Home Ekonomi Bagaimana Vietnam dan Thailand Jadi Raksasa Beras

Bagaimana Vietnam dan Thailand Jadi Raksasa Beras

Vietnam dan Thailand sukses membangun sektor pangan yang tangguh. Kebijakan pertanian yang konsisten jadi kunci

 

Tidak mudah bagi sebuah negara untuk membangun kedaulatan pangan. Bahkan seringkali butuh sekian generasi.

Namun, sepanjang ada konsistensi kebijakan dan komitmen kuat pemerintah, itu bukan mustahil. Begitulah setidaknya pengalaman Vietnam, negara tetangga di ASEAN dengan populasi 96 juta jiwa.

Vietnam adalah salah satu produsen terbesar beras dunia, bersaing ketat dengan Thailand, India dan Pakistan.

Menjadi salah satu negara pengekspor beras adalah prestasi tersendiri. Maklum, dari total 195 negara yang ada di planet bumi, yang mampu mengekspor beras dalam jumlah besar bisa dihitung dengan jari. Sementara negara pembeli beras banyak (termasuk Indonesia).

Bahkan, seandainya empat negara eksportir beras itu (India, Thailand, Vietnam, Pakistan) punya niat jahat lalu membentuk kartel beras dan menaikkan harga seenaknya, para negara pembeli beras (termasuk Indonesia) cuma bisa gigit jari.

Pasalnya, total ekspor beras hanya dari empat negara itu sudah mencapai 70% dari total perdagangan beras di seluruh dunia. Di atas kertas, mereka memiliki posisi tawar kuat untuk mendirikan kartel beras dan mengatur harga beras dunia.

 

Empat Negara Terbesar Pengekspor Beras 2018

 

Negara

Juta Ton

Persentase dari total perdagangan beras dunia

India

12,5

30,1

Thailand

10,3

22,7

Vietnam

7

9

Pakistan

4,25

8,2

Total

34,05

70

Sumber: Statista.com

 

Tapi untunglah skenario buruk itu belum pernah terjadi. Karena beras merupakan komoditas strategis, tiap upaya dari negara eksportir untuk melakukan kartel selalu dihambat, bahkan “dikeroyok” ramai-ramai oleh para negara pembeli (termasuk Indonesia).

Kegagalan Thailand yang pernah mengusulkan pembentukan kartel beras dunia pada 2001, lalu dicoba lagi pada 2008 (gagal lagi), hanya salah satu contoh betapa sensitif sekaligus strategisnya komoditas beras.

Tapi di luar soal kartel, bagaimana para negara itu bisa menjadi pemain beras dunia?

 

Vietnam dan Doi Moi

Kesuksesan Vietnam membangun sektor pangan tidak lepas dari Doi Moi, yang dalam bahasa Vietnam berarti reformasi, yang dimulai pada 1986.

Doi Moi adalah program reformasi ekonomi yang bertujuan menggairahkan perekonomian Vietnam yang bersifat sosialis hingga lebih berorientasi pasar, tapi tanpa meninggalkan karakteristik Vietnam sebagai negara komunis.

Di sektor pertanian, reformasi ini mewujud dalam bentuk penghapusan sistem pertanian kolektif, digantikan dengan sistem individu.

Lazimnya negara komunis, kepemilikan tanah di Vietnam memang dimonopoli negara. Warga neagara tidak berhak memiliki tanah. Mereka hanya bisa menyewa tanah dari negara. Ini tidak berarti warga Vietnam tidak bisa memiliki properti. Rumah atau bangunan tetap menjadi milik pribadi. Hanya, tanah tempat rumah itu didirikan tidak bisa menjadi hak milik.

Dulu sebelum Doi Moi diterapkan, pertanian di Vietnam mengikuti pola pertanian kolektif. Sebidang lahan yang ditetapkan negara sebagai lahan pertanian digarap bersama-sama oleh semacam kelompok tani.

Namun penggarapan sawah secara komunal ini tidak efektif meningkatkan produksi. Permasalahannya jelas. Petani kurang termotivasi dalam bekerja karena hasil panen tidak bisa dinikmati secara pribadi, melainkan secara bersama oleh kelompok tani.

Inilah yang diubah lewat Doi Moi. Kontrak komunal dihapus dan digantikan dengan kontrak individual. Petani bisa menyewa lahan secara pribadi dari negara, lalu menggarapnya sendiri.

