Home Ekonomi Menteri Desa PDTT : Budaya Hospitality-nya Harus Kita Bangun

Menteri Desa PDTT : Budaya Hospitality-nya Harus Kita Bangun

Jakarta, GATRAreview.com - Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) gencar menggulirkan program pengembangan desa wisata. Dari program yang dibiayai dari dana desa ini lahir ribuan desa wisata. Dua di antara desa wisata yang dinilai sukses meningkatkan perekonomian desanya adalah Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, dan Desa Kutuh di Badung, Bali.

Untuk mengetahui sejauh mana kinerja program ini dan tantangan yang diihadapinya, tim GATRA Review, G.A. Guritno, Sujud Dwi Pratisto, dan Ryan Puspa Bangsa, mewawancarai Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo di ruang kerjanya, Kantor Kemendesa PDTT, di Kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 17 Oktober lalu. Berikt petikannya:

Kemendesa PDTT gencar mengulirkan program pengembangan desa wisat. Apa manfaat program tersebut bagi perekonomian desa?
Kemiskinan di desa terjadi karena tidak ada aktivitas ekonomi di desa. Ini terjadi karena desa tidak mempunyai infrastruktur yang cukup untuk aktivitas ekonomi itu bisa dijalankan. Makanya kita bangun infrastruktur gede-gedean selama hampir lima tahun ini. Pembangunannya (infrastruktur) sangat masif dan tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dananya juga sangat besar. Memang, awalnya kita fokus ke agrikultur, karena 82% dari penduduk desa di Indonesia itu hidupnya tergantung agrikultur. Baik dari pertanian, peternakan, maupun perikanan. Tapi kita ada persoalan baru, seiring dengan perkembangan zaman, di sektor agrikultur pasti terjadi mekanisasi [dalam proses produksinya].

Bagaimana dengan warga desa yang tidak lagi bekerja di sektor agrikultur?
Kalau kita mau masukkan mereka ke sektor industri, mungkin perlu waktu. Karena di desa, rata-rata pendidikannya baru tamatan SD dan SMP. Jadi yang paling gampang masuknya adalah sektor pariwisata. Menggerakkan aktivitas ekonomi yang padat karya, paling cepat adalah sektor pariwisata. Makanya kita gerakkan sektor pariwisata.

Kelompok milenial merupakan pangsa pasar terbesar di sektor pariwisata. Bagaimana strategi desa wisata membidik kelompok milenial?
Lifestyle kelompok millenial sekarang ini berubah. Sekarang, dengan adanya fenomena tiket pesawat murah, angkutan murah, hotel-hotel bisa dipesan menggunakan aplikasi, makanya ini program homestay juga kita kaitkan dengan aplikasi.

Kelompok milenial juga suka selfie untuk di-posting di Instagram. Salah satu yang membuat kita menjadi yakin adalah waktu kita coba di Ponggok (Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah). Di sana, desa wisatanya hanya memanfaatkan satu kolam renang yang tidak tadinya laku. Tapi begitu konsepnya diubah menjadi semacam artifisial Bunaken, pendapatan kolam renang yang dikelola oleh badan usaha milik desa (BUMDes) naik dari Rp15 juta per tahun menjadi Rp6,3 miliar per tahun dengan keuntungan bersih Rp3 miliar per tahun. Bahkan dari penghasilan desa wisata, pihak desa bisa memberikan biaya hidup untuk orang tua yang tidak mampu. Mereka juga punya program satu rumah satu sarjana dan program-program lain yang dibiayai oleh pihak desa.

Selain Ponggok, di mana lagi desa wisata yang juga sukses?
Desa Kutuh (di Badung, Bali), misalnya. Desa Kutuh yang tadinya desa miskin sudah bisa mendatangkan empat juta turis setiap tahun. Tahun lalu saya mendapat laporan pendapatannya mencapai Rp59 miliar pertahun dengan keuntungan Rp19 miliar lebih pertahunnya. Bahkan Desa Kutuh mempunyai lembaga simpan pinjam yang asetnya lebih dari Rp127 miliar.

Sekarang ada ribuan desa wisata. Untuk supaya desa ini bisa dikloning, kita ada upaya Bursa Inovasi Desa. Jadi hasil dari inovasi-inovasi ini kita upload di YouTube. Sekarang sudah ada 11.000 film yang bisa di-download dari YouTube. Sehingga desa-desa lain bisa meniru dan mengembangkan sesuai dengan mana yang cocok di desanya masing-masing. Bahkan sekarang sudah banyak desa wisata yang membayar pajaknya lebih besar daripada dana desa yang diterima.

Seperti apa pelatihan SDM di desa wisata?

Anas Priyo
Sebaran Desa Wisata (GATRAreview/Anas Priyo/nhi)

Banyak, selain Bursa Inovasi Desa, ada program desa wisata yang diinisasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Kita juga link-kan dengan mereka (desa). Kita juga bekerja sama dengan 100 universitas, yang setiap tahun mengirim lebih dari 75.000 mahasiswa untuk melakukan KKN (kuliah kerja nyata) tematik antara tiga minggu sampai tiga bulan. Salah satu yang jadi materi KKN-nya juga mengajarkan mengenai bagaimana mengelola desa wisata.

Jadi kita libatkan banyak stakeholder, kemudian dari lembaga-lembaga NGO lain juga. Bahkan dari Pemerintah Australia juga memberikan perhatian. Di samping itu kita juga sekarang ada program pengiriman kepala desa untuk belajar ke luar negeri. Kita kirim ke Cina, kita kirim ke Korea Selatan, ternyata di luar negeri ada BUMDes yang pendapatannya sudah billion US dollars.

Bagaimana dengan bentuk kerja sama pengembangan desa wisata antara Kemendesa dengan Kemenpar?
Banyak, Kemenpar juga ada program pembangunan homestay. Kita link-kan dengan desa-desa wisata kita. Dana desa juga banyak dipakai untuk meng-upgrade rumah masyarakat untuk bisa menjadi homestay. Tapi persoalannya bukan hanya bagaimana membuat homestay, tapi bagaimana memasarkannya. Itu kita link-kan dengan program online-nya Kemenpar. Kita juga ada kerja sama dengaj Lion air, AirAsia, dan beberapa jaringan hotel lokal.

Ada juga kerja sama dengan kementerian lain?
Kami bekerjasama dengan 19 kementerian. Di setiap sektor yang sesuai dengan kementerian lain kami kerja samakan.

Bagaimana kerja sama dengan startup?
Secara spesifik tidak ada, tapi kita ada kerja sama dengan Bukalapak, [kerja sama] dengan Dana. Mereka juga ada program yang membantu promosi dan promosinya bukan hanya iklan. Mereka juga memberikan diskon subsidi untuk turis-turis yang mau datang ke desa-desa wisata, melalui paket-paket mereka.

Apa hambatan terbesar dalam pengembangan desa wisata?
Nomor satu, budaya hospitality-nya itu harus kita bangun dulu. Karena kalau turis datang, melihat pemandangan, tapi kalau masyarakatnya kurang friendly atau jualannya maksa-maksa, turis jadi gerah kan. Makanya itu perlu penyuluhan. Ada yang gampang, ada yang agak sulit, di daerah-daerah tertentu seperti di Sumatera mungkin agak sulit, tapi tetap bisa. Bali juga dulu awal-awalnya sama, tapi sekarang sudah berubah. Jadi ya harus dicoba terus karena setiap daerah karakternya berbeda-beda.

141