Home Info Sawit Menyusun 'Opsi Ketiga' Dari Bogor

Menyusun 'Opsi Ketiga' Dari Bogor

Bogor, Gatra.com – Gulat Medali Emas Manurung menarik nafas lega setelah lelaki di sampingnya beres meneken perjanjian kerjasama ‘kajian akademik kelapa sawit sebagai tanaman hutan itu’, kemarin siang. Yang dirasakan Rino Afrino, lelaki bertubuh gempal yang datang menemani Gulat, pun sama; menarik nafas panjang dan lega.

Ketua Umum dan Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini memang sengaja datang menemui Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (FKL) Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Naresworo Nugroho --- lelaki yang meneken perjanjian kerjasama tadi --- di aula FKL, untuk melanjutkan cerita yang tertunda.

Kelanjutan cerita dari kesepahaman yang pernah diteken oleh Gulat dengan Rektor IPB, Dr. Arif Satria, dua tahun lalu. Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo, Dr. Moeldoko, ikut menyaksikan penekenan Memorandum Of Understanding (MoU) itu.

Perjanjian kerjasama soal kajian akademik ini menjadi super penting lantaran tenggat waktu yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sudah mulai mepet, tinggal 28 bulan dari 36 bulan batas waktu penyelesaian klaim kawasan hutan terhadap perkebunan kelapa sawit.

Sementara 8 bulan berjalan, penyelesaian klaim kawasan hutan terhadap 3,4 juta hektar kebun sawit --- 2,8 juta hektar di antaranya kebun sawit rakyat --- masih belum ada kejelasan, yang ada malah semakin ngawur.

Saking ngawurnya, walau tak terhitung lagi para ahli, akademisi, peneliti, profesor dan bahkan Non Government Organization (NGO) sosial menyuarakan dan mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan sawit tadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap bergeming (diam) dan bersikukuh dengan ego sektoralnya.

“Jadi, enggak ada pilihan lain lagi. Kami akan hadirkan pilihan ketiga lewan kajian bersama antara DPP Apkasindo dan IPB, untuk menghadirkan naskah akademik terkait kebun kelapa sawit yang terjebak dalam klaim kawasan hutan itu. Kalau tidak, rakyat yang akan paling dirugikan,” ujar Gulat kepada Gatra.com tadi siang.

Ayah dua anak yang karib disapa GM ini memastikan bahwa naskah akademik nanti, justru akan membantu pemerintah dan menguatkan misi UUCK yang sudah ada. “Hasil kajian ini juga sangat fundamental dan diharapkan mampu menghilangkan mitos yang selama ini subur lantaran ‘dipupuk” oleh para pembenci sawit,” GM meyakinkan.

Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino, ST,.MM, Dekan Fakultan Kehutanan dan Lingkungan IPB, Dr. Naresworo Nugroho dan Ketua Umum DPP Apkasindo,
Dr. Gulat Medali Emas Manurung. Foto: (GATRA/Ist)

 

Selama ini kata GM, sangat kental persepsi yang salah soal sawit, mulai dari pendefinisian sawit bukan pohon, hingga tuduhan-tuduhan lain yang justru secara ilmiah sudah terbantahkan.

"Namun stigma negatif itu masih subur di kalangan negara penghasil minyak nabati selain sawit. Coba kalau sawit bisa tumbuh setengah subur saja di negara mereka, ceritanya pasti akan lain,” sindir GM.

Pascasarjana Universitas Riau, sudah mengkaji kalau dari aspek ekologi, ekonomi terutama aspek sosial, kelapa sawit sangat berkelanjutan dan memenuhi 17 kriteria SDGs. Kajian itu malah sudah terbit di jurnal internasional.

Hanya saja kata GM, hasil kajian semacam itu tidak cukup, kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat Indonesia untuk memasukkan sawit sebagai tanaman hutan sesuai kriteria Food and Agriculture Organization (FAO), sangat dibutuhkan. Sebab, semua jenis tanaman kelapa (palmae), kecuali sawit, sudah masuk kategori tanaman hutan oleh FAO.

