Home Ekonomi Alasan Investor Masih Ragu Berinvestasi Jangka Panjang

Alasan Investor Masih Ragu Berinvestasi Jangka Panjang

Jakarta, Gatra.com - Sebagai negara pengekspor batu bara terbesar ke-5 di dunia, Indonesia memiliki demand tinggi dibandingkan negara lain. Bahkan, Jepang dan Vietnam masih bergantung pada suplai batu bara Indonesia. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, meskipun demand tinggi tetapi kondisi harga jual batu bara mengalami penurunan. Menurutnya, hal ini karena posisi pasar cenderung oversupply. Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar. 

Supply-demand dipengaruhi oleh demand juga, misalnya harga batu bara dipengaruhi pasar. Namun, pasar dipengaruhi kebijakan geopolitik [beberapa] negara berpengaruh. Di Indonesia, regulasi yang dimiliki tidak hanya di Kementerian ESDM tetapi juga lintassektoral, karena batu bara banyak sektornya,” ucap Hendra di Graha Bimasena, Jakarta, Rabu (20/11).

Hendra mengatakan, saat ini pemerintah mendorong hilirisasi dan clean core technology. Hal tersebut dinilai mampu membuka peluang investasi dan eksplorasi. Namun, para investor tampaknya masih ragu berinvestasi di Indonesia terutama untuk long term investment atau jangka panjang.

Menurutnya, faktor utama yang memengaruhi yakni regulasi. Hendra mencotohkan peraturan tentang penetapan harga. Meski berdampak langsung bagi pelaku dalam negeri, tetapi investor asing tetap memperhatikan hal tersebut. 

“Nah bicara investasi, itu luas. Satu sektor sendiri mungkin sudah memberikan kebijakan yang menarik. Namun tergantung infrastruktur juga dan man power. Regulatory-nya apakah menjamin investasi jangka panjang, 20-30 tahun. Sentimen terhadap investasi dapat berpengaruh pada long term, itu sangat membantu,” ujar Hendra.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono menambahkan, pemerintah selalu siap membuat regulasi untuk mengatur koordinasi lintassektor hingga ke pemerintah daerah.

“Untuk tambang, masalah itu biasanya dengan kehutanan. Bagaimana solusi pertambangan bisa berjalan. [Selain itu mengenai] kebijakan kehutanan. Kalau kita ingin semua diakomodir, itu tidak mungkin. Hutan menjaga lingkungan, tambang inginnya menggali. Kita mencoba berdialog dan membentuk tim terpadu, dengan daerah juga demikian. Kadang-kadang ada kepentingan, itu masalah. Kalau dilihat dari pendekatan substansi hukum, seharusnya bisa diselesaikan walaupun tidak mengakomodir masing-masing,” ucap Bambang.

133