Home Hukum Angka Kriminalisasi Masyarakat Hukum Adat Fenomena Gunus Es

Angka Kriminalisasi Masyarakat Hukum Adat Fenomena Gunus Es

Jakarta, Garta.com – Guru Besar Hukum Adat Universitas Jember, Prof. Dr. Dominikus Rato, mengatakan, banyak masyarakat hukum adat (MHA) di berbagai wilayah di Indonesia yang mengalami kriminalisasi.

Rato dalam Webinar Nasional dan Call for Paper Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bertajuk “Perlindungan Hukum Masyarakat Berlandaskan Keratifan Lokal” pada pekan ini, menyampaikan, banyaknya MHA yang mengalami kriminalisasi ini berdasarkan data dari berbagai LSM.

Ia menyebutkan, berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), jumlah masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi pada 2019 sebanyak 51 orang atas berbagai tuduhan.

Rinciannya, sebanyak 2 orang dituduh melakukan pembakaran hutan di Kota Waringin Barat, Kalimatan Tengah (Kalteng). Kemudian, 11 orang Suku Anak Dalam (SAD) dituding melakukan penganiayan dan pengrusakan kebun di ?Sungai Penuh, Batanghari, Jambi.

Baca Juga: YLBHI: 51 Masyarakat Adat Kena Kriminalisasi Negara

Selanjutnya, 27 orang di Kabupaten Wahoni, Sulawesi Tenggara (Sultra) dituduh melakukan pembakaran hutan yang mengakibatkan banjir. Sebanyak 6 orang di Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) dituduh melanggar Undang-Undang (UU) Kehutanan dan UU Perkebunan.

“Dua orang Batak berhadapan dengan PT TPL dituduh melakukan penganiayaan karyawan PT TPL,” ujar Rato.

Satu orang di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), dituduh melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE), penyebaran berita bohong, dan pencemaran nama baik. Satu orang di Ketapang, Kalbar dituduh melakukan pengrusakan kebun.

“Satu orang di Muara Taweh, Kalimantan Tengah (Kalteng) dituduh melakukan pembakaran ladang sebagaimana Pasal 36 UU Lingkungan Hidup,” katanya.

Adapun menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) pada tahun yang sama, lanjut Rato, jumlah masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi lebih tinggi lagi. Pertama, sebanyak 5 orang suku Dayak Limbai, Melawi, Kalbar dituduh merusak kebun sawit PT BPK.

Sebanyak 6 orang Suku Matteko di Desa Erelambang, Kecamatan Tombalo Pao, Goa, Sulawesi Selatan dituduh merusak hutan. Sebanyak 10 orang Suku Sihaporas di Kecamatan Pematang, Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara dituduh melakukan kekerasan kepada pekerja PT TPL.

Kemudian, 1 orang Suku Sakang, Riau, dituduh melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Tiga warga Suku Rendu, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dituduh mengambil alih tanah suku untuk Waduk Lambo.

Satu orang Laman Kinipan, Lamandu, Kalteng, dituduh terkait pengambilalihan tanah ulayat oleh PT SML. Satu pulau Masyarakat Hukum Adat Kepulauan Arus tanah adatnya diambil untuk peternakan sapi oleh 4 perusahaan.

Satu orang Suku Tukan Hoken, Larantuka, NTT, konflik dengan PT RL. Delapan orang dari Suku O'Hangana Manyawa dan Tabelo Dalam, Halmahera ?dituduh melakukan perusakan tambang dan pemblokiran jalan PT IWIP.

Sebanyak 7 orang di Sintang dan Kapuas Hulu, Kalbar, dituduh membakar hutan. Sejumlah 35 orang di Kalteng dituduh melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Satu orang Suku Anak Dalam Bathin IX Sungai Bahar, tanah ulayatnya diserobot PT AP. Satu orang Suku Daa Inde di Sulbar, tanah ulayatnya diserobot PT A dan 1 orang suku Marung Raya, Kalteng, dituduh merusak tambang PT I.

Ia mensinyalir data dari YLBHI dan Aman itu merupakan puncak gunung es. Artinya, masih banyak lagi masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi namun belum terungkap atau tercatat.

Salah satunya, kata dia, tokoh MHA Laman, Kinipan, Kalteng, Effendi Buhing ditangkap dan ditahan polisi atas tuduhan merampas aset PT SML. Ia bersama 5 orang anggota suku tersebut mempertahankan tanah ulayat yang diserobot perusahaan tersebut.

“Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Aman yang melakukan verifikasi wilayah itu bahwa PT SML telah melebihi luas yang dijanjikan 3.689 hektare tanah adat atau ulayat MHA Laman Kinipan yang diserobot,” katanya.

Baca Juga: APHA: Kriminalisasi Masyarakat Adat Ancam Kelestarian Alam

Kasus lainnya yang juga luput dari catatan adalah PT SML dan Pemda Lamandau mengambil alih tanah ulayat Suku Laman Kinipan. Sebanyak 6 orang dari suku tersebut ditangkap polisi dan sejumlah anggota suku lainnya diintimidasi.

“Masyarakat Hukum Adat Besi Pae di TTS digusur oleh pemda, rebutan hutan adat Pubabu. Anak-anak dana perempuan mengalami trauma,” katanya.

Adapun data Amnesty Internasional, ujar Rato, menyampaikan bahwa pada tahun 2020, pihaknya mencatat ada 61 tokoh pejuang masyarakat adat yang ditangkap dan ditahan polisi.

Menurut Rato, berbagai kriminalisasi tersebut membuat masyarakat adat kehilangan habitat hidup atas lingkungan hidup yang mereka kelola berdasarkan kearifan lokal. Merka sangat menjaga alam atau lingkungan sesuai dengan hukum adat yang mereka anut.

656