Home Politik MK Putuskan Parpol Anyar Verifikasi Ulang, Ini Kata Pengamat

MK Putuskan Parpol Anyar Verifikasi Ulang, Ini Kata Pengamat

Labuhanbatu, Gatra.com- Mei lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan berkaitan pengujian Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

Putusan itu menetapkan bahwa Parpol yang lulus verifikasi Pemilu 2019 atau memenuhi ketentuan parlimentary threshold Pemilu 2019, otomatis tidak lagi diverifikasi secara faktual. 

Sementara, Parpol yang tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold atau memiliki atau yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi kabupaten/kota diharuskan verifikasi kembali, baik administrasi maupun faktual.

Mengenai hal itu, pengamat politik dan akademisi FISIP UNSRAT, Ferry Daud Liando menyebut bahwa putusan yang diberlakukan terhadap Parpol baru mendaftar itu, terkesan banyak tidak sejalan dengan kebijakan lainnya.

Misalnya saja, tahun 2012 MK mengeluarkan putusan no.52/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa verifikasi dilakukan kepada seluruh Parpol calon peserta Pemilu 2014. 

"Karena berpedoman pada pasal yang sama dalam konstitusi UUD 1945, maka MK mempertegas sikapnya itu pada tahun 2017 dengan putusan  No 53/PUU-XV/2017," ujarnya.

Sebab bagi MK, perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi.

Namun, putusan yang baru saja di keluarkan tersebut, terbilang sama dengan pertentangan atau koreksi atas putusan MK sendiri.

Kedua, verifikasi faktual adalah pencocokan fakta dengan apa yang tercatat. Artinya tidak semua dokumen administrasi yang diajukan Parpol sebagai syarat kepesertaan pemilu, cocok keberadaannya dilapangan. 

Sebab, disinyalir banyak yang memanipulasi dan datanya fiktif. Parpol yang kini sedang memiliki kursi di DPR periode 2019-2024 yang oleh putusan MK tidak perlu dilakukan verifikasi faktual, hanya cukup diperiksa administrasinya. 

"Padahal Parpol itu banyak yang tidak lagi memiliki kepengurusan ditingkat kabupaten/kota hingga kecamatan. Syarat jumlah pengurus dan kepengurusan 30 persen perempuan, tidak lagi sesuai fakta," papar pria kelahiran Mei 1974 silam itu.

Dilanjutkan Ferry, tidak menutup kemungkinan banyak Parpol tidak lagi memiliki kantor. Sebab, kantor memungkinkan hanya rumah pribadi ketua atau bangunan sewaan.

Sehingga, jika terjadi pergantian ketua maka secara otomatis kantor parpolpun dialihfungsikan. "Sayangnya, sepertinya keadaan ini terkesan tidak dapat dijangkau MK," tambahnya.

Ketiga, dalam rangka mengefektifkan sistim pemerintahan presidensial, maka cara terbaik yang harus dilakukan adalah membatasi jumlah peserta, baik untuk mengikuti Pemilu maupun jumlah keanggotaan legislatif.

Menurutnya, jumlah Parpol yang terlalu banyak, dapat menyebabkan syarat ambang batas 20 persen pencalonan presiden sulit terpenuhi. Jalan sederhananya adalah koalisi, konsekwensinya kabinet yang dibentuk adalah kabinet pelangi. 

Tujuan pembangunan nasional sulit dicapai karena kuatnya ego (kepentingan) masing-masing Parpol dalam kabinet. Sebagian memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri.

Keempat, MK sepertinya lupa bahwa asas Pemilu itu terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kata asas adil adalah bentuk perlakuan yang sama dan setara terhadap peserta Pemilu, baik oleh UU maupun oleh penyelenggara. 

"Jika yang lain diverifikasi faktual, maka harusnya tindakan yang sama diberlakukan juga pada peserta yang lain," sebutnya.

Putusan MK itu pun dianggap justru melahirkan perlakuan yang tidak adil bagi peserta dan telah menyimpang dari Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945. 

"Inilah konsekwensi jika lembaga-lembaga yang harusnya independen, namun merupakan produk lembaga-lembaga politik," hemat Ferry.

Terakhir, Ferry berharap, semoga saja putusan yang dikeluarkan MK bukanlah konsekwensi itu, sehingga tidak mengesankan adanya tiket gratis bagi peserta Pemilu.
163