Home Lingkungan Banyak Kasus Penangkapan Petani akibat Konflik Agraria Diabaikan Selama 17 Tahun Terakhir

Banyak Kasus Penangkapan Petani akibat Konflik Agraria Diabaikan Selama 17 Tahun Terakhir

Jakarta, Gatra.com – Koordinator Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Dewi Kartika mengungkapkan tidak diterapkan UUPA 1960 dan TAP MPR No.IX/2001 sejak 17 tahun lalu, menyebabkan munculnya 3.874 konflik agraria di berbagai penjuru tanah air. Tingginya angka tersebut berbanding terbalik dengan konflik yang sudah ditangani oleh pemerintah. 

“Konflik ini muncul karena banyaknya kasus penangkapan petani, masyarakat adat, nelayan, buruh dan aktivis,” katanya, dalam Konferensi Pers “Puncak Peringatan Hari Tani Nasional 2022” yang diadakan secara daring melalui Zoom Meeting dan siaran langsung YouTube, Senin (26/09). 

Selain itu terjadi pula, lanjut Dewi pergusuran kampung dan tanah pertanian rakyat untuk mega proyek infrastruktur, food estate, pariwisata premium, bisnis tambang dan sawit yang terjadi di berbagai pelosok negeri. 

“Semua itu menjadi penyebab meletupnya konflik tersebut,” ujarnya.

Baca Juga: Konflik Agraria Terkait Akses Masyarakat Lokal dan Adat

Dewi menambahkan bahwa korupsi dan kolusi agraria akibat bekerjanya mafia tanah dan birokrat rente juga tidak kalah kronisnya di Indonesia. Selama puluhan tahun, pemerintah terus-menerus membiarkan adanya tumpang tindih perkebunan, kehutanan dan tambang dalam satu wilayah.

“Sayangnya, demi melancarkan laju investasi yang haus akan kebutuhan tanah, konflik agraria dan perampasan tanah saat ini telah dilindungi oleh hukum melaui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan 20 lebih PP turunnya terkait dengan agraria dan Sumber Daya Alam,” katanya.

“Inkonstitusionalitas melalui produk-produk hukum liberal terus dijalankan. Kami mencatat, setidaknya sampai dengan detik ini terdapat ratusan peraturan perundang-undangan di bidang agrarian-SDA yang meliputi 93 UU, 140 PP, 20 Perpres dan 140 Permen yang saling tumpang-tindih dan bertentangan satu-sama lain. Pada ujungnya melabrak Konstitusi dan UUPA,” katanya mengutip bunyi pernyataan KNPA.

Baca Juga: Strategi BPN Atasi Konflik Agraria di Sumatera Selatan

Kebijakan dan praktek-praktek inskonstitusional agraria di atas, kata Dewi,  disebabkan orientasi ekonomi politik yang tidak lain mengarah ke kapitalisme. Pada akhirnya, adanya pelayanan kepentingan para pemilik modal terhadap Sumber-sumber agraria, telah menimbulkan jutaan masalah agraria struktural yang kronis dan berkepanjangan yang berbentuk ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, kemiskinan yang dirasakan rakyat baik di pedesaan maupun di perkotaan.

“Inkonstitusional agraria berjalan mulus. Wajah buruk politik agraria tidak hanya terjadi di zaman kolonialisme dan Orde Baru, namun politik agraria liberal-kapitalistik ini terus berlanjut hingga era Reformasi ini,” katanya.

“Pengalaman pahit ketimpangan agraria dan kemiskinan akibat tiga setengah abad kolaborasi kolonialisme dan feodalisme, serta 32 tahun ORBA berkuasa ternyata tidak menghasilkan efek jera bagi para elit penguasa sekarang ini, untuk mengembalikan cita-cita berbangsa dan bernegara dengan menegakkan konstitusionalitas rakyat atas tanah dan wilayah hidupnya,” katanya.

Baca JugaKPA: Aparat Prioritaskan Kekerasan Dalam Konflik Agraris

Situasi ini katanya, berjalan tanpa adanya upaya evaluasi menyeluruh dan tuntutan pertanggungjawaban dari MPR/DPR RI kepada Presiden atas penyimpangan demi penyimpangan terhadap konstitusionalisme Agraria. Ditanggalkannya subsidi BBM bagi rakyat di tengah berjayanya mega Proyek Strategis Nasional (PSN), hanya memperparah situasi pertanian dan seluruh lapisan masyarakat kelas bawah.

KNPA kata Dewi menuntut dan menyuarakan aspirasi mereka di tengah peringatan HTN 2022 dan 62 tahun UUPA 1960 kepada MPR RI untuk melaksanakan evaluasi secara keseluruhan dan meminta pertanggungjawaban Presiden RI, atas penyimpangan Konstitusionalisme Agraria yang menjadi amanah UUD 1945 dan UUPA 1960. 

“Hal ini juga termasuk dalam kegagalan pelaksanaan Reforma Agraria selama 8 tahun terakhir di tengah pemerintahan,” ujarnya.

226