Home Politik Setelah Mati TV Analog

Setelah Mati TV Analog

UU Cipta Kerja mendorong penghentian siaran televisi analog. Digitalisasi siaran televisi di Indonesia terhitung lambat. Membantu stasiun swasta lama mempertahankan eksistensi. Bisa berdampak pada kebebasan informasi? 


Stasiun televisi pelat merah, Televisi Republik Indonesia (TVRI), mengaku siap jika akhirnya pemerintah menerapkan kebijakan suntik mati TV analog atau Analog Switch Off (ASO) pada 2022. Bahkan, meski pemerintah memutuskan untuk menutup seluruh siaran TV analog dan memindahkannya ke siaran digital pada tahun ini, lembaga penyiaran milik pemerintah itu yakin tidak akan mengalami kesulitan. 

"Acuan kita, kalau TV swasta saja pemancarnya rata-rata 47 sampai 50, kami sudah 120. Nah 47 sampai 50 itu juga masih analog, sedangkan kami, 120 pemancar itu sudah digital," kata Kepala Bidang Transmisi TVRI, Lantas Manalu, saat ditemui Ucha Julistian Mone dari GATRA di Gedung TVRI Jakarta, Jumat pekan lalu.

Indonesia memang makin mantap mengalihkan seluruh siaran TV analog ke dalam bentuk digital. Rencana tersebut sebenarnya sudah dirancang sejak lama. Namun dalam perjalanannya, proses migrasi berjalan sangat lambat. Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, Indonesia jadi punya tenggat waktu migrasi. Pasal 60 ayat (2) UU Cipta Kerja menegaskan bahwa siaran analog dihentikan paling lambat dua tahun sejak regulasi itu diundangkan.

Pemerintah mengakui, Indonesia adalah negara yang lambat melakukan ASO. Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), hampir 85% negara di dunia saat ini sudah menggunakan TV digital. Sebelumnya, International Telecommunication Union (ITU) sudah memutuskan bahwa 119 negara Region 1 ITU harus menuntaskan ASO paling lambat pada 2015.

Kemudian, deklarasi ASEAN juga berkomitmen menuntaskan ASO pada 2020. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, kini sudah menikmati siaran TV digital, sedangkan Indonesia belum menjalankan komitmen itu hingga saat ini.

Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika Kemkominfo, Geryantika Kurnia, mengatakan bahwa keterlambatan Indonesia disebabkan oleh ketiadaan regulasi yang mendukung. Selama ini, sistem penyiaran di Tanah Air hanya merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah bertahun-tahun lamanya belum selesai direvisi oleh DPR.

"Kalau di UU Ciptaker ini sudah jelas, ada power, ada proses izin, ada komitmen. Ada aturan mainnya disuruh pindah ke digital dalam dua tahun. Kalau tidak pindah, dicabut izinnya. Jadi, saya punya power dengan aturan ini," ujar Gery dalam Webinar Sosialisasi TV Digital yang dihadiri Dwi Reka Barokah dari GATRA.

Gery juga mengimbau agar penyelenggara TV swasta tidak khawatir eksistensinya akan dikalahkan oleh TV pendatang baru yang bermunculan di era digital nanti. Di Italia, ujarnya, peringkat 10 besar TV digital adalah "pemain lama" yang memiliki manajemen bagus. Kemudian di Thailand hanya ada satu pendatang baru yang menonjol, itu pun hanya masuk lima peringkat besar.

Kemkominfo juga mengusulkan untuk memberi insentif kepada penyelenggara penyiaran yang siap migrasi ke digital dalam waktu dekat dan penyelenggara yang sudah memiliki infrastruktur multiplexing (mux). Namun usulan ini masih dibahas bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Terus terang kita juga tidak mau menyusahkan teman-teman TV analog yang ada. Kita lagi melakukan survei. Dari survei itu, hampir 80% siap pindah ke digital dan dengan sukarela," tutur Gery.

