Home Kebencanaan Asap Karhutla Memperburuk Situasi Pandemi

Asap Karhutla Memperburuk Situasi Pandemi

Palembang, Gatra.com – Badan Meteorlogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau berlangsung Juni ini, dan mengalami puncaknya pada Agustus nanti. Selama empat bulan ke depan pengaruh elnino juga akan terjadi namun berada di bawah katagori moderat.

Data Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari Januari-Juli menyatakan telah terjadi 247 hotspot berdasarkan pemantuan Terra Aqua Lappan dengan terkonfirmasi 80% ialah dua titik api sedangkan berdasarkan pemantuan satelit SNPP terdapat 426 titik api dengan dua titik api terkonfirmasi 80%. Temuan titik api tersebut di antaranya berada di Desa Modong, kecamatan Sungai Rotan Muara Enim dan sudah dipadamkan oleh petugas.

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tahun ini akan berbeda dibandingkan dengan musim kemarau tahun sebelumnya. Ancaman virus corona (cvid 19) menyertai tradisi karhutla  memperburuk kualitas kesehatan. 

Dosen Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Unsri, Prof Dr Tan Malaka, MOH, DRPH, SpOK, HIU menilai kebakaran hutan bukan hanya karena faktor alam, namun juga faktor (ulah) manusia sebagai pemicu terjadinya kerusakan lingkungan tersebut. Kerusakan alam berupa karhutla telah terjadi setiap tahun, sementara wabah yang berkembang di alam berpengaruh kepada kesehatan. 

“Menurut saya, kegiatan itu (Karhutla), apalagi saat wabah (pandemi) akan mengancam kesehatan masyarakat. Kebakaran hutan menghasilkan asap dengan medium udara mempengaruhi proses bernapas, sementara covid 19 juga menyerang organ manusia yang asma. Tentu, menjadi ancaman ganda pada kesehatan kita saat ini,” ungkapnya saat dihubungi Gatra, Jumat (5/6).

Kondisi udara yang buruk membuat masyarakat terutama kelompok rentan, seperti halnya mereka yang berpenyakit asma, paru-paru, brokitis dan lainnya semakin sulit beraktivitas. Menghirup udara berkandungan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar dan waktu yang lama mempengaruhi kemampuan organ pernapasan.

Tan menilai sangat perlu upaya dari pemerintah menjawab ancaman-ancaman kesehatan tersebut. Pengalaman selama ini, misalnya saja saat udara sudah berada pada kualitas udara yang kritis (kandungan karbon di atas 500), belum terdapat solusi nyata akan akar permasalahan yang mengakibatkan kualitas udara menurun tersebut.

“Pemerintah tidak hanya droping uang (anggaran) saja, tapi perlu solusi. Seperti, aspek lingkungan dilaksankaan dengan ahli lingkungan, aspek kesehatan dilakukan dengan memperbaiki fasilitas dan layanan, pemantuan kualitas udara yang lebih kontiyu” ucapnya.

Sementara masyarakat juga perlu melakukan antisipasi dengan upaya menghidari diri agar tidak terpapar, seperti mengkonsep rumah agar terlindung dari asap, menggunakan perlindung saluran pernapasan serta melakukan upaya antisipasi lainnya.

“Pengalaman masa lampau, saat sudah emergency pun atau istilahnya darurat asap, kepala daerah baik Gubernur dan Walikota, atau bupati-bupati yang wilayahnya rentan mengalami karhutla tidak mengambil sikap tegas. Kepala daerah itu harus turun ke lapangan, bermufakat bersama masyarakat,” ungkapnya.

Sumsel sendiri termasuk tujuh dari provinsi yang menjadi perhatian pemerintah pusat atas ancaman karhutlannya. KLKH menilai, Sumsel memiliki kandungan luasan gambut yang besar, sehingga saat terbakar akan memproduksi karbon dalam jumlah besar. Selain itu, asap dari Sumsel juga berpotensi menjadi asap lintas batas.

Berdasarkan kajian karbon yang dilepas saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, kebakaran di lahan mineral 11 mt karbon dioksida (Co2) sedangkan pada lahan gambut melepaskan hingga 171 mt C02 atau 16 kali lebih banyak dari lahan mineral. Dengan kata lain, kebakaran di lahan gambut akan sangat merusak kualitas lingkungan (bumi).

Data lainnya menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan di daerah-daerah langganan, telah melepas karbon dalam jumlah besar ke udara. Data pelepasan carbon (emisi karbon) pada 2009-2011 menyebutkan kabupaten Ogan Ilir melas 106 ribu ton, Banyuasin melepas sekitar 1,807 juta ton, sedangkan Muba melepas 3,7 juta ton dan OKI sebesar 2,3 juta ton.

Simpul Informasi Covid 19 Walhi Sumsel, Doni Arian Nanda menyebutkan karhutla yang terjadi setiap musim kering telah merusak kualitas kesehatan masyarakat terutama organ pernapasannya dan covid 19 akan memperburuk keadaaanya. Pemerintah belum memiliki terobosan yang efektif dalam menangani bencana yang tercermin di beberapa bencana sebelunnya. Konsep new normal yang dilaksankan pemerintah juga seolah teori coba-coba yang lebih berorientasi pada kekhawatiran ekonomi semata.

“Saya menilai mitigasi bencana yang lemah, dan kurangnya tindakan tegas. Misalnya, awal tahun, Sumsel sudah dilanda bencana banjir, lalu turut terpapar covid 19, dan musim kemarau ini akan karhutla. Pengalaman karhutla saja, tindakan tegas terhadap perusak lingkungan, perusahaan masih sangat lemah,” ungkapnya.

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan KLHK, Wakil Menteri KLHK, Alue Dohong mengutarakan gagasan penindakan pelaku karhutla dengan konsep restoratif justice yakni melibatkan pelaku kebakaran dalam pengendalian api. Bagi pelaku-pelaku tertangkap akibat kebakaran ditunggangi dengan kepentingan lainnya maka perlu diajak memadamkan apinya,

“Selain pidana, bagaimana itu pelaku-pelaku juga diajak memadamkan api,” katanya.

Konsep restoratif justice bagi pelaku pembakar yang membakar lahan karena aktivitas membuka lahan perlu didorong pemberdayaan ekonomi guna menjawab kebutuhan pengelolaan lahan miliknya. Melibatkan mereka dalam kegiatan pencegahan dengan mengalihkan usaha mereka lebih ramah terhadap lingkungan juga sangat diperlukan.

“Tahun ini, tantangan pengendalian terutama pencegahan juga semakin besar, selain karena musim kemarau yang juga terdapat elnino, dihadapkan pada potensi penyebaran virus covid 19. Karena itu, tantangan ini perlu adaptasi, pengaturan strategi, dan kreativitas kebijakan dalam pengendalian karhutla,” ujarnya.

Pengalaman karhutla di Indonesia sebelumnya, telah mengakibatkan tutupan lahan hutan semakin menurun. Dalam masa pandemi ini, upaya pengendalian karhutla hendaknya menjalankan protokol pengamanan covid 19.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Ruandha Agung Sugardiman menyatakan terdapat 10 langkah pencegahan sekaligus upaya penanggulangan, seperti memodifikasi cuaca yang dilaksanakan lebih cepat. Pada minggu depan, target pelaksanaan modifikasi cuaca akan berlangsung di Sumsel dan Jambi. “Di Sumsel, monitoring awan dan potensi hujan akan diarahkan pada kawasan pantai timur Sumsel, yang kerap menjadi lokasi lahan yang terbakar,” ungkapnya.

180