Home Politik Pemerintah Harus Pertegas Filosofi RUU Perampasan Aset

Pemerintah Harus Pertegas Filosofi RUU Perampasan Aset

Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali meminta agar Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana segera disahkan oleh DPR. Saat ini, rancangan produk hukum itu masih mengantre di RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai pentingnya RUU Perampasan Aset. Ia menyebut bahwa sejauh ini hukuman pidana penjara tak serta merta menimbulkan efek jera. Hukuman pada pelaku kejahatan yang merugikan negara kerap terlalu ringan.

Maka dari itu, menurut Lucius, dengan adanya regulasi perampasan aset, harta hasil kejahatan bisa disita hingga pelaku benar-benar tak lagi dihidupi oleh aset yang merupakan hasil kejahatan.

Baca Juga: Mahfud MD: Mari Kita Dukung RUU Perampasan Aset!

Lucius mengatakan, tindak pidana yang paling utama yang akan dikenakan dalam RUU Perampasan Aset adalah tindak pidana korupsi. Setelahnya, disusul dengan tindak kejahatan keuangan atau ekonomi lainnya yang merugikan keuangan negara, mulai pencucian uang, hingga kejahatan narkotika.

"Saya kira, sih, semuanya mesti bisa dijangkau, ya. Penindakan iya, pemulihan keuangan negara juga iya. Kan penindakan masih bisa pakai UU Tipikor dan UU lain yang terkait. Jadi enggak bisa dengan RUU Perampasan Aset, penindakan jadi terpinggirkan," kata Lucius melalui keterangan resminya kepada Majalah Gatra, Senin malam (31/10).

Senada dengan Lucius, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi, menilai rencana produk hukum itu sebagai pelengkap dari sistem penegakan hukum korupsi. Tidak hanya memberi hukuman seperti penjara, tetapi juga merampas aset yang sudah diambil oleh koruptor.

Sikap IPC segaris dengan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang memang mendukung adanya kebijakan hukum berorientasi restorative justice atau keadilan kepada korban dalam penanganan perkara korupsi, bukan sekadar pembalasan semata atau retributive justice.

"Penanganan perkara korupsi tidak cukup dengan menghukum pelaku, namun mesti melihat aspek pemulihan terhadap korban, salah satunya negara dan masyarakat dalam konteks perekonomian atau keuangan," demikian kata ICW yang dikutip Hanafi.

Pertanyakan filosofinya

Pakar Hukum Tata Negara, Heru Widodo justru mempertanyakan filosofi penyusunan RUU Perampasan Aset. Perlu adanya penegasan sebab perampasan aset dalam konteks pengembalian kerugian negara identik dengan perbuatan korupsi. Menurutnya, di pasal-pasal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu sudah ada.

"Jadi, kalau arahnya ke sana, kenapa enggak harmonisasi pembaruan UU (Tindak Pidana) Korupsi manakala butuh cakupan yang luas," kata Heru melalui sambungan telepon kepada Majalah Gatra, Selasa, (1/11).

Heru mengatakan, dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebenarnya sudah dijelaskan bahwa seseorang tidak bisa dituntuut dua kali atas perbuatan pidana yang sama. Jika sudah terkena hukuman pemidanaan badan, tidak bisa lagi dipidana untuk pengembalian kerugian negara tanpa satu kesatuan dengan keputusan hakim pidana semula.

Prinsip lainnya, dalam konteks kerugian negara, harus ada pembuktian atau actual loss. Heru memberi contoh, kerugian dalam tindak pidana narkoba yang membuat pemerintah mengeluarkan argumentasi untuk rehabilitasi, menurut Heru, bukanlah actual loss, melainkan potential loss atau tidak bisa diukur secara pasti.

Dalam penetapan kerugian negara pun, harus ada pemeriksaan khusus dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini yang perlu disinkronisasikan menurut Heru.

"Apakah seseorang lakukan tindak pidana narkotika, penjualan, punya akibat kepada masyarakat, tetapi apa masyarakat terdampak itu membeli ke pelaku? Itu belum bisa dipastikan," ujar Heru.

Baca Juga: ICW: RUU Perampasan Aset Tidak Bisa Ditawar Lagi

Maka dari itu, Heru berpandangan bahwa lebih bagus mengharmonisasikan UU yang sudah eksis atau teraktualisasi. Toh, dalam pembentukan UU, hukum selalu tertinggal dari peristiwanya atau dinamikanya.

"Kalau tidak bisa diakomodir dengan kejahatan semakin maju, lebih efektif pembaruan, bukan melulu UU baru. Kalau UU baru tanpa filosofi itu apa beri manfaat atau perlindungan," Heru menjelaskan.

Heru belum bisa berkomentar lebih lanjut terkait gambaran ideal RUU Perampasan Aset, utamanya bentuk pidana yang diatur dalam kebijakan itu. Menurutnya, ini tugas pemerintah dan DPR untuk terus menyosialisasikan dan melibatkan peran masyarakat dalam penyusunannya.

Artikel lengkap bisa dibaca dalam Majalah Gatra edisi 3-9 November 2022.

361