Home Kesehatan Pemerintah Harus Bangun Rumah Sakit Paru di Kalteng

Pemerintah Harus Bangun Rumah Sakit Paru di Kalteng

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah didesak membangun rumah sakit khusus paru-paru untuk korban kebakaran hutan lahan (Karhutla) Kalimantan Tengah. Hal itu dikarenakan kasasi yang diajukan pemerintah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA), sehingga pemerintah harus menjalankan gugatan yang diajukan masyarakat lewat citizen lawsuit, atau melakukan kewajibannya sesuai dengan konstitusi, bukan sebatas ganti rugi material.

Desakan pembangunan rumah sakit khusus itu dipertimbangkan berdasarkan fakta lapangan. Banyak bencana ekologi di mana masyarakat yang menjadi korban seringkali terabaikan haknya, misalnya menanggung sendiri biaya pengobatan.

"Jadi dalam salah satu tuntutan itu adalah para penggugat meminta tanggung jawab pemerintah untuk membangun rumah sakit khusus untuk gangguan paru-paru bagi korban. Seperti yang kita tahu, yang menjadi korban bukan hanya orang dewasa tapi juga banyak anak-anak kecil dan juga balita," kata Direktur Walhi Nasional, Nur Hidayati saat konferensi pers di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Minggu (21/7).

Menurutnya, tututan tersebut sebenarnya sesuatu yang sangat wajar dan seharusnya memang dipenuhi oleh pemerintah. 

Senada dengan Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Kalteng, Dimas Hartono menyatakan, selama ini banyak warga yang mencari sendiri rumah sakit khusus paru-paru hingga keluar Kalteng.

"Sepengetahuan kami, rata-rata (masyarakat) harus ke luar dari daerah Palangkaraya atau harus keluar dari Kalteng untuk mencari fasilitas terkait masalah medis yang lebih baik lagi, terutama paru-paru," jelas Dimas.

Dimas menyampaikan, pembangunan rumah sakit khusus paru-paru mutlak kewajiban pemerintah dan harus segera dilaksanakan. Sebab, kondisi udara dan warga terdampak Kalteng sudah semakin memburuk.

"Kalau jumlah kita gak tahu, tapi yang pasti ketika 2015 yang lalu, seluruh Kalteng itu, khususnya di Palangkaraya, Pulang Pisau, Kapuas, Katingan dan wilayah-wilayah pesisir lainnya di Kalteng, itu berasap warna oranye. Udaranya berwarna oranye," terang Dimas.

Dimas mengatakan, warna udara oranye sudah termasuk tingkatan paling buruk. "Artinya itu adalah partikular yang tersebar di udara itu sangat-sangat parah dan berbahaya. Seharusnya itu dilakukan evakuasi, tapi itu juga tidak dilakukan oleh pemerintah," ucapnya.

Sebelumnya, putusan dengan nomor perkara 3555 K/PDT/2018 diketok pada 16 Juli 2019. Saat itu, ketua majelis diduduki oleh Nurul Elmiyah dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan I Gusti Agung Sumanatha. MA menegaskan vonis sebelumnya yang menyebut bahwa Jokowi dkk melakukan perbuatan melawan hukum sehingga terjadi kebakaran hutan.

Sekelompok masyarakat menggugat negara. Mereka adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty. Pihak yang digugat adalah Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah.

Salah satu pertimbangan hakim menolak permohonan kasasi adalah membenarkan dalil berkaitan dengan penanggulangan bencana dalam suatu negara merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam gugatannya, menurut penggugat, pemerintah belum melakukan hal itu sehingga bencana kebakaran hutan masih berlangsung.

"Dalam pertimbangan hukumnya, sebab penanggulangan bencana dalam suatu negara, termasuk juga di negara Republik Indonesia ini, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara sampai saat ini menurut penggugat bahwa penanggulangan bencana kebakaran hutan itu masih berlangsung dalam putusan judex facti yang dibenarkan oleh majelis hakim kasasi," kata Jubir MA Andi Samsan Ngaro di kantornya, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (19/7).

 

370