Home Gaya Hidup Rezeki dari Barang Rongsok

Rezeki dari Barang Rongsok

Dari kesukaan mengoleksi barang rongsokan, malah bisa membangun lapak besar hingga memiliki dua cabang. Sebelum pandemi, mal khusus barang bekas ini bisa meraup omzet hingga Rp100 juta. Pelangganya dari kolektor hingga pesohor.  


Spanduk merah menyala, cukup menarik perhatian para pengendara di Jalan Bungur Raya, Kukusan, Depok, Jawa Barat. Spanduk itu terpasang pada sebuah bangunan kayu berlantai tiga, yang berdiri di tikungan jalan, "Mall Rongsok", begitu tertulis di spanduk tersebut. Ya, bangunan ini memang sebuah toko besar, yang menawarkan berbagai macam barang bekas.

Memasuki lantai dasar, pengunjung akan disambut berbagai meja panjang melintang yang diisi aneka perkakas kecil bekas. Barang-barang berukuran besar disusun berdiri tak jauh dari meja itu atau ditaruh di tempat yang lebih luas. Beberapa barang juga diikat di tiang bangunan.

Bahkan, di langit-langit ruangan pun terjuntai barang-barang yang telah dibungkus plastik putih terselimuti debu. Sebagian besar barang itu, yang didominasi barang elektronik, dikelompokkan dengan rak atau pembatas kayu sesuai kategorinya.

Menaiki lantai dua, ruangan tak begitu padat seperti lantai pertama. Sebagian besar ruangan itu diisi dengan furnitur, seperti meja, kursi, kaca, lemari, rak susun, hingga lukisan. Di pinggir dekat tangga, berdiri dapur pemilik bangunan. Adapun lantai tiga sebagian besar diisi properti untuk berjualan, seperti manekin dan stroller atau kereta bayi.

Pemilik Mal Rongsok itu adalah Nurcholis Agi. Ia menceritakan ketertarikannya mengumpulkan barang bekas yang sudah dimulai sejak 1993. Awalnya, Agi sempat membuka kios kecil barang elektronik bekas di depan Polsek Beji, Depok, sekitar 1998. Dari usaha kecil itu, ia pun mendapat ide untuk membuka tempat lebih lapang yang diisi banyak barang bekas. Akhirnya, mimpi itu bisa terwujud, tepat satu dekade lalu.

Agi melihat, barang-barang bekas sebenarnya bisa menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Hal itu bisa ia simpulkan setelah malang melintang mencari uang, mulai jadi pegawai di apotek, buka bengkel motor, mobil, studio musik, hingga warung nasi. "Segala macam sudah saya buka, sampai 28 bidang usaha," ujarnya yang ditemani sang istri saat ditemui Wartawan GATRA, Erlina Fury Santika, Jumat lalu.  

Agi menjelaskan, jenis barang dalam mal miliknya sangat lengkap. Barang yang tidak ada, hanya perlengkapan sandang. Harga yang ditawarkan pun bervariatif, mulai dari Rp1.000 hingga Rp10 juta. Sambil berkelakar, ia mengaku semua barang sebenarnya bisa ditawar, sebab tak ada harga pastinya. "Harga semua di dalam sini," ujarnya sambil menunjuk kepalanya sendiri.

Barang-barang itu didapatkan Agi dari sekolah, kantor, instansi pemerintahan, hingga pemulung. Ia tak perlu repot mencari barang untuk memenuhi stok dagangannya, sebab barang itu datang sendiri dari orang yang berniat menjualnya. Mengenai fungsinya, ia mengaku beberapa barang ada yang masih berfungsi dan ada yang sudah rusak.

Barang-barang yang kurang berfungsi, seperti televisi, amplifier, furnitur, terkadang direparasi oleh pegawainya. Ada 16 pegawai yang bekerja dengan Agi. Namun, pria berusia 53 tahun ini mengaku memilih secara hati-hati barang yang masuk ke malnya.

Pemilihan barang itu dilatarbelakangi kisah pahit Agi berjualan barang bekas sebelum mal ini berdiri. Pada 1997 silam, Agi sempat dituduh menjual barang curian dari penadah. Ia tentu saja tak menyadari dan mengetahuinya, sebab barang berupa onderdil motor itu dijual dari tangan ke tangan.

Setelah diusut, barang curian itu merupakan barang bukti dari kepolisian yang dijual ke seorang tentara. Dari situ dijual lagi, dibawa ke tokonya dan ada yang membelinya. Namun barang itu tak memiliki surat resmi seperti STNK atau BPKB.

"Setelah di-tracking polisi, saya kena. Giliran tentara sama polisinya, enggak berani ditangkap, tapi kita [Agi dan temannya] sudah masuk sel lima hari di polsek. Makanya, semua barang yang masuk ke sini saya tanyain dulu. Kalau ada yang jual televisi atau sepeda bagus dan berfungsi, saya enggak mau beli. Itu mencurigakan. Saya maunya barang rongsok," ayah lima anak ini menegaskan.

