Home Hukum DPR Kritisi Urgensi Pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme

DPR Kritisi Urgensi Pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme

Jakarta, Gatra.com - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengkritisi pembahasan urgensi pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme.

“Loh? Begini. Harus baca Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003,” kata Arsul usai RDP Komisi III DPR RI dengan Kepala BK Setjen DPR RI, Selasa (15/11).

Menurut Arsul, pembahasan tersebut sudah terlambat karena pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018, DPR dalam waktu setahun sejak berlakunya Undang-undang tersebut harus membentuk tim pengawasan (timwas) pemberantasan terorisme.

“Maksudnya apa dibentuk timwas? Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa di satu sisi penindakan, termasuk juga pencegahan terhadap terorisme harus terus kita lakukan dengan jelas dengan tegas,” jelasnya.

Baca Juga: Pasal Karet Penanggulangan Ekstremisme

Komisi III DPR RI kerap menerima aduan dari berbagai kelompok masyarakat bahwa penindakan dalam pemberantasan terorisme itu dinilai melanggar HAM dan melanggar asas praduga tak bersalah.

“Sebagai respon terhadap komplain-komplain masyarakat, maka DPR dalam Undang-undang itu menginsersi sebuah pasal yang memerintahkan agar DPR itu membentuk tim pengawasan terorisme,” ungkapnya.

Tujuan dibentuknya timwas adalah agar DPR secara khusus menerima keluhan-keluhan dari masyarakat apabila penindakan terorisme itu salah sasaran, salah tangkap, berlebihan dan tidak sesuai dengan prinsip penegakan hukum yang benar.

Baca Juga: SETARA Institute: Tepat Polisi Gunakan UU Non-Terorisme soal Khilafatul Muslimin

Timwas penanggulangan terorisme dari DPR akan menangkap teroris dan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dalam kejadian mencekam seperti kematian seseorang, misalnya kematian dokter di Sukoharjo.

“Kalau melakukan penyidikan hasilnya apa, disikapi. Kemudian, secara hukum dan secara politik oleh misalnya Komisi III DPR RI yang memegangi bidang hukum keamanan dan hak asasi manusia,” katanya.

Terkait draf naskah akademik dan Rancangan Undang-undang (RUU) penyadapan, Asrul menilai perlunya pengayaan.

“Tentu karena ini merupakan draf awal, kami melakukan pengayaan melalui diskusi. Ada juga perdebatan terhadap draf RUU yang disiapkan oleh teman-teman dari Badan Keahlian Dewan, BKD DPR RI,” katanya.

Baca Juga: Polri Antisipasi Ancaman Terorisme, Siber, dan Bencana Alam Jelang G20

Arsul menyebutkan isu yang mengemuka, yakni apakah RUU penyadapan ini akan membatasi persoalan penyadapan dalam kerangka penegakan hukum.

“Berarti penyadapan dalam rangka pro justitia atau penyadapan secara keseluruhan termasuk yang untuk keperluan non pro justitia,” lanjutnya.

Politisi PPP ini memberikan contoh non pro justitia seperti penyadapan rangka keperluan intelejen, keperluan keamanan nasional, dan sebagainya.

Arsul mengungkapkan mengapa RDP ini diadakan secara tertutup karena draf dan rancangannya masih awal-awal disusun dan ia khawatir akan perbedaan pandangan dengan anggota lainnya.

“Karena ini kan masih awal. Jadi tentu menjadi lucu kalau terbuka. Sementara misalnya pak Arsul berbeda dengan pak Taufik Basari pandangannya. 

159