Home Ekonomi Menyesap Teh Memutar Bisnis Gaya Hidup

Menyesap Teh Memutar Bisnis Gaya Hidup

Jejak teh di Indonesia terbentang panjang, sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Dirintis pengusaha Belanda, industri teh dilanjutkan oleh beberapa perusahaan milik negara, juga perusahaan swasta nasional, dan perkebunan rakyat. Orang pribumi dan keturunan Cina juga sukses membangun bisnis pengolahan teh. Masyarakat masih minim mengonsumsi teh, sementara orientasi ekpsor belum bernilai tambah.


GATRAreview.com - Air panas mulai dituang ke setiap cangkir keramik putih yang berisi sejumput teh hitam. Satu persatu cangkir yang berderet rapi itu pun terisi cairan yang mulai menghitam. Didiamkan sesaat, lalu seduhan teh itu dituang ke mangkuk kecil. Kemudian, orang-orang yang berada di aula gedung lantai empat PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) itu bersama-sama mencicipinya.

"Ritual" ini menjadi penanda dimulainya gelaran lelang teh di Jakarta Tea Auction, yang diadakan tiap Rabu di kantor KPBN di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Para peserta lelang tak sekadar menyesap rasa teh yang tersaji, melainkan juga memastikan kembali kualitas teh tersebut. Sehingga saat lelang, yang dimulai tepat pukul 10.15, mereka tambah yakin atas produk yang diincar. Sebelumnya ritual itu para peserta lelang pun menerima katalog dan contoh dari setiap produk yang akan dilelang. Pada Rabu pekan lalu, total teh yang dilelang sekitar 711.960 kilogram, atau setara dengan 12.440 papersack.

Peserta lelang ini adalah perusahaan yang terdaftar sebagai anggota KPBN. Saat ini ada 30 anggota, terdiri dari 21 pemain lokal dan sembilan perusahaan luar negeri. Karena ada anggota dari luar negeri, katalog dan contoh produk yang dikirim kepada para peserta adalah barang yang akan dilelang dua minggu berikutnya. Kurs yang digunakan pun menggunakan sen dolar Amerika Serikat.

Pagi itu, hanya ada 20 perusahaan. Di antaranya Pucuk Mas, Intraco, Unilever, Sariwangi, Van Rees, Agro Pangan, dan Rajawali. Mereka duduk di belakang meja berformat U. Di depan mereka, panitia lelang duduk berderetan. Lazimnya di rumah lelang, seorang panitia membacakan produk yang dilelang, menunjuk harga, dan mengetok palu untuk penawar tertinggi. Dalam satu tahun, omzet lelang ini, rata-rata Rp 1 trilyun.

Jakarta Tea Auction adalah satu-satunya tempat pelelangan teh di Indonesia. Lelang ini merupakan ajang penjualan produk bagi seluruh perusahaaan perkebunan milik negara, dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga XIV serta PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Hajatan lelang KPBN ini berlangsung sejak 1968, yaitu saat KPBN berdiri.

Manajer Pemasaran KPBN, H.G. Parlin Tobing, menjelaskan bahwa perusahaan ini dibentuk dengan pertimbangan agar tidak terjadi persaingan antar-BUMN perkebunan. ''Kalau masing-masing PTPN menjual sendiri-sendiri, harganya bisa suks-suka mereka,'' katanya. Selain menguntungkan dari sisi harga, pelelangan ini juga menarik dari sisi penawaran. Sistemnya one stop shopping. Dengan sistem ini para pembeli tidak perlu mendatangi satu per satu PTPN.

