Home Kesehatan Tak Ada Masalah, Tahu-tahu Innalillahi: Kesaksian di Malam Tragis Saat Oksigen RS Sardjito Habis

Tak Ada Masalah, Tahu-tahu Innalillahi: Kesaksian di Malam Tragis Saat Oksigen RS Sardjito Habis

Yogyakarta, Gatra.comRumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Sardjito di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami krisis oksigen pada 3-4 Juli saat pasien Covid-19 melonjak. Pada jam-jam krisis itu, kematian meningkat. Situasi itu diakui RSUP butuh proses audit. Problem suplai oksigen harus diatasi agar tragedi itu tak terulang lagi.

Rasa cemas menggelayuti Baryanto (36) saat sang ibunda tak enak badan, akhir Juni lalu. Apalagi perempuan usia 69 tahun itu punya komorbid penyakit jantung. Hasil tes Covid-19 pun belakangan menunjukkan sang ibu positif. Saturasi oksigennya sempat drop di kisaran 60-80.

Setelah menghubungi sejumlah RS, pada Jumat (2/7), ibunda Baryanto masuk Poliklinik Covid-19 RS Sardjito. Saat itu, kondisi RS sudah padat. “Pasien banyak sekali dan sudah dipasang satu tenda,” ujar warga Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu, saat dihubungi pekan lalu.

Sehari kemudian, Sabtu (3/7) sore, ibunda Baryanto dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD). Ia turut masuk dan menjaga sang ibu di RS lantaran juga telah dinyatakan positif Covid-19.

“IGD penuh, satu ruangan ada sekitar 8 orang,” katanya. Saturasi lansia itu naik turun hingga harus dipasangi perangkat high flow nassal canule (HNFC) hingga dapat stabil di kisaran 85.

Hingga akhirnya malam tragis itu tiba. Sekitar jam 21.00, di tengah suasana sepi, bunyi lirih itu memecah keheningan dan membetot perhatian. Tit, tit, tit… suara itu datang dari mesin HNFC. “Mesin ibu yang bunyi pertama,” kata Baryanto.

Tak berselang lama, hanya hitungan 10-an menit, sekitar 4-5 mesin lain di ruangan itu berbunyi sahut menyahut. Tit, tit, tit…

Baryanto yang disergap cemas langsung bergegas menemui dokter. “Enggak masalah, ada gangguan di pusat, di seluruh Sardjito,” kata sang dokter seperti ditirukan Baryanto.

Dokter itu lantas menaikkan asupan oksigen ibunda Baryanto, dari 30 ke 50. Toh, upaya itu tak sanggup menyetop suara mesin. Tit, tit, tit…

Dokter pun memutuskan mengganti suplai oksigen dari tabung dan memakaikan masker oksigen. Namun saturasi terus menurun: dari 60, 50, 40, hingga 20. Perempuan itu dilarikan ke ruang khusus. “Kondisi ibu sudah fifty-fifty.”

Hingga kondisi makin gawat malam itu, Baryanto tak mendengar pihak RS meminta pihak keluarga menyiapkan oksigen secara mandiri. Sampai tengah malam, kondisi ibunda tak kunjung membaik. Saturasi oksigen hanya 10-20. Pada Minggu jam 01.10, sang ibu dinyatakan meninggal dunia.

Pada jam itu, di satu ruangan, Baryanto melihat 4-5 pasien juga berpulang Sardjito kehabisan stok peti mati dan ambulans. “Saya menunggu jenazah antrean ke-48 sampai jam 4 sore di IGD,” katanya.

Sang dokter sempat mengucap maaf dan belasungkawa pada Minggu siang. Baryanto pun baru tahu Sardjito mengalami krisis oksigen saat itu. “Oksigen sudah ditambah tiga kali lipat,” kata Baryanto menirukan sang dokter. “Cuma karena banyak pasien di Sardjito--karena ditolak RS-RS lain--terjadi drop, kehabisan stok oksigen.”

Baryanto pun yakin kondisi itu menyebabkan kematian sang ibunda. “Kalau saya, arahnya karena oksigen,” ujarnya.

Warga Kota Yogyakarta, Johny (47), yang ibu mertuanya wafat di Sardjito malam itu, juga menyesalkan tragedi tersebut. “Ibu kehidupannya saat itu tergantung oksigen. Penyakit lain tidak ditemukan,” kata dia.

