Home Ekonomi Senyap di Investasi Blok Migas

Senyap di Investasi Blok Migas

Jakarta, GATRAreview.com - Blok migas yang dilelang pemerintah sepi peminat. Diduga akibat sistem tunggal bagi hasil. Pemerintah bilang, skema gross split justru lebih menarik.


Selat Panjang, Makassar Strait, dan West Kampar adalah nama-nama blok minyak dan gas bumi (migas). Mereka adalah tiga dari 224 blok migas yang ada di Indonesia. Blok, atau distilahkan wilayah kerja (WK) migas, adalah lokasi yang mengandung cadangan migas. Pemerintah mengandeng Pertamina dan perusahaan swasta untuk mengelola blok itu.

Blok Makassar Strait, misalnya dikelola oleh Chevron. Blok Selat Panjang, yang berlokasi di Provinsi Riau, dikelola oleh Petroselat, sebuah perusahaan kontraktor lokal. Sedangkan blok West Kampar (berlokasi di Sumatera Utara), dikelola oleh PT Sumatra Persada Energi.

Ketiganya adalah blok yang masuk dalam daftar lelang blok migas 2019. Alasan lelang beragam. Blok Makassar Sirait, misalnya, akan habis masa kontraknya pada 2020, sementara Chevron yang selama ini mengelola blok ini sudah menyatakan tidak berminat memperpanjang kontrak.

Sedangkan untuk blok Selat Panjang dan West Kampar, kasusnya agak ironis. Kedua blok itu dilelang karena tidak lagi diurus. Pasalnya, kedua kontraktor, Petroselat Ltd. dan PT Sumatra Persada Energi, bangkrut.

Kedua kontraktor itu kebanyakan berutang tapi tidak mampu membayar, sehingga digugat oleh para krediturnya sendiri yang berujung pada penetapan status pailit di pengadilan pada 2016 (Sumatra Persada Energi) dan 2017 lalu (Petroselat).

Dalam bisnis perminyakan, kontraktor semacam itu terkadang diistilahkan sebagai “kontraktor duafa” karena tidak punya dana besar. Maklum, investasi migas memang bersifat capital intensive atau butuh modal kuat dan teknologi tinggi. Kontraktor yang tidak memiliki dua persyaratan utama tersebut, seharusnya sejak awal tidak melibatkan diri di bisnis pengelolaan blok migas.

Namun bukan persoalan kontraktor duafa yang membuat tiga blok itu muncul ke permukaan, tiga blok itu sudah pernah dilelang pada 2018, tapi tidak ada peminat. Jadi lelang tahun ini adalah yang kedua kalinya. Dari tiga blok yang dilelang, baru satu blok yang laku, yaitu blok Selat Panjang. Pemenang lelang Sonoro Energy Ltd., perusahaan minyak asal Kanada. Sedangkan blok Makassar Strait dan West Kampar masih harus bersabar menanti peminat.

Kembang desa tidak laku 

Mengapa blok migas tidak laku? Bila hendak memakai analogi kembang desa, persoalannya memang pada daya tarik. Untuk kembang desa yang cantik seperti blok Rokan, blok Cepu, atau blok Mahakam, pemerintah bahkan tidak perlu susah payah melakukan lelang. Beberapa tahun sebelum kontrak berakhir, para calon pengelola baru sudah akan berebut memasukkan proposal.

Bahkan bila proposal dirasa belum cukup menjamin kemenangan, kekuatan politik ikut masuk. Begitulah bila membaca sejarah perebutan blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil pada 2006 lalu, yang dimenangkan ExxonMobil hanya sehari sebelum Menteri Luar Negeri AS saat itu, Condoleezza Rice, tiba di Jakarta.

Saat ini, makin terlihat kecenderungan pemerintah makin sulit menjual blok migas. Pada 2018 lalu, misalnya, pemerintah melakukan lelang terhadap 36 blok migas. Tapi hanya enam yang laku. Pada 2017, pemerintah melelang 15 blok migas, tapi hanya lima yang laku. Dua tahun sebelumnya bahkan lebih parah. Pada 2016, pemerintah melelang 14 blok migas, tapi tidak ada satu blok pun yang laku. Lalu pada 2015, pemerintah melelang delapan blok migas, juga tak ada peminat.

