Home Hukum Dua dari 9 Tindak Pidana di RUU PKS Bakal Masuk RUU KUHP

Dua dari 9 Tindak Pidana di RUU PKS Bakal Masuk RUU KUHP

Yogyakarta, Gatra.com - Dua tindak pidana kekerasan seksual di Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) tengah dibahas untuk masuk di RUU KUHP, yakni soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi.

Dengan mengatur tujuh tindak pidana kekerasan seksual lain, RUU PKS diharap tetap menjadi wujud paradigma hukum modern di Indonesia yang berorientasi pada keadilan dan perlindungan korban.

Hal ini diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej yang masuk tim perumus RUU KUHP di diskusi daring ‘Apa Pentingnya RUU PKS sebagai hukum Pidana’ gelaran Fakultas Hukum UGM, Kamis (6/8).

Menurutnya, rencana itu telah dibahas bersama anggota tim RUU KUHP dan anggota DPR. “Supaya tak tumpang tindih, dari sembilan tindak pidana yang diatur di RUU PKS, dua ditarik di RUU KUHP karena berlaku universal, yakni pemerkosaan dan aborsi. Pembahasannya di RUU KUHP jauh lebih luas dan rinci dari sekarang,” kata Eddy, sapaan akrabnya.

RUU PKS sebelumnya mengatur sembilan tindak pidana seksual yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dua tindak pidana masuk RUU KUHP itu termasuk dari upaya mencari titik temu dari aspek sosiologis karena sejumlah daerah mengenal perkawinan paksa.”Sulit bekerja di masyarakat heterogen, multi-religi, multi-etnis. Akomodasinya tidak mudah. Kita cari win-win solution,” ujarnya.

Menurut dia, upaya penghapusan kekerasan seksual jangan akan dibawa ke ranah hukum pidana administratif. “Saya satu juta persen tidak setuju,” kata dia.

Ia menjelaskan, kekerasan seksual termasuk graviora delicta atau kejahatan sangat serius. Hal ini karena lebih dari 90 persen korbannya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan. “Kelompok rentan ini harus dilindungi tapi jadi objek kejahatan,” ujarnya.

Di Indonesia, upaya penghapusan kekerasan seksual mesti dilihat dari dua perspektif, yakni sebagai hukum pidana khusus dan secara sosiologis. Dalam hukum pidana khusus, ia termasuk hukum pidana khusus internal, yakni berupa UU pidana.

Hukum pidana khusus internal ini dikedepankan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan, sanksi pidananya akumulasi, dan bukan administratif, serta tak dapat disubstitusi.

“Tidak masuk akal sehat ketika perbudakan seksual, penyiksaan seksual, kok dianggap hukum administrasi,” ujarnya.

Eddy menyebut, korban kekerasan seksual hampir selalu anak dan perempuan. Selain itu, banyak modus operansi tak tercakup di KUHP dan UU lain. “Dari 3000 kasus kekerasan seksual yang bisa jadi perkara sedikit sekali, tidak ada 10 persen. Ini sangat menyedihkan,” tuturnya.

Tak kalah memprihatinkan, korban seakan menjadi tersangka, mengalami stereotipe gender, bahkan viktimisasi. “Hal-hal ini butuh penanggulangan khusus, komprehensif, bukan hanya penindakan, tapi pencegahan, hingga rehabilitasi. ini jelas hukum pidana khusus,” tuturnya.

RUU PKS menawarkan untuk mengatur sembilan tindak pidana. Namun tim perumus RUU KUHP menarik dua tindak pidana ke RUU KUHP, yakni pemerkosaan dan pemaksaan aborsi.

“Pasal-pasalnya lebih lengkap, misalnya di pemerkosaan, meski dengan persetujuan, tapi kalau usianya di bawah (anak) dianggap pemerkosaan,” katanya.

Adapun tujuh tindak pidana kekerasan seksual akan masuk di RUU PKS. Tindak pidana itu bahkan diatur sebagai delik yang dikualifikasi. “Supaya polisi dan jaksa tidak bingung dalam penegakan hukum. Tidak perlu definisi, tapi langsung masuk unsur pasal,” ujarnya.

Menurutnya, RUU PKS sudah rinci dalam melindungi korban sampai di tahap pemberian kompensasi. “Saya ingn RUU PKS betul-betul jadi paradigma hukum modern yang orientasi keadilan korektif dan restoratif,” katanya.

746