Home Ekonomi Redenominasi, Subtitusi Mata Uang dan Efisiensi Perekonomian Nasional

Redenominasi, Subtitusi Mata Uang dan Efisiensi Perekonomian Nasional

Jakarta, Gatra.com - Redenominasi adalah istilah yang paling banyak didiskusikan setiap kali Bank Indonesia (BI) berencana meluncurkan uang baru. Namun, hal yang mengkhawatirkan karena istilah redenominasi langsung dikaitkan dengan sanering—yaitu pemotongan nilai tukar uang rupiah seperti yang pernah dilakukan tahun 1965.

Redenominasi berbeda dengan sanering. Redenominasi adalah penyederhanaan satuan nilai mata uang yang diikuti penyederhanaan nilai barang. Sementara sanering adalah pemotongan nilai mata uang yang tidak diikuti oleh penyederhanaan nilai barang.

Sementara, redenominasi belum pernah dilakukan di Indonesia, sedangkan sanering sudah pernah dilakukan untuk mengantisipasi inflasi tinggi yang membuat rupiah tidak memiliki nilai sama sekali.

Kebijakan redenominasi merupakan hal lumrah dilakukan dan bahkan beberapa negara telah melakukannya beberapa kali dalam rentang waktu 65 tahun terakhir. Sebagai contoh, sejak tahun 1960 hingga sekarang, terdapat sekitar 61 negara yang melakukan redenominasi dan yang paling terakhir dilakukan oleh Turki tahun 2005, Slovenia tahun 2006, dan Nigeria tahun 2008.

Beberapa negara yang telah beberapa kali melakukan redenominasi adalah Bolivia melakukan redenominasi pada tahun 1963 dan 1987. Bahkan, Peru melakukan redenominasi dalam rentang waktu yang sangat singkat pada tahun 1985 dan 1991. Sementara negara lainnya seperti Argentina telah 4 kali melakukan redenominasi, Serbia 5 kali, dan Brasil 6 kali.

Sementara dilihat dari sisi ukuran, kebijakan redenominasi juga bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya, yaitu mulai dari menghilangkan satu hingga enam angka nol dalam mata uangnya.

Redenominasi mata uang yang dianggap paling moderat adalah menghilangkan tiga nol pada mata uang seperti yang saat ini sedang diwacanakan oleh BI. Misalnya nilai nominal 1.000.000 rupiah menjadi 1.000 rupiah atau 10.000 rupiah menjadi 10 rupiah.

 

Urgensi Redenominasi

 

Lalu apa yang perlu dikhawatirkan dari kebijakan redenominasi? Sejatinya redenominasi mata uang bertujuan untuk mempermudah penggunaan mata uang dalam setiap kali transaksi, memudahkan pemahaman masyarakat dalam penggunaan uang sebagai alat transaksi, dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan mata uang.

Namun, setiap kebijakan pasti memiliki ongkos ekonomi, apa lagi jika penerapan suatu kebijakan dilakukan secara terburu-buru tanpa proses sosialisasi yang panjang.

Secara teoritis, uang memiliki fungsi yang paling dasar sebagai medium of exchange (alat pertukaran). Uang berperan dalam memfasilitasi proses transkasi antara penjual dan pembeli dengan biaya pertukaran (transaction cost) sekecil mungkin. Tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membawa uang dari rumah ke pasar. Ibu rumah tangga tidak perlu menyewa body guard ketika berbelanja ke pasar karena membawa uang kas dalam jumlah banyak.

Namun dengan inflasi tinggi, nilai riil uang mengalami penurunan signifikan, membuat ibu-ibu rumah tangga terpaksa membawa uang ke pasar dalam jumlah banyak (satu karung) hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti susu yang harganya tinggi.

Kejadian ini pernah terjadi di Simbabwe, Afrika yang mengalami inflasi tertinggi di dunia. Tidak heran, Simbabwe adalah negara yang memiliki pecahan uang terbesar di dunia, yaitu pecahan dua miliaran. Bagaimana tidak, harga satu kaleng susu bisa mencapai ratusan juta.

