Home Politik Jejaring Pembantu Kepulangan Joker

Jejaring Pembantu Kepulangan Joker

Kasus Djoko Tjandra terus menggelinding dan banyak menyeret oknum di berbagai institusi. Diduga ada aktor intelektual yang punya pengaruh dan mampu mengatur lintas lembaga. Mungkinkah terungkap?


Selasa pagi pekan lalu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Listyo Sigit Prabowo, dibuat rongseng. Semua karena soal surat jalan buronan Djoko Tjandra yang bocor ke publik dan menjadi perbincangan sehari sebelumnya.

Sigit langsung memanggil Kepala Divisi Provesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Irjen Ignatius Sigit Widiatmono, ke ruangnya. Di depan Ignatius, Kabareskrim yang baru menjabat Desember tahun lalu ini pun marah besar atas kelakuan anak buahnya.

Ia meminta Ignatius langsung mengecek dan menangani persoalan tersebut. Menurut sumber Gatra, seharian Ignatius pun “ditahan” di ruangan Listyo Sigit. Ia perintahkan Kadiv Propam untuk mengusut semua oknum yang terlibat. "Proses semuanya! Enggak peduli teman enggak peduli apa!" sumber Gatra menirukan ucapan Listyo Sigit yang penuh emosi.

Listyo Sigit belum berkomentar saat dikonfirmasi soal cerita ini. Namun kata sumber Gatra, ia benar-benar kesal ketika itu dengan kelakuan Brigadir Jenderal (Brigjen) Pasetijo Utomo, yang juga rekan seangkatannya, di Akademi Kepolisian (Akpol) 1991. Prasetijo dianggap sudah mencoreng dan tidak bisa menjaga nama baik namanya sesama angkatan.

Dan akibat kasus tersebut, kini sudah ada tiga jenderal di kepolisian yang dicopot jabatannya oleh Kapolri Jenderal Idham Azis. Semua karena telah melanggar etik. Nama pertama yang dicopot adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo.

Ia terbukti menandatangani surat jalan untuk Djoko melintas dari Jakarta ke Pontianak Juni lalu. Kemudian, ia pun membantu Djoko Tjandra untuk membuat surat keterangan bebas Covid-19 sehingga bebas berpergian. Diketahui, Prasetijo telah membantu dengan mendampingi dan memanggil dokter dari Pusdokkes Polri untuk memeriksa orang yang mengaku sebagai Djoko Tjandra.

Bahkan Prasetijo juga yang mengawal pria yang akrab dipanggil Joker ini terbang dari Bandara Udara Internasional Halim Perdana Kusuma menuju Kalimantan dengan pesawat carteran yang diduga milik pengusaha Indonesia kolega Djoko.

Kemudian, Kapolri juga sudah mencopot dua perwira tinggi lain yang terlibat dalam sengkarut penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra. Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional, Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia‎, Brigjen Nugroho SlamWibowo.

***

Kasus ini geger lantaran Djoko Tjandra, terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan buron bisa melenggang bebas keluar masuk perbatasan Indonesia.

Sebelumnya, pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.

Kemudian, pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus ini ke Mahkamah Agung (MA). Pada 11 Juni 2009, MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joker dengan 2 tahun penjara dan harus membayar denda sebesar Rp15 juta. Lalu, uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp546,166 miliar dirampas untuk negara.

Namun, sehari sebelum MA keluarkan putusan, Djoko Tjandra keburu kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009. Sejak itu, Kejaksaan langsung menetapkan Djoko sebagai buronan. Belakangan, Djoko diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan, tidak hanya itu, ia juga membuat KTP elektronik dan paspor baru.

Menurut Listyo Sigit, soal kemungkinan ada keterlibatan perwira lainya itu bisa terjadi. "Ya bisa saja, penyidikan sedang berjalan," katanya kepada Gatra. Bahkan soal adanya aktor intelektual di luar institusi Polri yang mengatur semua terkait permainan Joker, ia tak membantah. “Nanti pada waktunya kita release,” ucapnya.