Hanya ada lima balai lelang teh di dunia, termasuk Indonesia. Empat balai lelang yang lain terdapat di Sri Lanka, Kenya, India, dan Bangladesh. Para pembeli, dalam mengajukan penawaran, biasanya mengacu pada harga di balai lelang. Hasil lelang di empat pusat pelelang itu berpengaruh pada Jakarta Tea Auction. Terutama mengenai tren pembeliannya. Jika serapan di empat tempat lelang itu tinggi, di Jakarta juga demikian. Karena itulah pelelangan teh di Jakarta diselenggarakan sehari setelah Sri Lanka Auction dan India Auction. Tujuannya supaya bisa memantau hasil lelang di tempat tersebut,

Produksi yang dijual di KPBN sekitar 60% untuk ekspor dan sisanya untuk kebutuhan lokal. Sebelum 2012, ekspor bisa sebanyak 80%. Makin lama, angka ekspor kian turun, karena kebutuhan dalam negeri memang tinggi. Ini baru terjadi dua-tiga tahun terakhir.

Direktur Operasional KPBN, Iman Bimantara, menjelaskan bahwa yang dilelang di Jakarta Tea Auction adalah teh mutu satu dan mutu dua dari Indonesia, atau yang termasuk main grade. Namun bukan berarti hanya main grade yang diekspor dan yang mutu tiga atau offgrade hanya untuk lokal. Sebab, ada juga negara asing yang butuh offgrade. ''Biasanya digunakan untuk teh instan, ekstrak, pencampur. Termasuk bahan pewarna tekstil,'' kata Iman.

***

Teh di Indonesia dikembangkan sejak keberadaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), pada awal abad 18. Saat itu nilai jual rempah-rempah di pasar Eropa sedang menurun, VOC lantas menerapkan sistem Priangan Stelsel, yang kemudian berkembang menjadi Cultuur Stelsel (1830) atau sistem tanam paksa. Awalnya, hanya kopi yang wajib ditanam, namun meluas ke beberapa komoditas perkebunan termasuk teh.

Dalam buku Dari Bumi Pasundan Menembus Dunia, yang disusun PTPN VIII menyebut nama Willem van der Hucht sebagai orang Belanda pertama yang mengembangkan perkebunan teh dalam skala besar. Dengan kapal "Sara Johanna", pada 25 September 1843, ia berlayar menuju Priangan. Willem tiba di Batavia pada 23 Februari 1844. Kala itu, pada usianya yang ke-31 tahun, ia memang berniat membangun perkebunan teh di tanah Priangan. Ekspansi dilakukannya dengan mengajak sanak familinya dari Belanda.

Tak hanya orang Belanda, para pengusaha pribumi dan pengusaha keturunan Cina juga mulai mengembangkan industri pengolahan teh. Dimulai di kota Slawi, ibu kota Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Dari sinilah lahir beberapa perusahaan teh terkemuka di Indonesia yang hingga sekarang masih bertahan.

Contohnya, pabrik teh Dua Burung yang didirikan Tan See Giam pada 1938. Produknya berlabel Tong Tji, yang diolah dengan cara tradisional. Pencampuran teh menggunakan peralatan tradisional seperti arang, kompor, dan panci.

Dari kota Slawi juga, berdiri Gunung Slamat. Perusahaan itu dibangun Sosrodjojo pada 1940 dengan merek Teh Cap Botol. Botol, bisa jadi berarti sebuah keberuntungan bagi keluarga ini. Sebab, begitu hijrah ke Jakarta, keturunan Sosrodjojo mendirikan PT Sinar Sosro dengan produknya yang terkenal Teh Botol Sosro.

Produk teh dalam kemasan botol ini juga ditemukan secara tak sengaja setelah perusahaan ini mencoba membuat revolusi pemasaran, saat pertama kali beroperasi di Jakarta tahun 1953. Ketika itu perusahaan mencoba memperkenalkan produk Teh Cap Botol dengan melakukan strategi cicip rasa atau product sampling ke beberapa pasar di Jakarta.

Setelah beberapa kali mencoba, dari menyeduh teh di tempat, hingga memasaknya di kantor, akhirnya ditemukanlah cara menjual teh yang dikemas dalam botol. Ternyata, cara ini cukup menarik minat pengunjung. Selain praktis, teh bisa langsung dikonsumsi, tanpa perlu memasaknya. Sejak saat itulah, pada 1969 muncul gagasan untuk menjual teh siap saji dalam kemasan botol, dan pada 1974 didirikanlah PT Sinar Sosro.