Selain menyoal insentif, Kemkominfo juga sudah menyiapkan peta jalan atau road map ASO dan membentuk Gugus Tugas Persiapan dan Pelaksanaan ASO. Dalam road map, pemerintah berencana menerbitkan regulasi teknis terkait SOP, penyesuaian izin, konten, dan infrastruktur. Adapun penjelasan dan ketentuan mengenai model bisnis, nantinya akan dilandasi oleh UU Penyiaran.

Gugus Tugas juga memastikan pembangunan infrastruktur mux dan simulcast di 34 provinsi selesai pada Juli 2021. Saat ini, lembaga penyiaran yang sudah memiliki mux dan siap beralih ke digital di 34 provinsi hanya TVRI. Beberapa TV swasta juga ada yang sudah menyiapkan mux di 12 provinsi. 

Pemerintah akan membantu menyiapkan sisanya. Di sini akan diatur penggunaan mux, sehingga dapat dimanfaatkan bersama. Pengaturan itu direncanakan dengan sistem sewa, sehingga penyelenggara yang memanfaatkan mux milik pihak lain, harus membayar tarif sewa yang ditentukan pemerintah. "Di tarif itu, kita berikan profit untuk penyedia mux. Di Eropa, presentasi profitnya diatur sekitar 7,5%. Thailand sekitar 11%. Asia 11-13%," Gery menjelaskan.

Dengan beralih ke TV digital, pemerintah mengeklaim akan ada penghematan biaya infrastruktur dan penggunaan frekuensi. Penyiaran analog menggunakan spektrum frekuensi cenderung tidak efisien, karena membutuhkan bandwidth yang besar, yakni setiap TV analog memerlukan satu frekuensi. Penyiaran digital dapat memanfaatkan satu frekuensi untuk 13 jenis program siaran sekaligus.

Total frekuensi yang digunakan TV analog saat ini mencapai 328 MHz. Saat beralih ke digital, diperkirakan hanya sekitar 176 Mhz saja yang akan terpakai. Adapun frekuensi sisa sekitar 112 MHz, rencananya akan dimanfaatkan untuk mempercepat jaringan internet, salah satunya untuk mendukung jaringan 5G.

***

Perkara memindahkan siaran dari analog ke digital bukan hanya soal infrastruktur. Lantas Manalu mengatakan, TVRI memang tidak perlu mengubah banyak hal terkait dengan pola produksi. Hanya saja, TVRI harus meramu strategi untuk memenuhi konten produksi siaran, khususnya bagi TVRI daerah. "Kalau selama ini daerah hanya diberikan siaran empat jam, begitu nanti digital kita berlakukan, kesempatan mereka tidak hanya empat jam, bisa sampai 24 jam," ujarnya.

Oleh karena itu, penggawa-penggawa TVRI di daerah juga diharapkan bisa mempersiapkan produksi program-program lebih banyak dan lebih kreatif. Untuk itu, tentu saja mereka membutuhkan penambahan sumber daya manusia (SDM).

Ketua umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, mengatakan bahwa anggota ATVSI akan mempersiapkan diri untuk segera beralih ke digital. Implementasi ASO secara nasional ini juga akan menjadi tantangan bagi perusahaan TV swasta untuk mempersiapkan diri dari segala sisi, termasuk investasi.

"Kalau dilihat apakah itu bisa tahun 2022 atau tahun 2023, yang jelas kita harus melihat kesiapan pemerintah menyiapkan semua hal terkait landasan tersebut, aturannya bagaimana," kata Syafril kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA.

Corporate Secretary MNC Group itu mengatakan, sisi positifnya sistem digital ini akan menghemat banyak frekuensi. Dengan demikian frekuensinya bisa digunakan untuk hal lain. Namun, ia juga tidak menampik ada sisi negatif dari kebijakan tersebut. Maka dari itu, ia berharap pemerintah bisa melindungi industri penyiaran yang sudah ada.