Bisa dibilang, periode 2015-2016 merupakan periode terburuk dalam sejarah investasi migas di Indonesia. Baru kali itu sampai dua tahun berturut-turut lelang blok migas sepi peminat. Sangat berbeda dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu 2014. Ketika itu, dari 13 blok migas yang ditawarkan, delapan di antaranya langsung sambar investor.

Mengapa bisa terjadi seperti itu? Banyak faktor memang. Namun bila mengacu pada riset Fraser Institute, lembaga riset enegeri asal Kanada, ketidakpastian regulasi jadi salah satu penyebab. Pada November 2018 lalu, Fraser Institute merilis hasil survei mereka yang berjudul "Global Petroleum Survey 2018". Survei itu berusaha mengukut ketertarikan investor untuk melakukan investasi migas di sejumlah negara. Responden surveinya para eksekutif perusahaan dan konsultan profesional industri migas.

Dalam survei itu, Indonesia berada di urutan negara ke-71 (nomor 10 dari bawah, dari 80 negara) sebagai lokasi menarik untuk melakukan investasi migas. Indonesia bahkan kalah jauh dari Malaysia, yang berada di urutan ke-49.

Fraser Institute merilis bahwa iklim regulasi migas di Indonesia yang cenderung berubah-ubah membuat investor gamang melakukan investasi. Pasalnya, investasi migas adalah bisnis jangka panjang, antara 20-30 tahun. Karena itu perlu ada kepastian regulasi selama periode tersebut. Secara spesifik, laporan Fraser Institute juga menyebut soal perubahan skema dari profit sharing contract (PSC) berbasis cost recovery menjadi gross split.

Laporan itu bahkan juga memuat tiga kutipan dari para narasumber mereka tentang iklim investasi migas di Indonesia. Pertama, Indonesia sering mengubah-ubah aturan industri migas di tingkat kementerian dan pusat, hingga menyurutkan niat berinvestasi. Contohnya, kebijakan terbaru yang terkait dengan bonus tanda tangan untuk perpanjangan PSC. Kedua, sistem gross split dirancang buruk dan menyurutkan niat investor. Ketiga, proses regulasi tidak pasti dan bias (Global Petroleum Survey 2018, halaman 44).

Sekadar catatan, meski berada di urutan 10 terbawah, sebenarnya bisa dibilang ini kemajuan. Karena pada survei Fraser Institute 2017 --mereka secara rutin merilis survei ini tiap tahun--;posisi Indonesia lebih buruk lagi, yaitu di urutan ke-92 dari 97 negara, atawa nomor lima terburuk.

Merespons hasil survei, itu, Pemerintah Indonesia melalui Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, membantah anggapan bahwa skema gross split tidak menarik bagi investor migas. Arcandra mengacu pada data lelang blok migas 2015 dan 2016, ketika tidak ada satu pun blok yang laku. Sebaliknya, ketika skema gross split diberlakukan pada awal 2017, lelang blok migas justru laku.

Aturan gross split pertama diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 dan mulai berlaku sejak 16 Januari 2017. “Sekarang saya tanya, 2015 [sebelum ada gross split] berapa [blok migas] yang laku? Tidak ada,” kata Arcandra pada medio November 2018.

Hanya, sejauh ini para pengamat menilai bahwa skema gross split berpengaruh pada rendahnya investasi migas. Fabby Tumiwa, pengamat energi yang juga direktur eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa skema gross split berpengaruh pada rendahnya investasi migas selama ini. "Beberapa lelang dengan gross split memang sudah ada yang laku, tapi sebagian besar blokknya dibeli Pertamina juga. Investor asing ada enggak? Kalau ada, apakah mereka benar-benar bisnis migas atau portofolio saja?" kata Feby kepada Anjasmara Rianto Putro dari GATRA Review.

Terkait dengan dugaan banyak penyimpangan dalam pelaksanaan skema cost recovery, Fabby mengatakan bahwa itu tergantung pengawasan."Asal aturan dan pengawasannya baik, cost recovery dapat dikendalikan," ujarnya. Diungkapkan Feby, di Indonesia lebih banyak blok migas yang eksplorasinya di lepas pantai, sehingga tingkat kerumitan dan risikonya lebih tinggi dibandingkan dengan eksplorasi di darat. "Jadi pemerintah harus lebih fleksibel," tuturnya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Faisal Basri, ekonom dar Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Dalam diskusi online INDEF pada Juli lalu, Faisal menjelaskan bahwa penerapan sistem tunggal gross split justru menghambat investasi migas. Diakui Faisal, tingkat kesulitan blok migas di Indonesia beragam. Karena itu, pemerintah seharusnya membuka alternatif “menu beragam” dengan menyodorkan skema gross split dan cost recovery sekaligus. "Ada baiknya kalau bukan sekadar perubahan dari cost recovery ke gross split, tapi menawarkan menu beragam," kata Faisal.

