Home Gaya Hidup Koeksistensi Damai dan Toleransi di Puja Mandala Bali

Koeksistensi Damai dan Toleransi di Puja Mandala Bali

Jakarta, Gatra.com - Peneliti PMB-LIPI, Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, menyampaikan deskirpsi terciptanya koeksistensi damai dan toleransi umat beragama, salah satunya di kawasan Puja Mandala di Bali.

Puja Mandala adalah suatu tempat ibadah di Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Bangunan ini memiliki lima bangunan/ tempat ibadah untuk lima agama di Indonesia sebagai simbol toleransi umat beragama.

Kelima tempat ibadah itu adalah Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Gereja GKPB Bukit Doa, Vihara Buddha Guna, dan Pura Jagat Natha.

“Ada satu religious experience tertentu bagi saya ketika penelitian di sana dan melaksanakan salat Jumat siang hari. Pada saat yang sama, pada jam dua belas, mendengar lonceng di gereja itu berbunyi. Bagi saya itu pengalaman yang luar biasa. Dua hal yang sakral bertemu di dalam satu dimensi ruang yang beredekatan, bagi saya itu sangat menarik,” ujar Prabowo dalam forum diskusi budaya yang digelar secara daring pada Senin, (9/8/2021).

Prabowo pun menceritakan kronologi historis terciptanya Puja Mandala. Karena Puja Mandala itu merupakan wilayah urban, tuturnya, maka ada kebutuhan untuk dibangunnya tempat ibadah bagi para pendatang. Pendatang tersebut berasal dari Jawa, Yogyakarta, Kalimantan, dan provinsi Indonesia lainnya.

“Terlebih kaum muslim. Saya ingin melaksanakan salat, tidak bisa, karena mereka tidak disediakan musala dan seterusnya. Begitu pula kelompok Kristen, begitu pula kelompok yang lain. Akhirnya mereka mengalami apa yang disebut dilema minoritas. Sementara kalau di Bali itu kan Kota Seribu Pura. Jadi orang Hindu tidak ada persoalan, gitu,” tutur Prabowo.

“Akhirnya kemudian pemerintah waktu itu [dekade 1990-an] mendengar permasalahan itu dan kemudian memberikan semacam afirmasi. Katakanlah, pemerintah itu kita katakan sebagai presentasi mayoritas. Kemudian memberikan afirmasi, ‘Oke, kami berikan tanah. Terus silakan berswadaya. Kemudian membangun tempat ibadah bersama,’” imbuh Prabowo.

Prabowo menjelaskan bahwa ide tersebut kemudian disambut oleh masyarakat minoritas (non-Hindu) di sana yang kemudian bahu-membahu membangun satu tempat peribadatan bernama Puja Mandala yang saat ini dikenal sebagai ikon toleransi di Bali.

“Puja itu pemujaan. Mandala itu lingkaran. Jadi lingkaran pemujaan,” jelas Prabowo soal makna di balik nama Puja Manggala.

“Belakangan kemudian Puja Mandala ini bertumbuh dan seiring waktu menjadi satu semacam icon Bali karena di tengah sulitnya mendirikan tempat ibadah, ternyata ada satu tempat di Puja Mandala itu yang bisa lima agama berdampingan menjadi satu. Itu kemudian mereka membangun koeksistensi damai,” ujar Prabowo.

Mengutip dari Indonesia.go.id, Puja Mandala dibangun sejak tahun 1994 dan selesai pada tahun 1997. Pada saat itu, baru tiga bangunan yang selesai, yaitu Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, dan Gereja GKPB Bukit Doa.

Dua tempat ibadah lainnya selesai dibangun belakangan. Vihara Buddha Guna selesai dibangun pada tahun 2003. Sementara Pura Jagat Natha selesai dibangun setahun setelahnya.

765