Home Hukum Pukat UGM: RUU Cipta Kerja Tumpukkan Kekuasaan pada Jokowi

Pukat UGM: RUU Cipta Kerja Tumpukkan Kekuasaan pada Jokowi

Yogyakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ditujukan untuk kepentingan pemilik modal dengan cara menumpukkan kekuasaan ke tangan presiden. RUU ini juga bukan solusi atas kondisi hiper-regulasi.

Demikian poin yang disampaikan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) dari diskusi Problem Legislasi dan Ancaman Korupsi Kebijakan RUU Cipta Kerja.

Direktur Pukat UGM Oce Madril menyebut RUU Cipta Kerja mengarah pada penumpukan kekuasaan di tangan presiden sebagai pemegang kendali pemerintah pusat. “Kondisi seperti ini mengarah pada pola president heavy, di mana kekuasaan dapat menjadi absolut,” ujar Oce dalam pernyataan tertulis yang diterima Gatra.com, Sabtu (18/7).

Dalam perspektif manajemen kekuasaaan, kata Oce, kekuasaan yang semula tersebar kemudian ditarik ke satu titik kekuasaan, sehingga terjadi penumpukan kekuasaan.

Selain itu, ia menerangkan bahwa banyaknya norma pengaturan lebih lanjut yang diberikan ke pemerintah pusat dapat menjadi pintu masuk bagi kelompok kepentingan tertentu.

“RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan pada pemerintah pusat dengan menarik kewenangan pemerintahan di bawahnya, termasuk pemerintah paerah. Hal ini menjadi alarm negatif bagi dinamika desentralisasi sekaligus ancaman demokrasi di Indonesia,” ujarnya.

Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan sentralisasi kekuasaan mengesankan pemerintah pusat hendak mengatur seluruh entitas bisnis. Menurutnya, model pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini mengarah pada negara industri.

“Gaya pembangunan ekonomi dengan penataan regulasi merupakan tabiat negara-negara industri. Pembentukan sebuah UU, termasuk RUU Cipta Kerja, tidak terlepas dari kepentingan pemilik modal yang mengutamakan stabilitas pasar,” tuturnya.

Adapun Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Danang Widiyoko, mengutarakan skor 40 di Indeks Persepsi Korupsi menunjukkan problem Indonesia kini sebenarnya bukan pada layanan bisnis dan investasi.

“Permasalahannya terdapat pada praktik korupsi peradilan dan korupsi politik yang berakar pada demokrasi patronase. Pola seperti ini justru nampak dalam penyusunan RUU Cipta Kerja,” kata dia.

Diskusi gelaran Pukat UGM tersebut juga menunjukkan RUU Cipta Kerja bukan sebuah solusi terhadap penataan regulasi di Indonesia. Sebaliknya, RUU Cipta Kerja yang menggunakan teknik penyusunan omnibus law justru menghasilkan berbagai problem legislasi baru.

RUU Cipta Kerja hadir dengan cita-cita untuk kepentingan investasi dan penyederhanaan regulasi. Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan Indonesia mengalami hyper-regulation.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Gita Putri Dayamana, menyebut kondisi hiper-regulasi karena tidak ada perencanaan dan penyusunan regulasi secara koheren. Alhasil jumlah regulasi tidak terkontrol. RUU Cipta Kerja tidak dapat menjadi solusi atas problem itu.

“Persoalan regulasi terjadi di bagian atas atau hulu, sedangkan RUU Cipta Kerja membahas persoalan-persoalan yang terjadi di setiap sektor atau hilir. Untuk itulah, solusinya adalah perlu dibentuk lembaga yang mampu menyisir materi muatan dan sinkronisasi regulasi-regulasi di Indonesia,” tutur dia.

 

 

283