"Karena dengan adanya digital ini, itu bisa saja bertambah banyak televisi-televisi baru. Ini yang perlu dipertimbangkan sehingga industri itu tetap sehat. Apalagi untuk televisi yang sudah melakukan investasi besar-besaran. Ini kan perlu mendapat perhatian dari pemerintah," ucap Syafril.

Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, menilai bahwa penting bagi pemerintah mengatur dengan hati-hati penyelenggaraan lembaga multiplexer yang mana sejak dikeluarkannya Revisi UU Penyiaran hingga hari ini, masih mengundang perdebatan di antara pemilik stasiun TV.

Hal tersebut terjadi karena sebelumnya pemerintah dan DPR sepakat untuk menjadikan TVRI sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara multiplexer. Di sisi lain, para pengusaha stasiun TV menghendaki agar jumlah penyelenggara multiplexer berjumlah lebih dari satu.

Selain itu, ada pula perdebatan yang diakibatkan oleh perbedaan cara pandang antara stasiun TV dan pemerintah terkait pengalokasian frekuensi. Hal itu terjadi karena selama ini setiap stasiun TV memiliki alokasi frekuensi tersendiri, kemudian menganggap alokasi frekuensi tersebut sebagai aset dari masing-masing stasiun TV. Ketika siaran digital diterapkan, stasiun TV tidak akan lagi mendapatkan alokasi frekuensi, karena frekuensi akan diatur sepenuhnya oleh lembaga penyelenggara multiplexer dan stasiun TV hanya bertugas menyiarkan konten-konten mereka saja.

Untuk mengatasi perdebatan itu, Heru berkata bahwa sebaiknya pemerintah menyediakan beberapa lembaga penyelenggara multiplexer, yakni TVRI dan beberapa dari pihak lainnya. Ke depannya, jumlah frekuensi di Indonesia menurut hitungan ICT, akan ada paling tidak 72 stasiun televisi yang kemudian oleh pemerintah akan dibagi menjadi sembilan blok. Masing-masing blok akan memiliki satu lembaga penyelenggara multiplexer.

"Kalau lembaganya cuma satu, memang pemerintah mudah untuk mengontrol isi berita, isi siaran, tapi kalau misalnya negara sedang dalam keadaan tidak kondusif, satu lembaga ditutup, semuanya hilang. Nanti enggak ada kebebasan untuk mendapatkan informasi," ucap Heru kepada Qonita Azzahra dari GATRA, Senin lalu.

Dengan berubahnya siaran TV menjadi digital, Heru yakin tidak akan memengaruhi pola produksi stasiun TV nasional. Hanya saja, seluruh stasiun TV yang ada perlu untuk meningkatkan kualitas tayangan dan konten.

Dengan bermigrasi menjadi digital, persaingan industri pertelevisian nasional akan makin luas, tidak hanya bersaing dengan stasiun TV nasional saja, tetapi akan bersaing dengan perusahaan penyiaran kelas dunia seperti Netflix, misalnya. "Karena masyarakat kan juga sebetulnya berbeda, beragam. Jadi enggak bisa disamakan untuk satu dua konten, mau pilih konten apa saja juga bisa," katanya.

Meski tidak ada perubahan pada pola produksi, Heru menilai migrasi ini akan memengaruhi pola bisnis stasiun TV. Hal itu dapat terjadi karena persaingan di industri pertelevisian akan makin ramai. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah untuk memberikan perhatian, khususnya kepada televisi lokal. Agar bisa tetap bersaing dengan stasiun TV swasta nasional dan stasiun TV lainnya.

Hidayat Adhiningrat P.

 

Perjalanan Analog Switch Off (ASO)

- Pembahasan ASO dilakukan sejak 2004.

- Tim Nasional Migrasi TV Digital dibentuk pada 2007.

- Upaya migrasi berlarut-larut karena UU Penyiaran tak kunjung disahkan.

- UU Cipta Kerja mensyaratkan migrasi ke TV digital maksimal dilakukan 2 tahun sejak UU ini diundangkan.

[G]