Peralihan ke kontrak individual ini terbukti efektif memotivasi petani untuk lebih bekerja keras, dan akhirnya sukses meningkatkan produksi pangan.

Dari sebuah negara yang sempat porak-poranda karena perang selama 20 tahun (Perang Vietnam 1955-1975), Vietnam pun akhirnya berhasil membangun sektor pangan mereka hingga jadi pemain beras dunia.

 

Terjaganya lahan pertanian

Harus diakui, sistem komunis memang memudahkan Vietnam mengatasi salah satu masalah klasik yang dihadapi banyak negara dalam membangun sektor pangan. Yaitu perubahan status lahan.

Tidak seperti di negara lain, perubahan status lahan di Vietnam tidak mudah terjadi. Perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh negara.

Ketika pemerintah Vietnam menetapkan status sebuah lahan sebagai lahan pertanian, maka status itu akan terus melekat sampai muncul aturan lain yang mengubah status lahan tersebut.

Kebijakan tata ruang yang sentralistik, ditambah ketiaadaan hak milik atas tanah inilah yang membuat Vietnam mudah mempertahankan lahan pertanian.

Vietnam relatif tidak menghadapi masalah penyusutan lahan pertanian seperti di Indonesia, di mana petani bisa menjual lahan sawah mereka ke pengembang untuk kemudian diubah menjadi area perumahan.

Saat ini, dari total luas daratan Vietnam yang mencapai 33 juta hektar, sebanyak 7 juta hektar ditetapkan sebagai lahan pertanian. Dari 7 juta hektar itu, sebanyak 4,2 juta hektar khusus untuk padi, sedang sisanya untuk berbagai tanaman lain seperti jagung, kedelai, kacang dan kopi.

Namun, meski hanya memiliki 4,2 juta lahan sawah, produktivitas padi di Vietnam termasuk baik, dengan rata-rata hasil panen mencapai 5,4 ton per hektar. Angka itu melampaui produktivitas sawah di Thailand, yang rata-rata hanya menghasilkan 3 ton padi per hektar.

Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam, dengan rata-rata hasil produksi padi sebesar 5,7 ton per hektar.

 

Kebijakan stabilisasi harga beras

Dua faktor lain yang juga menunjang kesuksesan sektor pangan Vietnam adalah harga dan akses kredit bagi petani.

Stabilisasi harga pangan adalah salah satu kebijakan sentral pemerinta Vietnam. Kementerian Keuangan Vietnam juga menjalankan fungsi seperti Bulog di era Oede Baru, yaitu menjadi stabilitator sekaligus penentu harga pembelian.

Sama seperti di Indonesia, hasil panen di Vietnam juga sering dibeli oleh perusahaan negara. Berapa harga padi per kilogram ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Vietnam.

Hanya bedanya, kemampuan BUMN Vietnam untuk menyerap beras petani jauh lebih tangguh dibanding Bulog. Bila Bulog hanya mampu menyerap sebagian beras petani, BUMN Vietnam mampu menyerap keseluruhans beras petani.

Pemerintah Vietenam memang terkenal keras mengontrol bisnis beras. Sebagai misal, syarat bagi sebuah perusahaan untuk bisa menjadi eksportir beras harus

 

a) memiliki gudang penyimpanan dengan kapasitas minimum 5000 ton, dan

b) memiliki fasilitas penggilingan padi dengan kepasitas penggilingan minimum 1 ton padi per jam.

 

Ketentuan itu dimunculan lewat peraturan pemerintah Vietnam nomor 109/2010/ND-CP pada 2010.

Selain itu bila harga beras jatuh, pemerintah Vietnam pun bisa melakukan stabilisasi dengan menaikkan harga pembelian di tingkat petani. Meski konsekuensinya, negara harus mengeluarkan subsidi lebih besar.

Sekadar catatan, kebijakan pengendalian harga di Vietnam tidak hanya berlaku untuk komoditas padi saja, tapi juga untuk berbagai komoditas strategis lain termasuk produk industri.

Susu formula bagi anak misalnya juga tunduk pada rezim harga. Kementerian Perindustrian Vietnam menetapkan harga batas atas bagi produk susu, dan penjualan di atas batas itu adalah pelanggaran pidana yang bisa dikenai sanksi hukum.

Meski, pelonggaran bisa saja dilakukan sewaktu-waktu apabila harga yang ditetapkan dinilai terlalu murah hingga melemahkan perkembangan industri tersebut --karena minimnya profit.