Cost recovery adalah skema ketika biaya eksplorasi blok migas bisa dibebankan kemudian (di-reimburse) ke negara. Setelah itu baru pemerintah dan kontraktor berbagi keuntungan. Sedangkan dalam gross split, pemerintah tidak menanggung biaya operasi migas. Tidak ada reimburse. Hanya, yang dibagi bukan pendapatan bersih, melainkan pendapatan kotor.

 

Dalam bisnis perminyakan, kontraktor semacam itu terkadang diistilahkan sebagai “kontraktor duafa” karena tidak punya dana besar. Maklum, investasi migas memang bersifat capital intensive atau butuh modal kuat dan teknologi tinggi

 

Arcandra pernah menjelaskan perbedaan cost recovery dan gross split dengan sistem penggarapan sawah. Pemerintah adalah pemilik sawah, sedangkan kontraktor migas adalah penggarap. Dalam sistem cost recovery, biaya benih, pupuk, membikin orang-orangan untuk mengusir burung, dan sebagainya awalnya ditanggung dulu oleh kontraktor. Setelah panen, barulah biaya penggarapan sawah itu dibagi, setelah dikurangi dengan reimburse biaya benih, pupuk, dan biaya membikin orang-orangan. Yang dibagi adalah penghasilan bersih.

Tapi ini kerap mengalami kendala, karena pupuk ada yang mahal dan yang murah. Bila kontraktor membeli pupuk mahal, tapi pemerintah hanya mau mengganti dengan harga pupuk murah, maka akan ada perdebatan yang tiada habisnya. Audit Badan Pemeriksa Keuanga (BPK) tiap tahun terkait dengan cost recovery sering merefleksikan itu. Pada 2016 lalu, anggota BPK Achasanul Qosasi bahkan mengancam akan mempidanakan kontraktor migas karena hobi memanipulasi klaim reimburse.

Biaya-biaya yang tidak boleh diklaim untuk cost recovery seperti tunjangan gaji untuk para eksekutif minyak, biaya sewa rumah para eksekutif, bahkan termasuk biaya entertainment seperti main golf dan pesta-pesta, semua diklaimkan ke negara untuk reimburse. "Pusing saya, kesal juga lama-lama," kata Achasanul ketika itu, ketika ditemui majalah GATRA di kantornya. Menurut Achasanul, klaim tentang cost recovery trennya selalu meningkat tiap tahun. Bahkan, sejak 2014, klaim cost recovery selalu berada di atas Rp3 triliun. Padahal sebelumnya tidak pernah melewati angka Rp1 triliun.

Tapi dalam skema gross split, kontroversi-kontroversi semacam itu tidak terjadi. Sebab tidak ada biaya reimburse. Pemerintah sebagai pemilik sawah tidak menanggung biaya pupuk dan sebagainya. Terserah kontraktor mau beli pupuk apa. Yang jelas, setelah panen, hasil dibagi sesuai dengan kesepakatan. Saat ini, formula pembagian dalam skema gross split adalah 57% untuk negara dan 47% untuk kontraktor [minyak], dan 52% negara serta 48% kontraktor untuk investasi gas.

Memang, perubahan skema gross split tidak bisa dianggap sebagai satu-satunya biang keladi surutnya investasi migas. Pasalnya, ketika skema ini diperkenalkan, lembaga riset dan konsultasi internasional seperti Wood Mackenzie, yang berpusat di Inggris, juga memberikan pujian. Indonesia dinilai berhasil melakukan terobosan baru dalam skema kontrak blok migas yang secara tradisional didominasi oleh sistem cost recovery. Selain itu, menurut pemerintah, sampai akhir 2018 sudah ada 36 blok migas yang beralih menggunakan sistem gross split.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institue, memberikan penilaian yang agak berbeda fentang perubahan skema ini. "Meski untuk jangka pendek gross split ini belum kompetitif dibandingkan dengan cost recovery, diyakini skema baru ini akan lebih memberikan kesempatan bagi industri hulu migas untuk lebih survive dalam jangka panjang," katanya, awal Januari lalu.


Basfin Siregar

1107