Home Ekonomi Mencari Cara Cerdas Kurangi Impor Migas

Mencari Cara Cerdas Kurangi Impor Migas

Tantangan saat ini adalah bagaimana menggenjot energi terbarukan yang bahan bakunya berlimpah di dalam negeri. Pemerintah harus berupaya mencari jalan keluar bagaimana mengerem impor migas.


Jakarta, GATRAreview.com - Gaya hidup rakyat Indonesia terbukti boros energi fosil. Lihat saja, penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil terus meningkat. Pada 2018 terjual 1,1 juta mobil menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sementara 6,3 juta sepeda motor terserap pasar pada tahun lalu sesuai dengan data Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI).

Dampak gaya hidup ini menjalar ke mana-mana. Asap kendaraan meracuni udara Jakarta sehingga menjadikannya sebagai salah satu kota dengan polusi udara paling tinggi di dunia. Imbas lainnya, impor minyak semakin besar, sementara produksi minyak dalam negeri cenderung turun.

Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia saat ini telah mencapai 1,6 juta barel per hari. Padahal, lifting minyak hanya berkisar 800.000 barel per hari (bph). Akibatnya, 50% kebutuhan BBM dan minyak mentah harus diimpor.

Neraca perdagangan Indonesia tekor gara-gara impor minyak dan gas (migas). Defisit migas 2018 mencapai US$12,7 miliar. Sampai kini belum ada tanda-tanda bisa mengerem impor migas. Buktinya, pada Januari-Juni 2019, defisit migas masih tinggi, yakni US$4,8 miliar.

Besarnya impor migas ini membuat Presiden Joko Widodo gundah. Pada sidang kabinet paripurna, Juli lalu, Jokowi menegur Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. “Coba dicermati angka-angka ini dari mana. Kenapa impor jadi sangat tinggi? Migas-nya ini naiknya gede sekali,” kata Jokowi.

Kekhawatiran Jokowi masuk akal, karena impor migas telah menenggelamkan surplus perdagangan non-migas. Total defisit perdagangan migas dan non-migas pada Januari-Juni 2019 sudah mencapai US$1,9 miliar.

Walaupun demikian, ada baiknya kita tidak terkecoh dengan banyaknya impor migas yang seolah-olah pasti negatif. Energi adalah bagian penting dari pembangunan, karena bahan bakar dipakai untuk transportasi atau pembangkit listrik. Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi data Badan Pusat Statistik (BPS) soal defisit neraca perdagangan, bahwa impor migas memang cenderung naik karena ekonomi tumbuh 5%. Di sisi lain, lifting migas tidak sesuai dengan asumsi APBN, sementara permintaan bahan bakar terus meningkat. Maka, peningkatan impor migas tak terelakkan.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengakui, realisasi lifting migas pada semester I 2019 hanya 1,8 juta barel setara minyak per hari (boepd). Rincian lifting tersebut terdiri dari 750.000 bopd untuk minyak dan 1,056 juta boepd untuk gas.

Realisasi itu belum mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Dalam postur APBN, SKK Migas ditargetkan 775.000 bopd untuk lifting minyak dan 1,25 juta boepd untuk lifting gas. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengakui, lifting migas berada dalam posisi menurun 3%. “Kalau kita tidak melakukan apa-apa, penurunan bisa sampai 20%,” kata Dwi Soetjipto dalam Konferensi Pers di Kantor SKK Migas, Jakarta, beberapa saat lalu.

Manfaatkan Kelapa Sawit

Tantangan saat ini adalah bagaimana mencari cara cerdas untuk menyediakan energi non-minyak yang bahan bakunya berlimpah di dalam negeri. Pilihannya jatuh kepada bahan bakar biodiesel yang diolah dari kelapa sawit. Presiden Joko Widodo mengulas rencana pengembangan energi terbarukan dari sawit dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu, di depan anggota dewan. Dalam pidato tahunan tersebut, Jokowi berencana untuk mengembangkan bahan bakar nabati, avtur, dan kendaraan listrik secara besar-besaran.

Jokowi menjelaskan, Indonesia sudah memiliki program pencampuran 20% biodiesel dengan solar (B20). Kini tahap pencampuran sudah mencapai 30% atau B30. Bahan biodiesel pemerintah juga sedang melakukan uji coba B100 yang berarti 100% dari kelapa sawit. “Kita juga ingin produksi avtur berbahan sawit,” kata Presiden.

Apa yang dituturkan Jokowi sebenarnya sudah dilaksanakan jajaran Kementerian ESDM. Uji coba biodiesel B30 berlangsung mulai Juni 2019. Acara ditandai dengan pelepasan 11 kendaraan berbahan bakar B30 yang akan menempuh 50.000 kilometer. Proyek in melibatkan Pertamina, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), dan Gaikindo.

Kementerian Pertanian (Kementan) bahkan sudah mulai uji coba B100 sejak April 2019. Hasilnya, B100 memiliki keunggulan, yakni lebih efisien 40% dibandingkan dengan bahan bakar solar. Satu liter B100 bisa mencapai 13 kilometer untuk roda empat. Sementara itu, solar hanya mampu menempuh 9,4 kilometer.