 

Kemudahan kredit bagi petani

Sedang untuk akses kredit bagi petani. Vietnam bisa dibilang sering menjadi contoh dalam hal ini.

Di Indonesia misalnya, petani relatif susah mendapat kredit karena ketatnya persyaratan di bank. Akhirnya banyak petani yang beralih ke tengkulak meski bunga pinjaman mencekik.

Tapi di Vietnam, akses itu dipermudah lewat kehadiran lembaga keuangan khusus bernama Vietnam Bank for Agriculture and Rutal Development (VBARD), populer disebut Agribank.

Agribank yang didirikan pada 1988 ini adalah bank yang berorientasi pada pemberian kredit mikro bagi petani.

Agribank termasuk fenomenal dan sering menjadi contoh bagi kesuksesan bank berorientasi mikro. Sudah banyak pujian dialamatkan pada Agribank, baik dari Bank Dunia maupun FAO.

Juga jangan mengira Agribank termasuk bank kelas gurem. Saat ini dari ratusan BUMN Vietnam, Agribank merupakan BUMn terbesar dengan total aset mencapai US$ 36,34 milyar pada 2018, atau setara Rp 509 trilyun.

Dengan berbagai kebijakan itu, tidak heran bila Vietnam sukses membangun sektor pangan mereka. Meski kepemilikan lahan oleh petani di Vietnam relatif kecil, dengan rata-rata petani menyewa sampai 0,8 hektar sawah dari negara.

 

Pengalaman Thailand

Bila Vietnam dimudahkan oleh kebijakan pemerintah yang bersiat sentralistik, kasus Thailand berbeda.

Thailand bukan negara komunis. Perekonomian mereka bersifat kapitalistik. Thailand bahkan juga ikut mengalami kriris moneter pada 1997 seperti Indonesia.

Meski demikian, pretasi negeri gajah putih ini dalam sektor pangan memang luar biasa. Thailand selalu berada di urutan pertama atau kedua negara pengekspor beras. Apa rahasianya?

Thailand bisa dibilang merupakan negara Asia Tenggara dengan sektor pertanian paling maju. Sekadar contoh, bila di Indonesia beras masih banyak dijual secara tradisional berdasarkan jenisnya, beras di Thailand sudah seperti makanan kemasan.

Beras dijual dalam kemasan khusus dengan brand khusus. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan data Thai Rice Packers Association, terdapat setidaknya 250 merk bereas yang bersaing di Thailand. Sebagian diproduksi oleh perusahaan besar, sebagian lagi oleh usaha kecil (UMKM).

Meski penjualan beras secara tradisional (berdasarkan jenis, tanpa merk) masih ada di Thailand, jumlahnya semakin sedikit. Masih menurut Thai Rice Packers Association, sampai 70% pasar beras di Thailand didominasi oleh beras bermerk, sedang sisa 30% oleh beras tradisional.

Negara dengan populasi sekitar 69 juta jiwa ini juga sangat berlebih dalam soal produksi beras.

Tiap tahunnya Thailand memproduksi antara 25-27 juta ton beras. Padahal tingkat konsumsi beras di Thailand hanya 10 juta ton atau sekitar 50% dari hasil panen. Ini yang membuat Thailand bisa menjadi salah satu pemain beras terbesar di dunia.

 

Pertanian berorientasi ekspor

Thailand bisa dibilang sudah selesai berurusan dengan soal swasembada pangan. Dengan produksi beras yang sampai 100% melebihi tingkat konsumsi domestik, bisa dibilang sektor pertanian padi di Thailand lebih diorientasikan untuk ekspor.

Area pertanian di Thailand terutama terletak di wilayah Thailand Selatan. Meski sektor pertanian sempat terpinggirkan dan para petani mulai beralih ke sektor lain, krisis ekonomi yang melanda Thailand pada 1997 bisa dibilang membawa berkah tersendiri (blessing in disguise).

Karena justru pada momen krisis itulah, ketika sektor keuangan kolaps, sektor pertanian menunjukkan ketangguhannya. Pada 1997, sektor pertanian Thailand justru dibilang memasuki babak baru karena “kelimpahan” para pekerja kantoran yang terkena PHK akibat krisis.

Hanya, Thailand bisa dibilang sukses mempertahankan area pertaniannya sebagian karena faktor sejarah.

