Home Ekonomi Negeri Subur Pengimpor Pangan

Negeri Subur Pengimpor Pangan

"Impor jadi masalah jika membuat Indonesia bergantung dengan pasokan pangan luar negeri."

GATRAreview.com - Indonesia mendapat berbagai sebutan yang menggambarkan betapa kayanya akan sumber daya alam. Ada sebutan Negara Agraris, Negara Maritim, Zamrud Khatulistiwa, dan Megabiodiversitas. Indonesia adalah tanah surga, sehingga band musik Koes Plus menyebutnya sebagai "bukan lautan hanya kolam susu" serta "tongkat dan kayu jadi tanaman."

Tapi tak bisa dipungkiri, Indonesia masih harus mengimpor pangan. Termasuk impor beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Jumlah beras yang diimpor sangat tergantung dari produksi padi di Indonesia. Pada prinsipnya, impor diperlukan ketika stok beras di dalam negeri masuk kondisi tidak aman. Kenyataannya, produksi beras tak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri seratus persen. Jalan termudah adalah beli beras di pasar dunia.

Selain beras, Indonesia pengimpor biji gandum yang jumlahnya terus membengkak. Jumlahnya naik bersamaan dengan bertambahnya jumlah penduduk kalangan menengah. Impor pangan lainnya berupa gula baik untuk rumah tangga maupun industri. Tidak boleh dilupakan pula, Indonesia adalah pengimpor garam meski dua pertiga wilayah Tanah Air berupa lautan.

Indonesia juga mengimpor berbagai bahan makanan lain yang akan diolah kembali. Termasuk minuman olahan yang jumlahnya terus meningkat. Begitulah dalam satu piring makanan atau satu gelas minuman yang tersaji di atas meja, hampir selalu bercampur dengan produk impor.

Pada satu sisi, impor tidak selalu berarti negatif, karena sebagian pangan impor akan diolah kembali menjadi produk makanan untuk ekspor. Akan jadi masalah.muncul jika banyaknya impor membuat Indonesia mengalami ketergantungan terhadap pangan dari luar negeri. Di sisi lain, banyak jenis pangan lokal yang belum dikelola secara optimal.

Gemar Gandum

Gaya hidup masyarakat Indonesia mulai mengurangi makan nasi. Data BPS menunjukkan pada 2010 konsumsi beras per kapita dalam satu pekan sebesar 1,733 kg. Pada tahun 2018 mereka hanya makan beras 1,551 kg seminggu.

Masyarakat khususnya kalangan menengah ke atas mulai mengurangi nasi dan beralih ke roti, kue dan sejenisnya. Mereka tidak seratus persen mengurangi nasi, tapi memperbanyak makan roti, donat, kue kering, dan sebagainya yang menggunakan terigu sebagai bahan baku. Tidak heran jika kebutuhan terigu semakin membesar.

Perlu diingat, biji gandum yang menjadi bahan baku terigu tidak bisa tumbuh dengan baik di Indonesia karena suhunya terlalu panas. Suhu yang cocok untuk tanaman gandum antara 15-25 derajat Celcius plus kelembaban yang tepat. Jika mau ditanam di Indonesia, gandum harus dibudidayakan pada lahan di ketinggian 800 meter di atas laut atau di pegunungan. Karena tidak ada produsen biji gandum di Indonesia, maka 100 persen diimpor.

Kecenderungannya, impor biji gandum terus meningkat dari tahun ke tahun. Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) memperkirakan kebutuhan impor gandum 2019 naik 5% dari realisasi impor pada 2018 sebanyak 10,09 juta ton.

Tepung terigu sudah menjadi adonan kuliner baik makanan kelas kaki lima maupun hotel bintang lima. Percaya atau tidak, informasi dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menyebutkan, selama ini sektor usaha kecil menengah (UKM) menguasai 66% permintaan tepung terigu nasional, sisanya oleh industri besar. Sektor UKM tersebut mayoritas terdiri dari produsen rumahan yang berjualan kue, roti kering, mendoan, bakwan, termasuk untuk melapisi ayam goreng yang mudah ditemukan di pinggir jalan.


Rihad Wiranto