“Dari literatur, kita lihat bahwa definisi tanaman hutan itu adalah mempunyai tinggi batang minimal 5 meter, memiliki tutupan kawasan 10 persen hingga 20 persen, luasan kawasan minimal 0,5 meter dan lebar jalur di atas 20 meter. Semua kriteria ini dimiliki oleh sawit,” ujar doktor lingkungan jebolan Universitas Riau ini.

“Kita harus jujur membedakan antara tanaman sawit nya dengan dimana tanaman sawit itu ditanam, jangan dicampur aduk. Kekeliruan keputusan FAO tidak memasukan sawit sebagai tanaman hutan, merupakan hegemoni tafsir dari kelompok negara-negara pesaing sawit yang berkepentingan terhadap kelangsungan industri minyak nabatinya. Begitulah negara-negara pesaing sawit itu melindungi petaninya. Lalu, siapa yang melindungi petani sawit kita?” GM bertanya.

Untuk menjawab pertanyaan itulah kata GM, upaya penyusunan naskah akademik itu diinisasi oleh Apkasindo. “Kami pekebun dari Sabang sampai Merauke gotong-royong mengumpulkan dana untuk riset ini. Sebab kami paham, engak ada yang gratis, apalagi untuk suatu kajian se-stragis ini,” ujar GM.

Petani Apkasindo sangat memerlukan hasil kajian akademik itu, “Kami sangat bersemangat mensukseskannya, dan sejarah akan mencatat apa yang kami lakukan (IPB-Apkasindo) hari ini bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia. Petani sawit saat ini sudah generasi kedua, jadi paradigma kami pekebun sudah setara dan terukur. Kami tidak pasrah dengan segala hambatan dan tantangan yang selama ini selalu menyudutkan sawit dengan berbagai modus, kami harus ikut membantu pemerintah mengakhiri polemik itu,” GM yakin.

Dan, semua nanti akan terjawab melalui kajian naskah akademis kelapa sawit sebagai tanaman hutan itu, sebagai anugerah Tuhan kepada Indonesia yang dinikmati dunia.

“Untuk itu kami petani sawit berada di garda terdepan. Ini sangat wajar karena 42 persen atau 6,87 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, dikelola oleh petani. Kita tunggu saja hasil kajian ini, dan setelah itu jangan lagi ada yang “merecoki” sawit dengan berbagai modus, kita harus sudahi semua, kita harus hemat energi, untuk lebih memikirkan hilirisasi dan mensukseskan Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit Berkelanjutan,” pinta auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Naresworo nampak senang dan berterimakasih atas kepercayaan Apkasindo di 22 provinsi kepada IPB. “Memang banyak yang harus diluruskan, terutama tentang definisi “pohon”, banyak yang tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlangsung selama ini. Misalnya aren, pinang, sagu, dan kelompok tanaman palmae lainnya bisa masuk ke tanaman hutan, tapi justru sawit tidak. Ini semua akan dikupas habis melalui naskah akademik nanti,” kata lelaki 56 tahun ini.

Penyusunan naskah akademik itu kata Naresworo, dilakukan melalui banyak tahapan, mulai dari studi literatur, studi regulasi, survey, FGD, uji laboratorium, studi banding, public hearing hingga penyusunan buku hasil kajian akademis.

“Penyusunan naskah akademik ini juga ditujukan untuk menjaga dan mengawal perkembangan perkebunan sawit sebagai komoditas stragegis nasional dan menepis isu sawit penyebab deforestasi dan istilah lain yang menyudutkan sawit,” melalui sambungan telepon, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Yanto Santoso, menimpali.

“Kita harus paduserasi menjaga komoditas sawit ini, karena sawit merupakan komoditas andalan nasional penghasil devisa terbesar Negara,” tambahnya.


Abdul Aziz

434