Home Ekonomi Kolom : Menjaga Kemandirian Pangan

Kolom : Menjaga Kemandirian Pangan

Kuntoro Boga Andri

 

 

Doktor Bidang Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Dari Kagoshima University, Jepang

 

Peneliti Utama Di Kementerian Pertanian

 

 

 

Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan biodiversitas agraris. Salah satu kekayaan sumber daya alamnya berupa ragam sumber hayati penghasil karbohidrat tinggi. Dibandingkan negara lain, Indonesia mustahil kekurangan bahan pangan. Di segala penjuru, terdapat tanaman pangan lokal yang tumbuh subur. Masyarakat kita sangat bijaksana dan memiliki pengetahuan tinggi dalam memanfaatkan alam untuk menjaga kemandirian pangan.

 

 

Berbicara pangan, berdasarkan catatan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Kementerian Pertanian (Kementan), potensi sumber daya pangan Indonesia cukup berlimpah. Terdapat sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Jika bisa dikelola dengan baik, keanekaragaman pangan lokal yang kita miliki tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi juga memenuhi kebutuhan dunia.

 

 

Sayangnya, oleh sebagian kecil pengamat dan masyarakat, kemandirian pangan dilihat dari kacamata sempit, satu komoditas saja, kecukupan beras. Bahkan untuk polemik kecukupan beras pun dengan mudah dapat dijelaskan bahwa negara kita sudah katagori swasembada. Bencana terparah el nino pada 2015 dan la nina pada 2016 yang melanda Indonesia sekalipun, tidak mempengaruhi swasembada kita.

 

 

Sebagai pembanding “apel to apel” pada kondisi iklim ekstrim yang sama, jumlah penduduk Indonesia pada 1998 sebanyak 201 juta jiwa, dan pada 2015 telah berjumlah 255 juta jiwa. Kondisi iklim 2015 dan 2016 lebih parah dari kondisi 1997 dan 1998. Dengan kalkulasi impor beras di 1998 sebesar 12,1 juta ton, maka ekuivalen/harusnya pemerintah impor beras pada tahun 2016 sebesar 16,8 juta ton. Tetapi berkat Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung dan Kedelai, Indonesia ternyata tidak perlu mendatangkan beras seperti di tahun 1998.

 

 

Sekedar diketahui tahun 2016 tidak ada rekomendasi impor beras konsumsi. Beras yang masuk awal 2016 merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1,5 juta ton pada akhir tahun 2015. Juga pada 2017 tidak ada impor beras konsumsi. Bukti lain bahwa produksi beras naik dan sangat cukup untuk masyarakat dapat dilihat dari gambaran, bahwa jumlah penduduk periode 2014-2018 bertambah 12,8 juta jiwa dan mestinya membutuhkan tambahan beras 1,7 juta ton.

 

 

Kebutuhan tersebut selama ini sudah dapat dipenuhi dari petani kita, dan saat yang sama petani juga masih menyimpan beras sebagai surplus produksi. Bila stok Bulog menjadi ukuran, maka stok beras di gudangnya kini ada 2,34 juta ton beras. Kondisi saat ini stok beras di gudang Bulog menumpuk dan beras impor tahun 2018 belum terpakai.

 

 

Dengan perhitungan baru Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan Kerangka Sampling Area (KSA) pun menyebutkan 2018 produksi beras 32,95 juta ton, konsumsi 29,57 juta ton, sehingga masih terjadi surplus 3,38 juta ton beras dan tidak ada masalah swasembada beras. Untuk prediksi data KSA BPS periode Januari-Agustus 2019, produksi beras nasional mencapai 24,56 juta ton, konsumsi nasional periode tersebut 19,83 juta ton, sehingga masih surplus 4,73 juta ton. Artinya produksi beras kita masih berlebih banyak.

 

 

Potensi Lahan Kering dan Rawa

 

 

Diperkirakaan Indonesia sampai tahun 2045 memerlukan tambahan lahan kurang lebih 14 juta hektar. Luas penambahan lahan tersebut dengan mempertimbangkan pertambahan penduduk 1,3%, alih fungsi lahan rata-rata sekitar 60-90 ribu hektar pertahun, serta asumsi produktivitas sekitar 5,3 ton/hektar.

 

Program ekstensifikasi Kementan melalui program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) terus dilakukan. Selain itu kita memiliki potensi lahan tidur yang luar biasa.

 

Menurut Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kementan, Potensi lahan kering di Indonesia 10 juta hektar, sementara potensi lahan rawa dan lebak sekitar 10 juta hektar. Total keseluruhan ada 20 juta hektar. Lahan rawa sebagian besar berada di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Sementara lahan lahan kering terbanyak di Lampung. Pemerintah menargetkan program pemanfaatan lahan tersebut direalisasikan bertahap tiap tahunnya, agar tetap menjaga kemandirian pangan.

