Home Ekonomi Tantangan Jokowinomics Jilid II

Tantangan Jokowinomics Jilid II

Jakarta, GATRAreview.com - Jika tidak ada aral melintang, akhir Oktober mendatang, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) – Ma’ruf Amin akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Itu artinya 2019 - 2024 akan menjadi masa pemerintahan Jokowi periode kedua. Tantangan perekonomian pada periode kedua ini kemungkinan akan lebih sulit dibanding pada periode pertama. Sebab, nun jauh disana genderang perang dagang antara Amerikas Serikat (AS) dengan China masih bergaung kencang. Iramanya terdengar jauh hingga ke kebun sawit dan karet di Indonesia. Perang dagang membuat harga komoditas anjlok, yang artinya kinerja ekspor Indonesia masih loyo.

 

 

Faktor eksternal lain adalah guncangan geopolitik yang sulit diprediksi. Diperkeruh dengan hawa di Hongkong yang tiba-tiba memanas. “Investasi yang tadinya bernafsu masuk ke negara Asia khususnya Indonesia paska Pemilu, menjadi ikut tertahan gegara guncangan geopolitik tadi,” kata ekonom dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finace), Bhima Yudhistira Adhinegara kepada GATRA Review

 

 

 

Tantangan Jokowinomics Jilid II Lebih Kompleks

 

 

Prediksi resesi yang dikeluarkan beragam lembaga riset ekomoni global, mulai dari Credit Suisse, JP Morgan hingga survey National Association for Business Economics bakal membuat pening kepala para tim ekonomi Jokowi. Hasil riset lembaga-lembaga tadi mengingatkan gejala resesi ekonomi di AS diprediksi akan terus menguat. Bahkan sebanyak 34% ekonom di AS meyakini akan terjadi resesi di AS paling lambat akhir 2021. “Jika benar resesi terjadi artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipatok 5,3% tahun depan bakal sulit tercapai, bisa bertahan di level 5% sudah cukup bagus,” ujar Bhima.

 

 

Menurut Bhima dengan semakin kompleksnya tantangan ekonomi, dibutuhkan racikan kebijakan yang mujarab di era Jokowinomics jilid II ini. Di periode pertama, Presiden Jokowi memang sudah menyiapkan beberapa jurus pamungkas untuk hadapi tantangan ekonomi. Fokus kebijakan akan diarahkan pada empat hal utama. Yakni penguatan SDM, kinerja investasi, daya saing dan pembangunan infrastruktur. Bisa dibilang Jokowi sedang menyiapkan design besar stabilitas jangka pendek (investasi, ekspor) dan orientasi pembangunan jangka menengah-panjang (SDM dan infrastruktur).

 

 

 

Perubahan Tune Kebijakan Ekspor

 

 

Dalam pidato di Sidang Paripurna, 16 Agustus lalu, di Gedung DPR/MPR, Senayan , Jakarta, beberapa kali Jokowi menyebut investasi dan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi yang bisa diharapkan. Ada perubahan tune, dari kebijakan ekspor yang outward looking menjadi kebijakan penguatan ekonomi dalam negeri (inward looking). Ditengah perang dagang kinerja neraca perdagangan memang sulit untuk dijadikan patokan keberhasilan. Hidup matinya ekspor bergantung pada harga komoditas, sementara yang bisa dilakukan saat ini adalah bertahan dari serbuan barang impor.

 

 

Perubahan arah kebijakan Jokowinomics yang berorientasi kedalam, tentunya bertumpu pada revitalisasi kinerja investasi. Pertumbuhan investasi langsung menurut BPS di kuartal II 2019 tercatat mengalami perlambatan menjadi 5,01%. Sebabnya, investasi asing masih melihat investasi di Indonesia belum efiisien dan ketidakpastian regulasi. Sementara investasi domestik, bertumpu pada penugasan BUMN karya yang gencar bangun infrastruktur. “Presiden Jokowi bilang sektor lain seperti manufaktur, dan pertanian masih wait and see mencermati stabilitas makro tahun depan,” ujar Bhima.

 

 

 

Jurus Mempercepat Investasi

 

 

Di kesempatan yang lain, Jokowi sempat marah-marah soal rendahnya kinerja investasi karena masih adanya pungli, regulasi yang menghambat, dan ego sektoral antar lembaga yang menjadi batu sandungan untuk menarik investor. Maklum peringkat Indonesia dalam Indeks Kemudahan Memulai Usaha (EODB) ada diurutan ke-73 dunia. Target masuk 40 besar perlu kerja ekstra.

 

 

Jurus menghadapi perlambatan investasi dengan membuat nomenklatur baru, Kementerian Investasi belum serta merta selesaikan masalah. Sebelumnya BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) sudah setingkat Kementerian, namun tetap saja wewenang investasi sering tersandung perizinan di daerah. Keberadaan sistem perizinan terintegrasi OSS (online single submission) nyatanya belum sinkron dengan beberapa sistem perizinan di daerah, khususnya terkait tata wilayah. Dibawa ketingkat Kementerian pun, jika masih ada daerah yang membandel dan alergi investasi tentunya soal perizinan ini akan jadi masalah yang sifatnya struktural.

 

 

Soal memperkuat konsumsi rumah tangga sebagai motor utama ekonomi juga bukan soal yang enteng. Sebanyak 20% kelas pengeluaran tertinggi alias orang kaya sedang malas untuk belanja ke mal atau membeli barang mewah. Padahal kontribusi orang-orang kaya mencapai 45,4% dari total pengeluaran nasional. Rontoknya harga komoditas dan kurangnya kepercayaan terhadap kebijakan perpajakan membuat pertumbuhan konsumsi cenderung melambat. Tahun 2020 target penerimaan pajak dipasang tinggi naik 13,3% membuat konsumen dan dunia usaha geleng-geleng kepala. “Bagaimana mungkin ditengah ekonomi yang sedang slowdown, dan rasio pajak hanya 11% target pajak bisa naik tinggi sekali,” terang Bhima.

 

 

Tinggalkan Legacy Jokowinomics Jilid I

 

 

Menurut Bhima, harus ada terobosan di era Jokowinomics Jilid II ini. Tak perlu lagi ragu dan galau. Apalagi Presiden Jokowi pernah berkelakar, bahwa dia tak mempunyai beban pada periode ke-II. Maka momentum di termin terakhir ini harus dimanfaatkan Tim Ekonomi Jokowinomics Jilid II untuk meninggalkan legacy atau warisan kebijakan ekonomi Jokowinomics Jilid I. Tujuannya agar menjadi panutan bagi pemerintahan paska 2024. “Selain itu, masih ada waktu untuk mengejar PR yang belum tuntas di periode Jokowinomics Jilid I,” tukas Bhima.

 

Editor : Sujud Dwi Pratisto

1499