Pada perang dunia II, Thailand sempat bersekutu dengan Jepang. Ketika Jepang kalah perang, pasukan sekutu menuntut Thailand untuk membayar “ongkos perang” dalam bentuk beras. Kewajiban membayar biaya perang ini yang membuat pemerintah Thailand terus mempertahankan keberadaan lahan peranian.

Bahkan, pemerintah Thailand juga pernah menerapkan kebijakan larangan ekspor beras. Baru pada 1980, larangan ekspor beras itu dicabut dan Thailand pun mulai menjadikan beras sebagai komoditas ekspor.

 

Hasil panen sebagai agunan dan diversifikasi

Salah satu kebijakan penting Thailand untuk meningkatkan produktivitas beras adalah paddy mortgage program, yang secara sederhana bisa dimaknai menjadikan hasil panen sebagai agunan.

Berdasarkan skemar ini, petani bisa meminjam uang ke bank dengan menjadikan hasil panen mereka sebagai agunan. Ini salah satu program kunci yang membuat petani Thailand relatif mudah mendapatkan likuiditas. Program ini mulai dijalankan Thailand sejak 1983 dan terus bertahan sampai sekarang.

Tapi di luar itu, kesuksesan Thailand menjadikan beras sebagai komoditas unggulan ekspor tidak terlepass dari kebijakan yang pro-pertanian.

Sejak tahun 1990-an, setelah larangan ekspor beras dicabut, pemerintah Thailand berinvestasi besar untuk mengembangkan wilayah Thailand selatan sebagai basis produksi pertanian. Berbagai program seperti pembangunan waduk, sistem irigasi, terus digenjot.

Yang juga patut diapresiasi, pemerintah Thailand gencar mempromosikan diversifikasi produk beras. Ada beras biasa, ada beras khusus.

Thailand adalah produsen utama beras jasmine, yaitu beras bulir panjang yang lazim dikemas dalam satuan 5 kilogram. Saat ini di Indonesia, harga beras Jasmine Thailand berada di kisaran Rp 120.000 per 5 kilogram.

Thailand bisa dibilang mulai memegang monopoli atas peredaran beras Jasmine. Pasalnya, sampai 60% dari perdagangan beras Jasmine di seluruh dunia berasal dari Thailand.

 

Kebijakan harga dan upaya memainkan harga beras dunia

Sama seperti Indonesia dan Vietnam, Thailand juga melakukan stabilisasi harga terhadap produk beras di dalam negeri.

Pada 2011, sebagai bagian dari kampanye politik, perdana menteri Yingluck Shinawatra bahkan pernah mengeluarkan kebijakan untuk membeli beras petani sampai 50% di atas harga pasar.

Ketika itu, petani pun bersorak dan pemerintah Thailand berhasil menyedot sampai 18 juta ton beras petani dan menyimpannya di gudang-gudang.

Belakangan, kebijakan itu terbukti menjadi skandal. Pasalnya pemerintaha Yingluck berniat untuk menimbun beras dan mengurangi peredaran beras dunia. Dengan porsi ekspor Thailand yang mencapai sampai 22%, kelangkaan beras dunia akan menyebabkan harga naik –dan saat itulah baru Thailand akan menjual beras, dengan harga tinggi.

Rencana itu sebagian dipicu oleh India yang pada tahun itu masih menerapkan larangan ekspor beras.

Tapi rencana itu gagal. India secara mendadak melonggarkan kebijakan ekspor beras. Lalu pada 2012, giliran Vietnam yang menjual beras dengan harga murah. Beras yang sudah ditimbun itu terpaksa dihjual dengan harga rugi, sebagian bahkan membusuk karena terlalu lama disimpan.

Belakangan, upaya memainkan harga beras dunia itu justru membuat Thailand merugi sampai US$ 19 milyar atau setara Rp 266 trilyun. Pemerintahan Yingluck pun lalu dikudeta oleh militer pada 2014.

Tapi dari kisah ini, terlihat betapa sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor kunci di Thailand, sekaligus menjadi alat tawar dalam politik. Hampir tidak ada politisi di Thailand yang tidak menawarkan program pro-petani selama kampanye.

Pendekatan Thailand tehadap beras yang lebih berorientasi ekspor mungkin mmang belum bisa dilakukan oleh Indonesia. Namun sepanjang kebijakan pertanian Indonesia bisa konsisten dan produksi beras terus meningkat, bukan tidak mungkin Indonesia mengikuti jejak Thailand.

5355