Sejauh ini, hasil interogasi Divisi Propam Polri akan menjadi dasar proses pidana terhadap Brigjen Prasetijo. Ia diduga melanggar Pasal 221 dan Pasal 263 KUHP sedangkan untuk aliran dana sedang penyidik dalami lebih jauh.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, Prasetijo Utomo akan segera disidang etik. "Waprop itu biro pengawasan dan pembinaan profesi nanti yang akan merencanakan kapan. Tentunya semuanya akan menggunakan asas praduga tak bersalah dan kemudian juga tetap melihat daripada pemberkasan yang dibuat penyidik (Propam)," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, kepada Erlina Fury Santika dari Gatra, Selasa lalu.

Argo menjelaskan, sanksi yang dikenakan ke Prasetijo bertahap. Artinya, saat ini yang bersangkutan akan menjalani sidang etik terlebih dahulu. Sejurus itu, sanksi pidana juga dipersiapkan. Sejauh ini, penyidik dari tim yang dibentuk Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit Prabowo sudah mengantongi keterangan dari enam saksi. Pemeriksaan itu dilakukan pada Senin lalu dan sudah naik tahap penyidikan.

Indonesia Police Watch (IPW) melihat adanya persekokongkolan di internal kepolisian untuk melindungi Djoko Tjandra. Menurut Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane, ketiga jenderal yang terseret tersebut tak mungkin bergerak sendiri atas inisiatif masing-masing.

Neta menduga ada tokoh yang bermain menggerakan persekongkolan itu. “Nah, siapa yang memerintahkan ini kan harus diusut," kata Neta saat ditemui Dwi Reka Barokah dari Gatra di Kompleks IKIP Rawamangun, Jakarta, Senin lalu.

Menurut Neta, jika hendak serius menangani kasus Joker ini , IPW menilai setidaknya ada tiga persoalan yang harus diungkap. Pertama, sosok di balik persekongkolan di internal polisi dan lintas institusi yang melindungi Djoko Tjandra. Kedua, gratifikasi yang diterima setiap oknum.

Ketiga, membuka semua CCTV yang kemungkinan menjadi tempat persekongkolan itu beraksi. "Setidaknya, yang saat ini harus segera diungkap, yaitu CCTV di Bareskrim, PN Jakarta Selatan, dan Kelurahan Grogol Selatan dan lainnya,” ucapnya.

***

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyebut kasus Djoko Tjandra adalah kejahatan yang sempurna dan panjang. "Kalau bicara rekor, ini yang pertama seperti ini. Buronan yang lain belum ada yang seperti ini. Semua lini bahkan Imigrasi juga terlibat," ucap Boy kepada Gatra, Senin lalu.

Gong awalnya adalah, Boyamin melanjutkan, bermula dihapusnya status red notice kemudian dicabutnya status cekal atau cegah tangkalnya Djoko Tjandra. “Joker ini ingin sempurna dan berhasil menyeret banyak orang,” katanya. Kasus ini adalah persengkongkolan berjamaah yang banyak melibatkan oknum dari pelbagai institusi.

Dari oknum pengacara, polisi, kejaksaan, pengadilan, imigrasi, hingga lurah dan lainnya bisa kena. "Dan masing-masing oknum punya sumbangan yang tak terpisah. Satu rangkaian semua," ia memaparkan.

Namun, oknum-oknum yang terungkap saat ini masih bisa dibilang “ular kecil”. Boyamin menuturkan ada “naga” yang berada di luar institusi atau lembaga yang mampu meremote dari luar dalam mengatur kasus ini. Ia menduga, ada dua orang yang bermain sebagai aktor intelektualnya.

“Pertama adalah orang yang berpengalaman. Entah dirinya pernah kena kasus besar atau pernah menangani kasus besar. Kedua berpengalaman di dunia bawah tanah seperti ini. Yang biasa meloloskan orang, ini seperti infiltrasi ke sebuah negara. Tanpa terdeteksi tanpa diketahui. Ini kan sama saja operasi intelijen tingkat tinggi. Dan gabungan dengan, kontraintelijen sekaligus,” ia mengungkapkan.