Pada 1942, di Slawi juga berdiri perusahaan Teh Gopek. Nama Gopek merupakan akronim dari sebutan untuk pucuk daun teh yang bagus, yaitu golden orange pekoe. Nama Gopek juga berasal dari nama tengah lima pemuda keluarga Kwee, yaitu Kwee Pek Tjoe, Kwee Pek Hoey, Kwee Pek Lioe, Kwee Pek Lo alias Tjokro Hadisusilo, dan Kwee Pek Yauw alias Tedjo Sukmono. Kelak, akibat perselisihan di antara mereka, berdirilah pabrik teh 2 Tang.

Selain Slawi, di Solo juga terdapat perusahaan teh yang berdiri pada 1950. Yaitu, PT Gunung Subur Sejahtera (GSS). Usaha ini dirintis Kusno Wibowo. Pada usahanya, teh Gardoe, merek produk Gunung Subur, mulai digemari masyarakat Karesidenan Surakarta.

Seiring dengan pengembangan kota dan perluasan pemasaran, lokasi industri kemudian dipindah ke area lebih luas di Jaten, Karanganyar pada 1980. Saat itu, usaha beralih ke tangan generasi kedua, Gunawan Wibisono. Kini, tenaga kerja GSS sekira 700 orang. ''Karyawan juga ada yang sampai generasi ketiga, jadi sudah seperti keluarga,'' kata General Manager GSS, Miriam Setyowati.

Hingga kini, PT GSS memiliki sekitar 80 merek teh. Salah satunya Kepala Djenggot. Merek ini lebih sukses berekspansi di daerah Jakarta dan sekitarnya, daripada Gardoe yang lebih disukai di tanah kelahirannya. Selain Solo dan Slawi, daerah yang dikenal memiliki banyak pabrik teh rumahan adalah Pekalongan. Di kota ini lahir beberapa merek teh terkenal, seperti teh cap Sepeda Balap dan teh cap Nyapu.

Di Sumatera juga ada teh Kayu Aro, produksi PTPN VI. Konon teh ini adalah favorit para ratu Belanda. Sejak zaman Ratu Wihelmina, Ratu Juliana, hingga Ratu Beatrix. Tak aneh, karena teh yang dihasilkan dari lereng pegunungan Bukit Barisan di kawasan Gunung Kerinci ini berkualitas super. Beberapa pabrik teh di Jawa banyak yang mengambil teh asal daerah ini.

Industri teh yang potensial ini juga menggoda perusahaan multinasional seperti Unilever untuk memasuki sektor ini. Perusahaan ini memilih memasarkan teh celup pada 1989 dengan mengakuisisi merek Sariwangi. Keputusan bisnis ini dibuat berdasarkan kenyataan bahwa teh merupakan minuman kedua tertinggi setelah air putih yang dikonsumsi dan sudah menjadi tradisi bagi oleh masyarakat Indonesia. ''Banyak manfaat dari teh untuk kesehatan yang sudah dikenal dan dipercaya oleh masyarakat,'' kata Fiona Anjani Foebe, Marketing Manager Beverages PT Unilever Indonesia, kepada Michael Agustinus dari GATRA.

Berdasarkan riset Unilever, tradisi minum teh di Indonesia tumbuh salah satunya dari kebutuhan untuk berkumpul dan menjalin kebersamaan dalam keluarga. Selain itu, Sariwangi juga membuat strategi pemasaran yang sesuai untuk menjawab kebutuhan selera yang berbeda-beda di dalam masyarakat Indonesia.

Sariwangi terus mengembangkan teh berbagai rasa, disesuaikan dengan minat masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. ''Ada Sariwangi teh hitam atau juga biasa disebut teh asli, Sarimurni teh hitam beraroma vanila yang digemari masyarakat Sumatra, Sarimelati teh hijau beraroma daun melati yang disukai masyarakat Jawa, dan varian teh hijau Sariwangi lainnya,'' kata Fiona.