Sang mertua usia 67 tahun masuk ke IGD Sardjito, Kamis (1/7), dalam kondisi lemas, tanpa sesak,dan saturasi 70. Sebelumnya, dua RS di DIY menolak perawatan lansia itu karena penuh. Setelah dipasangi HFNC, saturasi terdongkrak di atas 90-an.

Sepanjang Jumat hingga Sabtu sore jam 18.00, Johny masih bisa melihat perkembangan sang mertua lewat panggilan video Whatsapp dibantu perawat."Yang semangat ya, Bu. Pokoknya cepat sembuh. Jangan stres. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata perawat seperti ditirukan Johny.

Namun, bak disambar geledek, tiga jam kemudian, sekitar jam 21.00, ia mendapat kabar bahwa sang mertua telah tiada. Ia segera menghubungi dokter yang menangani sang mertua.

“‘Pak ini ibu saya bagaimana, kok tahu-tahu innalillahi (wafat)’. Dokter enggak percaya, disangka saya guyon. ‘Lho saya cek tadi baik-baik saja’," kata Johny mengulang percakapannya dengan sang dokter.

Menurutnya, malam itu kondisi Sardjito darurat sekali. Banyak pasien meninggal dan jenazah antre menanti diurus. Jenazah mertua Johny baru keluar dari RS pada Minggu, jam 13.00—16 jam setelah kematiannya. “Jenazah ibu di urutan ke-36,” kata dia.

Baca Juga: Langka Oksigen di RS Sardjito Yogya, 33 Pasien Meninggal dalam Semalam

Pihak RS Sardjito menjelaskan kondisi malam itu sebagai ‘kelangkaan oksigen’. Situasi ini diakui mulai terjadi pada 29 Juni 2021. Puncaknya, pada Sabtu (3/7), oksigen cair di sentral oksigen menipis dan habis sekitar jam 20.00 WIB.

Perawatan dialihkan ke oksigen tabung, pinjaman RS Akademik UGM dan Polda DIY, yang datang pada Minggu (4/7) jam 00.15. Pada jam 3.40 pasokan oksigen cair datang sehingga pusat suplai oksigen dapat berfungsi kembali. Pasokan kedua tiba jam 4.45

Direktur Utama RS Sardjito kala itu, Rukmono Siswishanto, menjelaskan, sejak oksigen sentral habis pada Sabtu jam 20.00 sampai Minggu pagi, sebanyak 33 pasien meninggal. Adapun pada periode Sabtu pagi hingga Minggu pagi, total ada 63 kematian.

“Pasien-pasien yang memerlukan bantuan oksigen tetap tersuplai dengan oksigen tabung. Sehingga tidak benar jika meninggal tanpa dapat bantuan oksigen, tetapi proses meninggalnya karena kondisi klinisnya yang memburuk,” kata dia lewat pernyataan tertulis.

Sekitar sepekan kemudian, Senin (12/7), Rukmono dicopot dari jabatannya dan dipindah sebagai Dirut Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soerojo, Magelang, Jateng. Rukmono bertukar posisi dengan Eniarti, Dirut RSJ tersebut. Pergantian jabatan itu dinyatakan sebagai rotasi biasa.

Sebanyak 33 kematian itu berbeda dengan data yang diperoleh tim kolaborasi jurnalis DIY. Data dari Pos Komando Dukungan Operasi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 DIY itu mencatat setidaknya 41 kematian di masa kritis tersebut.

Selama jam-jam krisis oksigen itu, kematian terus terjadi sejak jam 20.00 WIB. Pada satu jam pertama krisis itu setidaknya seorang meninggal, tapi jumlahnya langsung melonjak pada jam 21.00-22.00, yakni hingga 5 orang wafat.

Selama 22.00-23.00, kematian bertambah 7 orang dan satu jam berikutnya, 23.00-00.00 ada 6 orang lagi berpulang. Berganti hari, pada Minggu (4/7) dini hari, 00.00-01.00, kematian melejit sejumlah 9 orang.

Pada jam tersebut, sesuai penjelasan RS Sardjito, bantuan 100 tabung oksigen dari RSA UGM dan Polda DIY datang. Setelah itu, kematian berangsur berkurang: pada jam 01.00-02.00 ada 5 orang, disusul 2 orang pada sejam berikutnya.

Sepanjang 3 jam, yakni 03.00-06.00, masing-masing ada 1 kematian berselang tiap sejam. Namun selama satu jam, pukul 06.00-07.00, masih ada 3 orang lagi berpulang. Alhasil, sepanjang 11 jam itu sedikitnya 41 jiwa melayang.

