Home Ekonomi Ahli: Masalah Bumiputera Ada di Pengurus, Tak Bisa Salahkan Regulator

Ahli: Masalah Bumiputera Ada di Pengurus, Tak Bisa Salahkan Regulator

Jakarta, Gatra.com – Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai permasalahan di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) muncul pertama kali pada 1997. Bahkan, jauh sebelum ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berdiri pada 16 Juli 2012.

Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan, AJBB telah mengalami defisit sebesar Rp2,07 triliun di 1997. Hal ini berarti bahwa total kewajiban AJBB lebih besar daripada aset yang dimiliki.

“Sejak 1997 itu permasalahannya sudah ada. Sayangnya, tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik dan terus membesar,” kata Piter dalam webinar bertajuk ‘Memahami Peran OJK dalam Penyelesaian AJB Bumiputera’, Selasa (31/8).

Menurut Piter, permasalahan tersebut seharusnya segera diselesaikan oleh pengurus AJBB. Sebab, AJBB merupakan perusahaan swasta murni dengan bentuk badan hukum usaha bersama. Sehingga, pemilik polis adalah pemilik AJBB.

Oleh karena itu, ketika perusahaan mengalami kerugian, maka semua pemilik polis turut menanggung kerugian tersebut. Pemilik polis tidak bisa berharap pemerintah menalangi (bail out) seluruh kerugian AJBB. Selain itu, juga tidak bisa menyalahkan regulator karena masalah AJBB yang tak kunjung selesai.

“Kalaupun regulator saat itu harus ikut menangani atau menyelesaikan, hanya dalam posisi memfasilitasi dan mengarahkan. Tetapi, eksekusi untuk penyelesaian masalah itu sepenuhnya ada di pengurus Asuransi Jiwa Bersama,” ujarnya.

Piter menambahkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai regulator saat itu telah berupaya memfasilitasi penyelesaian masalah di AJBB. Hal itu berupa rekomendasi kepada AJBB supaya menyusun program penyehatan jangka pendek dan menengah, serta meminta Badan Perwakilan Anggota (BPA) agar independen dan tidak mengintervensi pengelolaan AJBB.

“Kemudian, regulator juga meminta perbaikan investasi AJBB. Karena asuransi ini kan sebenarnya bisnis mengelola uang. Uang masuk dari menjual produk-produk asuransi, lalu dikelola dan diinvestasikan sehingga memperoleh return yang lebih tinggi daripada biaya dari dana nasabah,” ungkapnya.

Pada periode 2002-2010, defisit AJBB bertambah menjadi Rp2,94 triliun. Artinya, program penyehatan sebelumnya tidak berjalan baik. Regulator pun memberikan waktu perbaikan Tingkat Kesehatan (rasio kecukupan investasi/RKI, risk based capital/RBC, likuiditas) paling lama 5 tahun.

“Ini juga tidak berhasil. Pengurus AJBB tidak mampu melaksanakan program-program yang disusunnya sendiri untuk menyelamatkan Bumiputera sehingga periode berikutnya tahun 2010-2014 defisit tembus mencapai Rp7,45 triliun. Kenaikan yang luar biasa besar,” ujarnya.

Piter menuturkan, permasalahan AJBB menjadi berlarut-larut lantaran pengelola Bumiputera tidak pernah konsisten melaksanakan program-program yang mereka susun sendiri. Sekali lagi, regulator meminta Bumiputera menyusun program kerja fundamental, melakukan perombakan manajemen, menyusun rencana demutualisasi, dan melakukan haircut atas kewajiban jangka panjang.

“Sudah pernah diminta seperti itu. Pada 2010-2014, regulator telah memikirkan opsi demutualisasi. Kita kan tahu Bumiputera ini unik karena bentuknya mutual. Artinya, tidak ada pemilik sendirian seperti perseroan. Tidak ada ‘modal disetor’. Bumiputera dimiliki oleh para pemegang polis. Modalnya adalah setoran dari pemegang polis,” jelasnya.

