Home Ekonomi Akademisi: Struktur Belanja Pemerintah Tak Sejalan dengan Ucapan Jokowi

Akademisi: Struktur Belanja Pemerintah Tak Sejalan dengan Ucapan Jokowi

Jakarta, Gatra.com – Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, A. Khoirul Umam, Ph.D, mengatakan bahwa struktur belanja pemerintah pada 2021 kala Covid-19 menimbulkan daya rusak terhadap berbagai sektor, tidak merepresentasikan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis di Forum G20 bahwa akan dilakukan reformasi sektor kesehatan.

Pada komposisi anggaran kesehatan, lanjut Umam dalam diskusi Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini bertajuk “Pandemi dan Kebijakan Pemerintah: Evaluasi 2021” pada Rabu malam (24/11), tetap terpaut jauh dengan anggaran untuk infrastruktur.

“Anggaran infrastruktur 2021 sejumlah Rp441 triliun dan sektor kesehatan hanya Rp169 triliun. Jelas terjadi inkonsistensi komitmen dengan implementasi kebijakan anggaran antarsektor,” ujarnya.

Ketika terjadi lonjakan luar biasa kasus Covid-19 varian Ddelta pada Juli-Agustus 2021 dari hasil riset di 12 kota di seluruh provinsi Pulau Jawa, ditemukan proses kapasitas mendeteksi, persepsi masyarakat terhadap Covid-19 yang berbeda dengan visi yang disampaikan pemerintah.

Menurutnya, terdapat problem serius akibat ketidaksamaan visi atau tidak nyambungnya dalam memandang penanganan wabah antara pemerintah dan masyakat. Hal itu bisa terjadi karena dua hal, yakni lemahnya literasi masyarakat, atau lemahnya komunikasi kebijakan publik pemerintah.

“Sejumlah kebijakan terkesan membuat masyarakat bingung, tidak terjelaskan dengan baik, misalnya hal sederhana: masuk mal boleh, tetapi masuk ke masjid tidak boleh. Hal yang dipandang remeh, tetapi sebenarnya mengandung substansi yang signifikan," ujarnya.

Sikap denial pemerintah sejak merebaknya Covid-19 berimplikasi cukup serius terhadap strategi penanganan wabah, baik dalam bentuk kebijakan dan pergantian rantai komando penanganan Covid-19 yang membuat masyarakat kebingungan karena beberapa kebijakan yang bertentangan satu dan lain hal.

Di tengah keberhasilan meredam gejolak dampak Covid-19 ketimbang kerusuhan yang kini terjadi di Eropa, sejumlah masalah tetap belum terselesaikan. Contohnya adalah masih tidak nyambungnya leadership dengan followership, banyaknya kepala daerah yang cenderung memanipulasi data korban wabah demi prestise agar terbebas dari tekanan politik, masih terjadi di level daerah.

Umam mengatakan, hal itu adalah konteks kebijakan yang tidak didasarkan pada orientasi kebijakan itu sendiri. Tetapi menggunakan paradigma politics base policy atau kebijakan yang lebih menitikberatkan pada kalkulasi kepentingan politik. Sehingga konteks problem solving dan public delivery service kurang nyambung. Hal itu perlu menjadi catatan agar ancaman gelombang ketiga dapat diminimalisir.

“Terjadi hal cukup serius dari kejatuhan sektor UMKM setelah terkena dampak Covid-19. Sektor UMKM yang kebal dari dua kali krisis pada 1998 dan 2008 dan menyumbang 90% tenaga kerja serta 67%-an PDB, terjadi penurunan sisi permintaan secara drastis akibat melemahnya daya beli masyarakat," ungkapnya.

Implikasinya, kata Umam, juga terjadi pada supply chain pasokan barang dan juga sumber modal usaha. Yang bisa disampaikan adalah perlunya transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan kebijakan, terutama terkait konteks dana Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) dan Bansos yang seharusnya tepat sasaran untuk menyelamatkan denyut ekonomi rakyat.

“Perlu juga dilakukan pendampingan masif terkait teknologi digital atau marketing, dan hal-hal teknis lain seperti packaging, kualitas produk, dan yang lain-lain,” kata pria yang juga mendapuk Managing Director Paramadina Public Policy Institute ini.

124