang untuk kemudian dilakukan upaya restorasi oleh pihak perusahaan. Sayangnya, upaya-upaya perlindungan gambut terutama di lahan konsesi perusahaan belum dapat diawasi terutama oleh publik. Solusi lainnya yakni mereview (meninjau ulang) luasan kawasan gambut rusak dengan melakukan langkah-langkah pemulihan.

Kebakaran hutan dan lahan pada tahun lalu mencatat luasan lahan yang lebih tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir, termasuk di Sumsel. Pada 2019, luasan lahan yang terbakar di Sumsel (berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) seluas 336.798 ha. Luasan yang mencapai setengah dari luasan lahan yang terbakar pada tahun 2015 lalu, yakni 646.298,8 ha. Sementara 2016, luasan lahan yang terbakar seluas 8.784,91 ha, pada tahun 2017 sebanyak 3.625,66 ha dan pada tahun 2018 seluas 16.226,60 ha. 

 

Opini ini disampaikan oleh Koordinator Pantau Gambut Sumsel, Hairul Sobri.

392