Kematian 41 orang dalam 11 jam itu di satu RS di DIY, menurut Komandan Pos Komando Dukungan Satuan Tugas Covid-19 DIY, Pristiawan Buntoro, suatu kondisi fatal yang baru sekali terjadi selama pagebluk Covid-19.

Ia menyatakan personel posko itu biasanya mengurus 30-50 kematian dari Sardjito selama 24 jam.Jumlah itu mayoritas dari sekitar 80-100 kematian dengan protokol Covid-19 di DIY yang diurus posko tersebut saban hari.

“Oksigen jadi faktor paling dominan. Mereka ini kan sudah di ICU, tertangani dengan baik, tapi meninggal dalam 24 jam. Pasti ada faktornya, secara klinis, pasti ada yang istimewa,” tutur Pristiawan.

Pihaknya mendengar krisis oksigen pertama kali di RS Sardjito pada Sabtu pagi. Kondisi itu disebut sempat teratasi, tapi siangnya krisis terjadi lagi, hingga akhirnya mencuat ke publik, Sabtu sore.

Saat itu 40% suplai oksigen untuk medis di DIY sudah dialokasikan ke Sardjito. “Krisis oksigen sudah terjadi selama 2 pekan sebelumnya,” ujarnya.

Pada Sabtu jam 20.00—saat stok di Sardjito telah habis, suplai oksigen disebut baru bergerak dari tempat produksi di Kendal, Jateng. Namun Pristiawan tak yakin itu karena kemungkinan distribusi bakal molor. “Terbukti, truk oksigen baru berangkat (Minggu) jam 00.30.”

Membeludaknya pasien di Sardjito tak lepas dari peningkatan Covid-19 di DIY. Menurut Pristiawan, sejak medio Juni, pasien-pasien dengan kondisi berat masuk ke RSUP itu. “Sardjito tidak pernah menolak pasien, sampai bikin tenda, dirawat di selasar,” katanya.

Melonjaknya kematian di Sardjito malam itu berpengaruh pada kinerja posko ini yang saban hari mengurus jenazah pasien Covid-19 di DIY. “Kami diminta membantu mengurai penumpukan jenazah. Saat kami datang, kondisi chaos,” kata Pristiawan.

Menurutnya, serah terima jenazah kala itu sangat kacau. Jenazah overload, mengalami stagnasi, bahkan ada jenazah yang tak keluar dari RS selama 2 hari.

Keluarga tidak tenang karena tak mendapat penjelasan tentang proses pemulasaraan oleh pihak RS. Alhasil, keluarga berebut mengurus jenazah, termasuk dengan mendatangkan ambulans sendiri.

Padahal semua proses harus melalui koordinasi dengan berbagai pihak, seperti petugas pemakaman. “Akhirnya ada yang sampai pemakaman thingak-thinguk (tengok-tengok bingung) karena tak ada yang memakamkan,” tuturnya.

Pristiawan pun yakin jika stok oksigen tak teratasi, tragedi di Sardjito dapat terulang di RS lain. Akibatnya bakal panjang: antrean pasien di RS akan ‘tumpah’ ke puskesmas, banyak pasien menjalani isolasi mandiri, dan bertambah pula kematian di rumah.

Masalah ikutan pun timbul, seperti pemulasaraan jenazah yang tak tepat dan justru rawan menularkan Covid-19. Apalagi varian Delta, dengan daya tular tinggi, telah dinyatakan masuk DIY sehingga berpotensi membuat paparan meledak.

“Kalau tidak ada solusi permanen, ya tidak menjamin oksigen terpenuhi. RS akan panic buying, belanja oksigen tinggi, tapi produsen akan kesulitan. Selama ini hanya solusi parsial,” tuturnya.

Baca Juga: Varian Delta Ada di 80% Sampel di Yogya, termasuk Anak-anak

Dirut RS Sardjito yang baru, Eniarti, mengakui perlunya audit atas kematian di masa krisis oksigen itu. “Apakah memang kematian itu disebabkan oleh kekurangan oksigen, tentu ini perlu adanya audit. Audit ini ada tim yang diberi amanat oleh RS, dari komite medis,” kata dia saat jumpa pers perdananya di RS Sardjito, Jumat (16/7).

Ia menjelaskan, kondisi krisis oksigen bukan hanya dialami Sardjito, melainkan telah menjadi masalah nasional. “Memang, di saat yang datang pasien kategori berat dan kritis, pemakaian oksigen banyak dengan alat ventilator dan HFNC,” ujarnya.