 

 

Pemanfaatan lahan kering dan rawa ini bisa dilakukan melalui pengelolaan sumberdaya air. Pada lahan kering bisa diterapkan “rainwater harvesting technology” melalui pembangunan embung, sumur dangkal dan sumur dalam, dam kecil, dam parit, dan seterusnya. Disamping itu, juga telah banyak dihasilkan Varietas Unggul Baru (VUB) dan Varitas Unggul Adaptif (VUA) padi yang bisa tumbuh dalam cekaman biotik dan abiotik di lingkungan rawa dan lahan kering. Ketersediaan VUB dan VUA tersebut diharapkan meningkatkan produktivitas sekaligus pendapatan petani di lahan yang selama ini dianggap marginal dan tidak tersentuh oleh teknologi.

 

 

Modernisasi dan Regenerasi Petani

 

 

Kementan selama lima tahun terakhir mengakselerasi mekanisasi pertanian yang bermuara pada upaya mewujudkan pertanian modern. Penyediaan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) terus digenjot dalam upaya tingkatkan efisiensi dan efektifitas budidaya pertanian. Kementan mendorong modernisasi pada kegiatan budidaya pertanian secara keseluruhan, meliputi kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, dan pengolahan hasil pertanian.

 

 

Mekanisasi pertanian dipercaya dapat mengatasi persoalan keterbatasan tenaga kerja di sektor pertanian dan juga turut meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan kajian, mekanisasi mampu tingkatkan efisiensi usaha tani 35 – 48 persen. Ke depannya, mekanisasi pertanian akan difokuskan di daerah pinggiran, tidak lagi di daerah Jawa dan sentra produksi. Sebagai bentuk pengawalan, Kementan membentuk Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) sehingga kelembagaan pengelolaan alsintan bisa semakin kuat.

 

 

Selain infrastruktur dan modernisasi pertanian, SDM juga menjadi faktor penting dalam menjaga kemandirian pangan. Kementan menargetkan mencetak 1 juta petani muda (millenial) yang tergabung dalam sekitar 40.000 kelompok tani milenial, meliputi subsektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan.

 

 

Petani milenial ini akan sangat berbeda dengan petani tradisional. Jika petani tradisional identik dengan metode konvensional dan pekerjaan kotor, maka petani milenial telah tanggap teknologi digital dan alsintan, serta fasih mengadopsi teknologi dalam beragam aspek bisnis dari hulu hingga hilir. Dengan karakteristik tersebut, para petani milenial akan mampu membawa pembaruan dalam pembangunan pertanian ke depan.

 

 

Untuk lahirkan para petani milenial, Kementan melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) mencanangkan program Penumbuhan dan Penguatan Petani Milenial seraya menguatkan tiga pilar, yaitu penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.

 

 

Kinerja Sektor Pertanian Memuaskan

 

 

Kinerja sektor pertanian periode 2014-2018 juga sangat memuaskan dan memberikan optimisme. Data BPS merilis, PDB sektor pertanian naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun. Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Peningkatan PDB petanian tahun 2018 dibanding 2017 sebesar 3.7% telah mampu melebihi target pemerintah sebesar 3.5%. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor.

 

 

Dalam periode ini, harga ditingkat petani membaik, sementara harga di konsumen menurun dan cenderung stabil, disparitas harga mengecil, karena margin di pedagang mengecil. Petani menjadi lebih sejahtera dengan fakta angka NTP - NTUP membaik dan tingkat kemiskinan di desa menurun. Ini berkat upaya memperpendek rantai pasok, pasar lelang, e-commerce, Toko Tani Indonesia (TTI), satgas pangan dll. Dari sisi inflasi pangan, pada periode 2014-2017, inflasi pangan turun signifikan sebesar 88,1%, dari 10,57% (tahun 2014) menjadi 1,26% (tahun 2017), dan terendah sepanjang sejarah Indonesia.

 

 

Peningkatan ekspor komoditas pertanian mencapai 10 juta ton. Jika pada 2013 ekspor hanya mencapai 33 juta ton, maka pada 2018 ekspor pertanian mencapai 42 juta ton. Bahkan jika diakumulasikan, total ekspor selama empat tahun ini mencapai Rp 1.764 triliun. Bahkan data yang dirilis BPS tanggal 24 Juni 2019, nilai ekspor pertanian naik 25,19% dibandingkan tahun lalu (year on year) atau senilai US$ 0,32 miliar. Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di bidang pertanian terus meningkat sejak 2013. Realisasi investasi tercatat tumbuh signifikan sebesar 110,2 persen dalam lima tahun, yakni dari Rp29,3 triliun (2013) menjadi Rp 61,6 triliun (2018).

 

 

Semua yang disampaikan diatas, menjelaskan bahwa Indonesia telah mandiri pangan dan kita tetap optimis dapat menjaganya dengan kerja keras dan melanjutkan upaya yang sudah dilakukan.