Namun, saat Covid-19 mewabah, lapak penjualan pria asal Banjarmasin ini ikut mengalami penurunan. Sebelum pandemi, tiap bulan Agi mampu meraup omzet hingga Rp100 juta. Selama pandemi, ia hanya bisa mendapatkan 25% atau sekitar Rp25 juta per bulan.

"[Pengunjung] sepi. Makanya kemarin enggak rapi gini waktu pandemi. Ini dirapikan saja. Kemarin, untuk masuk ke dalam saja susah. Akhirnya kita bikin rak-rak, tiap tiga bulan saya rapiin tempatnya," tutur Agi.

Selama pandemi pun, banyak barang yang dijual ketimbang dibeli. Barang yang dijual bermacam-macam, mulai dari furnitur hingga elektronik. Karena lebih banyak yang menjual barang kepadanya, Agi harus menampung barang rongsok itu di gudang yang berlokasi di dekat Polsek Beji, hingga kemudian dibawa tiap dua minggu sekali ke malnya.

Selain di Kukusan, Agi membuka cabang Mal Rongsok II, di Cinere, Depok. Namun, terpaksa tutup sementara karena penjualannya kurang bagus. Tak hanya Depok yang menjadi pangsa pasarnya. Mal Rongsok III juga ia dirikan di Pasar Ciluar, Bogor, berdiri tiga lantai seperti Mal Rongsok I. Agi mengakui, barang di Bogor ternyata jauh lebih banyak.

Pria lulusan SMA ini tak puas hanya membangun Mal Rongsok. Ke depan, ia akan membuka "wisata rongsok". Wisata ini akan mengandalkan barang-barang dan tanaman yang dibangun dari barang bekas. Seluruh barang itu nantinya juga akan dijual.

"Sudah saya bangun tiga lantai. Mungkin dalam tiga bulan ke depan sudah bisa operasi. Tujuannya, buat membuat proyek percontohan saja ke masyarakat bahwa lahan kecil bisa berguna," ujarnya.

***

Seorang pria paruh baya datang ke Mal Rongsok. Ia langsung beralih di sudut ruang dekat pintu masuk dan mencari-cari barang di sana. Namanya Frans Darmadi. Kata Agi, Frans adalah salah satu pelanggan setianya yang kerap kali datang mencari barang bekas ke Mal Rongsok.

"Kebetulan yang dibutuhin ini mau bangun minatur menara buat taruh pernak-pernik koboi Indian, menambah dekor kafe dalam rangka 17 Agustus," kata pria 67 tahun ini. Frans menjelaskan, 90% dekorasi kafenya yang berlokasi di Depok itu memang dibangun dari barang rongsok.

Sudah delapan tahun Frans menjadi pelanggan setia Agi. Ia memilih untuk membeli perlengkapan dekorasi kafenya di Mal Rongsok, sebab barang-barang bekas bisa mengasah kreativitasnya. Menurutnya, jika beli barang baru, pilihannya lebih terbatas.

Soal harga, ia berani mengatakan bahwa harga di Mal Rongsok di luar ekspektasinya. Namun, ia tak mencari kualitas dari barang rongsok. "Soal harga, super murah. Kalau soal kualitas, jangan ditanya. Ini soal kepuasan. Kepuasan tidak ada kualitas. Kadang-kadang, jelek pun jadi bagus," tuturnya.

Frans mengetahui Mal Rongsok setelah membaca di koran. Ia tak menyangka, saat melintasi Jalan Bungur Raya, mal itu benar ada. Namun saat itu, mal tersebut masih berukuran kecil. Menurutnya, kehadiran mal ini cukup membantu masyarakat, terlebih untuk mencari model atau barang lama. "Paling utama, orang yang ke sini itu yang betul kreatif. Kalau tidak kreatif, gengsi, jangan harap ke sini. Padahal banyak barang di sini yang bisa dimodifikasi," ujarnya.

Teknisi di salah satu perusahaan sawit ini, menyebut bisa merogoh kocek dari Rp50.000 hingga Rp10 juta untuk belanja barang bekas. Selama mengunjungi mal ini pun ia hanya membeli, bukan menjual barang.

Tak hanya Frans yang suka berkunjung ke Mal Rongsok. Semua kalangan, mulai anak sekolah, mahasiswa, pekerja kantoran, kru film, artis, hingga pejabat pernah berkunjung ke mal Agi. Dalam satu hari, Mal Rongsok bisa dikunjungi lebih dari 100 orang. "Artis yang terakhir ke sini itu, Septian Dwi Cahyo. Ada juga Neno Warisman, Teuku Ryan, macam-macam, lah. Ayu Ting-ting juga pernah ke sini, dulu," ujarnya.

Fitri Kumalasari