“Kalau kita lihat tahunnya, periode 2010-2014 inilah OJK baru terbentuk yaitu tahun 2012. OJK itu masuk menjadi regulator industri keuangan ketika permasalahan di Bumiputera sudah membesar. Perkiraan saya, tahun 2012 defisitnya mungkin sekitar Rp10 triliun,” katanya.

Lebih lanjut, Piter menyatakan, defisit AJBB membengkak hingga Rp11,99 triliun pada periode 2014-2016. Karena itu, OJK bertindak tegas dengan mengeluarkan sejumlah perintah tertulis. Pada perintah tertulis 1, OJK meminta BPA tidak mencampuri tugas pengelola statuter (PS) alias pengelola sementara yang ditunjuk OJK.

“Nampaknya OJK paham bahwa akar masalah di Bumiputera itu adalah BPA yang selalu intervensi dan masuk dalam pengelolaan operasional AJBB,” ujarnya. Itulah yang menyebabkan berbagai program penyehatan Bumiputera jadi sangat sulit dilaksanakan secara tertib, konsekuen, dan benar-benar menyehatkan.

Namun, upaya penyehatan yang dilakukan pengelola statuter juga gagal akibat BPA masih saja mengintervensi. OJK pun melayangkan perintah tertulis 2 agar BPA tidak melakukan tindakan yang menghambat tugas pengelola statuter.

Surat Perintah Tertulis menjadi awal “pembangkangan” BPA terhadap OJK. BPA kemudian tidak memberikan dukungan yang cukup terhadap upaya-upaya penyehatan keuangan AJBB. Akibatnya, seluruh program penyelesaian AJBB gagal. Pada periode 2016-2018, defisit Bumiputera tercatat Rp18,5 triliun. Jumlah itu terus bertambah menjadi Rp20,9 triliun memasuki tahun 2018.

“Pembangkangan terbesar BPA adalah ketika OJK mengeluarkan perintah tertulis yang keempat melalui surat No. S-13/D.05/2020 tanggal 16 April 2020. Isi perintah tertulis tersebut adalah meminta AJBB untuk segera melaksanakan Sidang Luar Biasa BPA/RUA guna mengambil keputusan terkait kerugian yang dialami AJBB sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Anggaran Dasar AJBB,” jelas Piter.

Pembangkangan BPA diwujudkan dalam bentuk gugatan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2014. Hal itu kemudian berdampak kepada PP No. 87 Tahun 2019 yang mengatur tentang badan usaha milik bersama.

Permohonan judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus menggugurkan PP No. 87 Tahun 2019. Selanjutnya, ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama harus diatur lebih lanjut dengan UU sendiri.

“Pascakeputusan MK terjadi kekosongan BPA di AJBB. Sesuai masa tugasnya, kepengurusan Anggota BPA berakhir per 26 Desember 2020. Tetapi tidak bisa segera berganti karena tidak adanya payung hukum tentang bagaimana pergantian BPA dilakukan,” tuturnya.

Guna mengatasi permasalahan kekosongan BPA ini, OJK memfasilitasi pertemuan antara manajemen AJBB dengan perwakilan beberapa perkumpulan pemegang polis (pempol), asosiasi agen, dan Serikat Pekerja Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi (SP NIBA) pada 16 Maret 2021.

Dalam pertemuan tersebut disepakati antara lain direksi akan mengajukan penetapan Panitia Pemilihan BPA melalui Pengadilan. Keputusan pengadilan terkait panitia pemilihan BPA ini akan dibacakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 1 September 2021.

“OJK selaku regulator sudah berupaya melaksanakan tugasnya untuk menyelamatkan AJBB secara maksimal. Peran OJK memang hanya sebatas mengarahkan dan memfasilitasi. Sementara keberhasilan penyelesaian permasalahan di AJBB lebih ditentukan oleh BPA dan manajemen (komisaris dan direksi) AJBB,” tegas Piter.

496