Home Kontroversi Undang-undang Mahkamah Konstitusi

Kontroversi Undang-undang Mahkamah Konstitusi

Hanya dalam 7 hari, Rancangan Undang-undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya diketuk palu, Selasa (1/9). Ada beberapa aspek yang diubah dalam UU ini, pertama adalah usia minimal hakim konstitusi yang semula di usia 47 tahun, kini harus berusia minimal 55 tahun. Tapi, yang paling kontroversial adalah masa jabatan hakim yang diperpanjang 15 tahun atau hingga berusia 70 tahun. 

Hanya dalam tujuh hari, Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya diketuk palu pada Selasa, 1 September lalu. Ada beberapa aspek yang diubah dalam UU ini. Di antaranya adalah usia minimal hakim konstitusi yang semula di usia 47 tahun, kini harus berusia minimal 55 tahun. Tapi yang paling kontroversial adalah masa jabatan hakim yang diperpanjang  15 tahun atau hingga berusia 70 tahun.

Dalam aturan peralihan beleid ini, semua hakim konstitusi yang sedang bertugas saat ini dianggap sudah memenuhi syarat usia dan akan menjabat hingga 15 tahun ke depan.

Adies Kadir, politisi Partai Golkar yang merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MK, menegaskan bahwa hanya ada lima inti dalam revisi UU MK yang sudah disepakati DPR dan Pemerintah. Pertama adalah soal kedudukan, susunan dan kewenangan MK. Kedua, mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim yang di dalamnya juga diatur soal masa jabatan ketua MK.

Ketiga, DPR dan pemerintah mengubah syarat usia minimal hakim MK dan tata cara seleksi hakim. Keempat, Adies menjelaskan, perubahan juga terjadi dalam hal tambahan ketentuan mengenai unsur majelis kehormatan MK. Dan terakhir adalah soal pengaturan peralihan.

Parlemen sebenarnya berharap, dengan aturan ini seleksi hakim MK menjadi lebih terbuka dan transparan. Ketua Komisi III, Herman Herry berargumen, semangat dari revisi UU MK adalah memperkuat posisi MK, terlebih dalam fungsinya sebagai kuasa kehakiman yang merdeka. "Mempunyai peranan penting guna menegakkan keadilan dan prinsip negara hukum sesuai kewenangan dan kewajibannya," kata Herman, Senin lalu.

Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil habis-habisan menolak revisi ini. Potensi penyalahgunaan wewenangan hakim sangat terbuka lebar. Karena tidak ada evaluasi kehakiman yang ditegaskan dalam beleid ini. 

Anggota koalisi Save MK Agil Oktaryal menjelaskan, penambahan masa jabatan hakim MK yang sifatnya retroaktif ini menimbulkan kekhawatiran permainan politik DPR. "Adanya konflik kepentingan yang coba dimainkan DPR dalam revisi ini. Karena regulasi ini, akan menguntungkan hakim yang menjabat," kata dia.

Dugaan barter kepentingan antara hakim MK dan DPR semakin menguat, karena belakangan banyak UU yang sangat layak diujimaterikan. Seperti UU Keuangan Negara, UU KPK, UU Minerba, UU Pilkada, hingga omnibus law ketenagakerjaan. "Inilah kemudian yang menjadi kekhawatiran akan menjadi barter revisi UU MK dengan perkara yang berjalan di MK," ucapnya.

Aditya Kirana