Beberapa pihak yang terlibat di luar institusi negara, seperti sosok pengacara Joker, Anita Kolopaking, bagi Boyamin adalah hanya sebagai wayang saja. “Dia (Anita) hanya menjalankan instruksi,” tuturnya.

Sayangnya, ketika wartawan Gatra M. Guruh Nuary mencoba menghubungi Anita Kolopaking selaku pengacara Djoko Tjandra, melalui pesan WhatsApp ataupun telepon belum direspons. Gatra juga mencoba menemui di kantornya namun kosong. Surat permohonan wawancara juga belum ditanggapi.

Sementara itu, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menegaskan bahwa kasus ini sangat memalukan dan merusak citra Polri. Karena itu, ia beharap harus ada sanksi yang tegas bagi anggota yang terlibat. "Selain dicopot, kami berharap yang bersangkutan diperiksa pidana dengan dugaan melindungi buronan koruptor. Ini adalah bentuk obstruction of justice, menghalang-halangi penegakan hukum, yang ironisnya mereka adalah penegak hukum," katanya kepada wartawan Gatra Ryan Puspa Bangsa.

Namun yang terpenting adalah bagaimana Polri dapat segera menangkap Djoko Tjandra di mana pun ia berada. Agar semuanya bisa terang benderang.

***

Sedangkan menurut Ketua Komisi Kejaksaan RI, Barita Simanjuntak, terseretnya oknum kejaksaan dalam kasus Joker ini sudah membuat jaksa agung muda pengawasan turun langsung melakukan pemeriksaan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Anang Supriatna. Semua terkait dengan dugaan tentang pertemuanya dengan kuasa hukum Joker, Anita Kolopaking.

Menurut Barita, sejauh ini pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan. “Dan sesudah kita menerima hasilnya itu kemudian tentu kita akan tindaklanjuti. Kalau masih ada yang kurang, tentu kita akan membuat rekomendasi berkaitan dengan itu,” ucapnya kepada Gatra.

Ia menjelaskan, tugas Komisi Kejaksaan sementara ini adalah memastikan proses penanganan kasus tersebut, termasuk pada pemeriksaan pejabat-pejabat yang diduga terlibat dan bertanggung jawab, harus sudah dilakukan dalam rangka menjaga kepercayaan publik kepada institusi kejaksaan. "Kita harus pastikan itu berjalan," ia menerangkan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, mengakui pihaknya telah melakukan klarifikasi terhadap Kajari Jaksel, Anang Supriatna. Namun sayangnya, ia enggan membeberkan hasil pemeriksaan tersebut.

Yang pasti, menurut Hari, pihaknya sudah berbenah dan mengikuti reformasi birokrasi. Sehingga untuk bertemu pejabat di kejaksaan ada mekanismenya sendiri. “Tidak semuanya bisa langsung bertemu. Kenapa pejabat kami menerima pengacara yang berkepentingan dalam hal ini terkadang seseorang yang sudah kita kenal kemudian kita izinkan bertemu ternyata kawan ini membawa kawannya," ia menjelaskan kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.

Hari menegaskan, pihaknya sudah berusaha mencari dan menangkap kembali Djoko Tjandra. Namun, pihaknya tidak bisa menyampaikan strategi yang dilakukan “Kalau saya sampaikan ke mana-mana nanti malah menyebar dan enggak bisa ketangkap. Dalam rangka mencari dan menangkap yang namanya sudah ramai ini tentu kami punya strategi,” ia menambahkan.

Ia menilai, mencari terpidana, terdakwa, atau tersangka itu enggak segampang mencari sesuatu yang kelihatan nyata. “Jangankan di Indonesia, apalagi kalau sudah bisa ke luar negeri. Karena itu, kalau sudah tahu dan enggak bisa menangkap baru disebut bobol," ia mengungkapkan.

Gandhi Achmad dan M.S. Widodo