Home Hukum ILUNI UI Soroti Perkara Adaro dan PT IST Soal Teknologi Pengelolaan Limbah Tambang

ILUNI UI Soroti Perkara Adaro dan PT IST Soal Teknologi Pengelolaan Limbah Tambang

Jakarta, Gatra.com - Perkara antara PT Adaro Energy Indonesia (Adaro) dengan PT Intan Sarana Teknik (IST) terkait kontrak pengelolaan limbah tambang masih menjadi perhatian besar bagi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI).

ILUNI UI menilai banyak kejanggalan dari kasus ini, khususnya putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Direktur Utama PT IST yang juga alumni Fakultas Teknik UI, Ibnu Rusyd Elwahby bersalah bersalah dan dihukum 13 tahun penjara serta denda Rp5 miliar dengan dakwaan pasal Pencucian Uang. Padahal sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutus bebas Ibnu Rusyd dari seluruh dakwaan.

“Kok bisa sebuah proses panjang yang ada di pengadilan negeri, 10 bulan prosesnya, saksi diperiksa, ahli dimunculkan, hasil akhirnya bebas murni. Tapi dalam waktu 19 hari kemudian (tahap kasasi), 180 derajat berubah. Tidak main-main dari bebas murni jadi 13 tahun,” tegas Sekjen Iluni UI, Ahmad Fitrianto kepada Gatra.com.

“Kasus yang ada di MA itu kan ada ribuan, tapi hanya dengan 19 hari kasus ini langsung diputus,” lanjutnya.

Menurut Fitrianto, Kasasi MA seolah makin menguatkan kesan bahwa kasus yang sebenarnya tergolong keperdataan murni dipaksakan diselesaikan lewat jalur pidana.

Penerapan pasal Pasal Pidana Pencucian Uang bagi perkara keperdataan, lanjut Fitrianto, tidak sesuai dengan tujuan pembentukan undang-undang. Sebab, pidana pencucian uang seharusnya diterapkan pada kejahatan yang merugikan banyak orang dan berdampak luas terhadap sistem keuangan dan perekonomian negara.

"Sementara kasus ini hanya melibatkan antarkorporasi dan beberapa individu di dalamnya, yang sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan negara dan menimbulkan kerugian masyarakat, bahkan tidak terbukti tuduhan penipuan sebagai pidana asalnya," tegas dia.

Fitrianto menuturkan bahwa kasus ini telah menjadi sorotan dari keluarga besar Universitas Indonesia. “Ini menjadi perhatian dari kawan-kawan di UI. Guru-guru besar saat diceritakan kasus ini juga mengatakan ada hal yang aneh,” ujarnya.

Menyikapi polemik ini, Fitrianto mengungkapkan bahwa pihaknya sejatinya akan melakukan eksaminasi dengan memanggil para ahli hukum. Hanya saja hal itu terkendala lantaran hasil putusan MA atas kasus tersebut tak kunjung diberikan.

Di sisi lain, Fititianto melanjutkan, pihaknya pun khawatir proses peninjauan kembali (PK) dapat terhambat lantaran salinan putusan kasasi tidak kunjung diberikan. “Nanti kawan kita ini masuk (penjara) dulu, salinannya gak dikasih-kasih. Sampai kapan juga gak bisa PK-kan. Bisa saja kan misalnya salinan putusannya baru dikasih setelah tiga tahun.”

Fitrianto mengharapkan agar tidak ada pihak yang mengintervensi jalannya kasus ini. “Biarkan proses PK nanti berjalan apa adanya, jangan diintervensi, sebab kalau tidak ada intervensi, Insya Allah hasilnya sama seperti di PN,” ujarnya.

433