Menurutnya, setiap RS tak pernah dalam kondisi nihil oksigen. Pemerintah selalu berupaya memenuhi kebutuhan, termasuk dengan mengubah peruntukan oksigen dari industri ke kesehatan.

“Tersedia tapi dengan jumlah yang sangat terbatas. Kami sudah memikirkan oksigen untuk besok dan hari-hari berikutnya. Jadi ini kelangkaan nasional,” katanya.

Melalui pernyataan tertulis kepada tim kolaborasi, Rabu (21/7), ia menambahkan, RS Sardjito memiliki tangki oksigen berkapasitas 10 ton yang dipasok dua perusahaan. ”Jika distribusi tidak mengalami gangguan sudah mencukupi kebutuhan,” ujar Eniarti.

Ia pun mengakui layanan Sardjito di masa pandemi tak semua berjalan lancar seperti kondisi normal. “Layanan kepada pasien sudah dipersiapkan,namun berbagai kendala baru selalu datang silih berganti,” tuturnya.

Sebanyak 41 keluarga pasien yang meninggal dalam semalam di Sardjito itu telah dihubungi tim kolaborasi jurnalis DIY, termasuk Gatra.com. Sebagian merespons dan bercerita tentang situasi malam itu, kendati kebanyakan menyatakan pasrah dan menganggapnya bagian dari takdir.

Namun tak satu pun dari mereka menerima penjelasan resmi soal krisis oksigen, apalagi permohonan maaf dari pihak RSUP di DIY itu. Harapan mereka satu: tragedi ini tak terulang dan menimpa pasien lain di masa pandemi.

Baca Juga: Keselamatan Rakyat di Pidato Sultan dan Rekor 87 Kematian di DIY Hari Itu

Dokter spesialis paru dan pernapasan, RS Persahabatan, Jakarta, Prasenohadi, menjelaskan, ketersediaan oksigen bagian dari sistem manajemen RS. Alhasil, tipisnya stok oksigen menjadi faktor teknis yang menjadi tanggung jawab RS. “Ini bukan kegagalan medis, tapi soal teknis,” kata dia saat dihubungi.

Hadi menjelaskan, Covid-19 dapat menyerang saluran napas bawah secara cepat hingga ke aveolus di paru-paru. Akibatnya pertukaran oksigen dan karbon dioksida terganggu, oksigen tak semua masuk ke darah, hingga saturasi turun, dan mengganggu kinerja organ lain.

Untuk itu, kata Hadi, pasien Covid-19 dengan kondisi berat membutuhkan bantuan suplai oksigen. Di RS, terdapat oksigen sentral berupa oksigen cair yang biasanya digunakan di ICU untuk operasi. Selain itu, ada oksigen dalam tabung di ruang perawatan dan IGD, tapi stok di tabung ini cepat habis dalam hitungan menit.

Kedua jenis oksigen itu disalurkan melalui sejumlah alat. Yang paling jamak diketahui saat ini adalah mesin ventilator untuk pasien dalam kondisi buruk dan tak sadar. Menurut Hadi, pasien pengguna ventilator dikhawatirkan tak bisa lepas dari mesin itu.

“Otot saluran napas jadi malas. Kematian di ICU (dari penggunaan ventilator) tinggi,” kata pengajar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, ini.

Saat pasien Covid-19 membeludak, bantuan napas lewat mesin HFNC pun kerap digunakan. Alat ini diberikan pada pasien saat saturasi menurun, masih sadar, tapi tak mendapat perawatan ICU. ”HFNC ini populer sekarang. Pasien bisa bernapas spontan,” kata Hadi.

Perangkat ini terhubung dengan oksigen sentral. Seperti kesaksian sejumlah pasien, menurut Hadi, sejumlah merek mesin HFNC berbunyi saat suplai oksigen turun dan habis. “HFNC ini butuh kestabilan oksigen RS. (Kalau alat bunyi sama-sama) Itu tekanan oksigen dari sentral,’ ujarnya.

Ia menjelaskan, tak semua ruang di RS disiapkan untuk pemakaian HFNC lantaran alat ini menyuplai 70 liter per menit. “Kalau 1-2 ruang masih kuat, tapi kalau semua akan down,” kata Hadi.

Menurut dia, setiap RS memiliki manajemen oksigen, termasuk petugas yang rutin mengecek stok dan memprediksi durasi stok itu. Di masa pandemi, stok oksigen harus terus dipantau dan disuplai setidaknya 2-3 kali sepekan. “Ini bagian dari patient safety (menjaga keselamatan pasien),” ujarnya.

 

9101