Hal ini tentu membuka peluang yang lebih luas. Apalagi, bahan baku sawit tentu melimpah di dalam negeri. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil –CPO) telah memecahkan rekor sebanyak 43 juta ton pada 2018. Ketersediaan sawit yang begitu banyak tersebut akan membuat produksi biodiesel lebih efisien.

Produksi biodiesel Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebagai gambaran, pada 2016, perusahaan yang tergabung dalam Aprobi memproduksi 3,7 juta kiloliter. Pada 2018, produksi mencapai 6,2 juta kiloliter. Ekspor pun melonjak dari 428.000 kiloliter pada 2016 menjadi 1,8 juta kiloliter pada 2018. Penjualan biodiesel kuartal 1/2019 makin banyak, yakni mencapai 1,5 juta kiloliter atau naik 50,4% dibandingkan dengan periode yang sama 2018. Data ini menunjukkan prospek bisnis biodiesel cukup memikat. Aprobi juga menjalin kerja sama dengan PLN agar pembangkit bertenaga solar diganti biodiesel.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran energi primer pembangkit listrik didominasi batu bara sebanyak 60,5%, diikuti gas bumi 22,1%, BBM 5%, dan energi terbarukan 12,4%. Saat ini, pembangkit berbahan bakar diesel PLN baru bisa menyerap 600.000 kiloliter biodiesel.

Indonesia sendiri sudah mengekspor biodiesel, dan lumayan laris di Eropa. Buktinya, berdasarkan data BPS, ekspor ke Uni Eropa terus meningkat. Ekspor 2017 ke Eropa mencapai 116.000 ton, lalu meningkat hingga 807.000u ton pada 2018. Fantastis, tumbuh empat kali lipat.

Jalan Berliku Defisit Migas

Toh, apa yang dicita-citakan pemerintah untuk mengembangkan biodiesel tidak akan bisa tercapai dalam jangka pendek. Perlu konsistensi dan kerja keras dari semua pihak yang terlibat dalam industri biodiesel. Tantangan jelas tidak ringan. Belum apa-apa, ekspor biodiesel sudah mendapat ganjalan. Uni Eropa menerapkan tarif bea masuk biodiesel Indonesia sebesar 8%-18 %, yang berlaku mulai 14 Agustus 2019.

Rupanya, lonjakan impor biodiesel dari Indonesia telah mengancam produk serupa buatan negara Uni Eropa. Penetapan tarif bea masuk menjadi cara mudah untuk mengurangi derasnya aliran biodiesel Indonesia ke Benua Biru. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita langsung mengajukan nota protes ke Uni Eropa. Jika mereka bandel, Indonesia sudah siap membalasnya dengan menerapkan bea masuk produk Eropa yang masuk ke Indonesia.

Apa mau dikata, masih panjang perjalanan untuk mengurangi defisit neraca migas. “Mengembangkan biodiesel B30 hingga B100 enggak bisa dalam waktu singkat,” kata Fahmy Radhi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat dihubungi wartawan GATRA Review Erlina Fury Santika pada Senin, 19 Agustus lalu. Tapi ia setuju dengan upaya pemerintah mengembangkan energi baru dan terbarukan.

Solusi lainnya adalah meningkatkan lifting minyak. Syaratnya, cadangan atau resource bisa dieksplorasi dan dieksploitasi dengan baik. Tapi semua butuh investasi tinggi. Rata-rata sumber minyak di Indonesia terdapat di tempat yang susah dijangkau, seperti laut dalam, lepas pantai, atau daerah dengan medan sulit. “Eksplorasi dan eksploitasi membutuhkan teknologi tinggi,” ujar peraih gelar PhD dari University of Newcastle, Australia.

Saat ini, ladang-ladang terminasi sudah dieksploitasi selama 50 tahun, sehingga penurunan produksi tak bisa dihindari. Fahmy memberikan contoh Blok Mahakam. Di sana sudah terjadi penurunan produksi minyak secara signifikan, karena sudah dieksploitasi selama 50 tahun. Bagaimanapun cadangan minyak akan menipis dan habis.

Karena itu, dalam jangka panjang pilihan untuk menggunakan energi baru terbarukan adalah solusi terbaik. Energi listrik bisa dikembangkan untuk mobil dan kompor agar mengurangi penggunaan BBM dalam jumlah besar. Pemerintah sendiri sudah menargetkan penggunaan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025. Tinggal dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.


Rihad Wiranto


Impor Migas Indonesia (Miliar US$)

2014 43,5

2015 24,6

2016 18,7

2017 24,3

2018 29,9

2019 10,9 (Januari-Juni)

 

Ekspor Migas

2014 30

2015 18,6

2016 13,1

2017 15,7

2018 17,2

2019 6,1 (Januari-Juni)

 

Defisit Neraca Perdagangan Migas

2014 -13,4

2015 -6,0

2016 -5,6

2017 -8,6

2018 -12,7

2019 -4,8 (Januari – Juni)

1080