Home Hukum CISDI Desak DPR Masukkan Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Rumusan RKUHP

CISDI Desak DPR Masukkan Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Rumusan RKUHP

Jakarta, Gatra.com - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memasukkan perspektif kesehatan dan gender, yang mereka nilai masih absen dalam proses penyusunan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Desakan tersebut merupakan salah satu poin dari rekomendasi CISDI dalam dokumen kebijakan mereka terkait proses penyusunan RKUHP.

“Lensa kesehatan dan gender ini sangat penting dalam proses perumusan RKUHP, karena banyak sekali hal yang diatur. Dan karena ada dampak ke publik, ke semua lapisan masyarakat, ini juga harus melibatkan publik secara bermakna, dan transparansi itu menjadi prasyarat penting dalam perumusan RKUHP,” ujar Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda, dalam “Peluncuran Dokumen Kebijakan Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Proses Penyusunan RKUHP”, Jumat (19/8).

CISDI menilai, proses penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi masyarakat sipil. Terlebih, hingga saat ini, pengesahan RKUHP yang direncanakan akan dilakukan Agustus 2022 ini, kian mengundang protes publik, mengingat adanya tuntutan perbaikan 14 pasal yang dianggap bermasalah.

Terkait pasal-pasal tersebut, CISDI menggarisbawahi lima pasal bermasalah yang mereka identifikasi memiliki dampak, baik langsung maupun tidak langsung, terkait dengan capaian kesehatan di Indonesia. Kelima pasal itu adalah Pasal 412, Pasal 413, dan Pasal 414 terkait alat pencegah kehamilan dan alat pegugur kandungan, serta Pasal 415 dan Pasal 416 tentang perzinaan dan kohabitasi.

CISDI, seperti yang disampaikan oleh Olivia, menemukan adanya sejumlah potensi permasalahan, apabila pasal-pasal tersebut diberlakukan di Indonesia. Salah satunya, risiko kontraproduktif terhadap peningkatkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi, dalam Pasal 412, Pasal 413, dan Pasal 414.

“Banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa sebenarnya ‘comprehensive sexual education’ dan akses ke informasi dan layanan kespro (kesehatan reproduksi) itu justru penting, merupakan komponen-komponen esensial untuk bisa mereduksi atau meminimalisir risiko terjadinya perilaku seks berisiko pada anak dan remaja,” papar Olivia.

Ia pun mengatakan, pasal-pasal tersebut berpotensi membatasi pelaku promosi kesehatan reproduksi dalam memberikan akses informasi dan layanan kepada anak dan remaja. Selain itu, pasal-pasal itu juga memiliki risiko kontraproduktif terhadap komitmen negara dalam memfasilitasi akses setiap masyarakat dalam memenuhi hak universal mereka atas kesehatan reproduksi.

“Untuk pasal selanjutnya, yang pasal 415 dan 416, kita lihat bahwa ini juga berisiko ya, menempatkan korban kekerasan seksual pada kerentanan untuk dilaporkan atau diadukan,” lanjut Olivia dalam acara tersebut. Selain itu, ia juga menyoroti bagaimana kedua pasal itu berisiko memperburuk masalah perkawinan anak di Indonesia.

Selain mendesak pemerintah untuk memasukkan lensa kesehatan dan gender dalam proses penyusunan RKUHP, serta mendorong transparansi dan keterlibatan lebih banyak masyarakat sipil daalam perumusan, CISDI juga mendesak pemerintah untuk menghapus kelima pasal bermasalah yang dinilai berisiko tadi.

“Kami merekomendasikan untuk menghapus pasal tersebut,” tukas Olivia. Rekomendasi ia tuturkan dengan mempertimbangkan risiko serta besarnya kemungkinan pasal-pasal itu untuk disalahgunakan. Terlebih, CISDI mengidentifikasi bahwa pasal-pasal tadi tidak dibangun berdasarkan bukti dan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.

138