***

Saat ini, negara produsen teh terbesar di dunia adalah Cina (35%). Disusul India (20%), peringkat tiga, Kenya dan Mombasa (8%), kemudian Sri Lanka (7%), dan Vietnam (6%). Sebelum 2005, Indonesia berada di peringkat keempat. Sekarang bergeser ke posisi delapan, dengan jumlah produksi sekitar 3,5% hingga 4% dari total produksi dunia.

Sementara itu, lahan teh di Indonesia hanya 123.000 hektare. Berkurang 30.000 hektare dibandingkan dengan satu dasawarsa silam. Kebanyakan kebun teh telah dikonversi untuk produksi sayur-sayuran. Dari total kebun teh di Indonesia, 75% di antaranya ada di Jawa Barat. Ada 80% kelompok petani rakyat di provinsi ini.

Idealnya, dalam satu hektare kebun teh memiliki 12.000 batang pohon, yang kalau dipelihara dengan baik bisa menghasilkan 3.000 kilogram per hektare per tahun. Faktanya, saat ini hasil per hektare rata-rata dari kebun rakyat hanya 700-800 kilogram per tahun dengan jumlah pohon 6.000-7.000 batang.

Minimnya produktivitas ini disebabkan masalah biaya perawatan. ''Karena rendah produktivitas, uang yang didapat tidak menarik bagi petani. Sehingga banyak yang mengonversi ke sayur mayur,'' kata Ketua Dewan Teh Indonesia, Rachmat Badruddin.

Kini, kebanyakan petani menjual pucuk teh ke pabrik. Harga daun teh Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per kilogram. Dengan harga itu, margin keuntungannya tipis. Karena itu, Dewan Teh ditugasi pemerintah membantu menyelamatkan kelompok perkebunan teh rakyat. Perkebunan teh milik rakyat ada sekitar 44% dari total hasil perkebunan teh di Indonesia. Sementara itu perkebunan BUMN sekitar 31%. Selebihnya dihasilkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 25%.

Dewan Teh pun meluncurkan program Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN) untuk mendorong petani teh melanjutkan usahanya. Dengan dana Rp 50 milyar yang didapat dari Kementerian Pertanian, petani teh diberi bantuan seperti pengadaan bibit dan subsidi pupuk, juga transfer teknologi pengolahan dan teknologi penanaman.

Namun, masalah teh juga disebabkan konsumsi teh di Indonesia masih minim. Ratna Somantri, pendiri komunitas pencinta teh Indonesia menuturkan, saat ini Indonesia berada di peringkat 46 konsumsi teh dunia, dengan konsumsi 210 gram per orang per tahun. Peringkat tersebut masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang tiga kali lipat lebih tinggi dan Inggris 10 kali lipat lebih tinggi. "Saya berharap orang-orang jadi lebih punya apresiasi terhadap teh. Harus seperti kopi yang sudah jadi gaya hidup," katanya kepada GATRA.

Selain itu, menurut Ratna, Indonesia masih terbuai dengan sistem bisnis teh dari zaman penjajahan Belanda. Saat itu, teh kering langsung jual ke Eropa karena pasar teh memang seksi. Cara ini tidak memerlukan strategi pemasaran, karena dengan menanam saja sudah ada pasarnya.

Dan biasanya, yang diekspor adalah jenis teh kualitas terbaik atau kualitas premium. Padahal, seperti Cina, lebih memilih mengekspor teh kualitas biasa. Belum lagi 90% ekspor teh masih berupa daun teh kering yang belum punya nilai tambah. Karenanya diperlukan pengusaha yang mau bermain di hilir untuk mengolah teh kelas premiun. ''Tapi para pengusaha masih wait and see, apakah pasar untuk kelas premiumnya ada. Saya selalu yakinkan kalau pasarnya memang ada," ujar Ratna.