Home Nasional Persoalan Agraria, Peneliti Sebut Masyarakat Punya Hak Tapi Kosong

Persoalan Agraria, Peneliti Sebut Masyarakat Punya Hak Tapi Kosong

Jakarta, Gatra.com- Konflik agraria menjadi persoalan yang belum membawa penyelesaian berkeadilan bagi masyarakat lokal. Penulis buku sekaligus peneliti, Ward Berenschot mengatakan bahwa dari 150 kasus yang diteliti, konflik antara komunitas pedesaan Indonesia sebagai pemilik tanah awal dengan perusahaan disebabkan oleh kehampaan hak secara de facto.

"Warga desa sebagian besar mengeluh tanahnya diambil tanpa persetujuan dan ada permasalahan bagi keuntungan. Mereka punya hak, tapi tidak benar-benar mendapat hak," ujarnya dalam acara Peluncuran Buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia yang digelar secara hybrid, Kamis (13/7).

Dari hasil penelitian, sejumlah 68% konflik pertanahan tidak berujung pada penyelesaian. Ini menunjukkan bagaimana warga hanya memiliki hak tanpa benar-benar bisa diimplementasikan di lapangan.

Baca juga: Kasus Tambang Ilegal Seret Nama Pati Polri Tak Jelas, Pengamat Duga Ismail Bolong Jadi Kotak Pandoraaa

Masalah realisasi hak ini sulit digapai masyarakat. Hal ini pun berujung pada konflik kekerasan dan kriminalisasi.

"Sangat sulit masyarakat mendapatkan hak secara resmi," lanjutnya.

Sejak 2019, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 44 kasus kekerasan atau sebesar 29%. Sementara, sebesar 37 kasus kekerasan dilakukan oleh warga komunitas yang menuntut haknya.

Masih belum terwujudnya masyarakat untuk mendapat hak melindungi kepentingannya tak terlepas dari situasi warisan peninggalan penjajah. Ia menilai bahwa keterbatasan pengakuan hak individual atas tanah merupakan "pegangan" yang masih diteruskan hingga saat ini.

Selain itu, perlindungan hukum yang tersisa dirusak melalui peraturan-peraturan tingkat bawah yang diterapkan tidak sesuai seharusnya. Perlemahan kolusi antara bisnis negara yang meluas juga menunjukkan hal itu.

Baca juga: Akhirnya! Sengketa Tanah Ghozali Dengan Tonny di Tangerang Temui Titik Terang

Menurutnya, hubungan perusahaan dan politik-negara melahirkan peraturan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Pelaksanaannya pun tidak ditegakan sebagaimana mestinya yang berakibat pada pemunculan situasi yang seolah ada hak masyarakat tapi tidak ada isinya.

"Sampai sekarang tetap sulit untuk dapat hak kepemilikan lahan. Kemunculan perusahaan bisa dapat izin dan bisa secara legal dapat lahan, dan masyarakat yang tinggal di sana tidak bisa dapat kepastian hukum," pungkasnya.

70