Pecahan uang yang besar dengan harga barang yang juga tinggi menyebabkan perputaran uang (velocity of money) menjadi terhambat dan pertukaran menjadi tidak efisien. Selanjutnya, melalui berbagai jalur transmisi menyebabkan perkembangan perekonomian terhambat. Selain itu, pecahan uang yang besar menyebabkan tingginya biaya yang dibutuhkan dalam mencetak dan mendistribusikannya.

 

Menghindari Currency Substitution

 

Secara psikologis, pecahan uang besar juga berdampak pada inflationary expectation (ekspektasi akan terjadi inflasi). Harga yang dinyatakan dalam nilai yang terlalu tinggi secara psikis mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap harga yang akan datang.

Pada umumnya, dengan harga barang saat ini yang dinyatakan dalam nilai uang yang besar akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat bahwa harga akan menjadi lebih tinggi dalam beberapa waktu ke depan.

Pecahan uang besar juga dapat mengurangi kredibilitas mata uang rupiah secara internasional. Bayangkan saja, ketika berkunjung ke Singapura sebagai turis bersamaan dengan turis dari negara lainnya dan anda harus membayar semua kebutuhan dalam dolar Singapura.

Sebelum menukarkan rupiah ke dalam dolar Singapura, pemandu wisata membacakan nilai tukar setiap mata uang dan mendengar bahwa ternyata 11.000 rupiah hanya dinilai sama dengan satu dolar Singapura. Bandingkan dengan mata uang lainnya, misalnya ringgit Malaysia atau baht Thailand yang nominalnya lebih kecil.

Implikasi dari rendahnya kredibilitas mata uang rupiah secara internasional adalah terjadinya currency substitution, yaitu peralihan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi ke dolar AS. Currency substitution dalam skala tertentu sebenarnya sudah terjadi di Indonesia, di mana pembelian produk-produk tertentu menggunakan dolar AS karena transaksi menggunakan rupiah tidak efisien, rendahnya kredibilitas mata uang rupiah, dan sulitnya melakukan konversi dari rupiah ke dolar AS. Fenomena seperti ini tidak mustahil terjadi secara luas jika tidak diantisipasi lebih awal.

Urgensi redenominasi juga didorong oleh keinginan untuk menghindari uang berdenominasi tinggi tetapi nilai riilnya sangat kecil. Bayangkan saja, anda punya gaji Rp1.000.000 tetapi ternyata hanya mampu membeli kebutuhan hidup dalam seminggu. Bandingkan, jika gaji anda nilai nominalnya Rp1.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam waktu dan jumlah yang sama dengan Rp1.000.000. Secara psikologis memiliki dampak yang berbeda.

Redenominasi rupiah untuk meningkatkan efektifitas peran BI sebagai otoritas moneter dalam mengendalikan inflasi. Pengalaman negara lainnya, seperti Nigeria yang melakukan redenominasi naira dengan menghilangkan enam nol. Hal ini sangat efektif mempengaruhi ekspektasi inflasi yang dapat diamati pada perbedaan inflasi antara sebelum dan setelah redenominasi.

Singkatnya, meskipun banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan kebijakan redenominasi, namun kebijakan ini belum saatnya diberlakukan dalam satu hingga dua tahun ke depan.

Beberapa alasan mengapa hal ini belum mendesak, yaitu: (1) Kebijakan ini belum tersosialisasi dengan baik sehingga bisa menimbulkan kekacauan dalam proses transaksi dan pencatatan. (2) Redenominasi dapat dilakukan dalam kondisi ekonomi yang sehat, dimana saat ini perekonomian nasional berada dalam tekanan resesi global. Di mana pemerintah dan BI tidak perlu membuat ketidakpastian di dalam negeri dengan terburu-buru melakukan redenominasi.

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

259